Wednesday 27 June 2012

Elemen Sekunder (Sebuah Penyelidikan Umum)


Tugas Kuliah Filsafat Buddha II
Oleh: Sayudi
07.1.153


Elemen Sekunder (Sebuah Penyelidikan Umum)


Mahābhūta empat dengan upādāya-rūpa memiliki ikatan saling ketergantungan. Akan tetapi ketergantungan upādāya-rūpa ini dalam Nikāya tidak terdapat penjelasannya, bahkan dalam Dhammasaṅganī yang mana merupakan kitab analisis juga tidak ada keterangan. Oleh sebab itu upādāya-rūpa dianggap sebagai elemen sekunder. Menurut Paṭṭhāna, mahābhūta empat dengan upādāya-rūpa muncul secara bersamaan. Keduanya tidak bisa terlepas satu sama lain.
Menurut pandangan Vaibhāsika (Sarvāstivāda), mahābhūta empat merupakan janana-hetu atau sebab timbulnya bhautika (upādāya-rūpa). Tetapi Vaibhāsika juga memandang bahwa keduanya muncul bersamaan. Aliran Theravāda dan Sarvāstivāda berusaha menunjukkan bahwa mahābhūta empat merupakan landasan bagi timbulnya upādāya-rūpa, akan tetapi upādāya-rūpa bukan landasan bagi timbulnya mahābhūta empat.
Menurut aliran Theravāda, mahābhūta empat dan empat bagian dari upādāya-rūpa yaitu rūpa (bentuk), rasa (rasa), ghanda (bau), dan āhāra (unsur makanan) disebut dengan avinibhaga-rūpa. Sedangkan menurut Vaibhāsika (Sarvāstivāda) terdapat sedikit perbedaan yaitu āhāra sebagai bhautika spraṣṭvya. Kedelapan unsur ini saling terkait (sahajāta, niyata-sahotpanna).
Prof. Stchebatsky juga membuat klasifikasi unsur-unsur rūpa menjadi primer dan sekunder, misalnya unsur mental (citta) sebagai dasar dan lainya adalah caitta. Pembagian rūpa menjadi kelompok primer dan sekunder oleh aliran Theravāda dan Vaibhāsika ditentang oleh aliran Sautrāntika seperti yang dinyatakan oleh para sarjana. Buddhadeva menyatakan keberatannya terhadap pembedaan citta (kesadaran) dan non-citta. Misalnya dalam āyatana 10, lima unsur pertama hanya terdiri dari mahābhūta, sedangkan yang lainnya terdiri dari upādāya-rūpa. Buddhadeva berusaha membuang semua perbedaan anatara elemen primer dengan elemen sekunder bukan hanya pada fenomena mental tetapi juga pada unsur-unsur materi. Dalam tesisnya ia berusaha membuktikan bahwa manusia terdiri dari enam unsur saja yaitu mahābhūta empat, ākāśa (ruang) dan vijñāna (kesadaran). Hal ini ia tuliskan dalam Garbhāvakrānti Sūtra.
Menurut Abhidhamma Piaka upādā-rūpa terdiri dari 23 unsur, dengan pengelompokan sebagai berikut:
1.      Lima landasan (landasan mata “cakkhu”; landasan telinga “sota”; landasan hidung “ghāna”; landasan lidah “jivhā” dan landasan jasmani/sentuhan “kāya”).  Kelima landasan  ini tergolong sebagai ajjhattika.
2.      Empat obyek (obyek rasa “rasa”; obyek suara “sadda”; obyek bentuk “rūpa”; obyek bau “ghanda”). Keempat unsur ini tergolong sebagai bāhira.
3.      Tiga unsur vital (unsur feminitas, unsur maskulinitas dan unsur tenaga/kehidupan “jīvitindriya”)
4.      Dua mode ekspersi (ekspresi tubuh “kāyaviññatti dan ekspresi vokal “vacīviññatti)
5.      Tiga karakter rūpa (gaya ringan “lahutā”; gaya menurut/plastisitas “mudutā dan gaya menyesuaikan diri “kammaññatā”).
6.      Empat fase rūpa (integrasi upacaya”; kontinuitassantati”; pembusukanjaratā”; ketidakkekalananiccatā”.
7.      Satu unsur ruangan (ākāsa-dhātu)
8.      Satu unsur makanan/nutrisi (kabalīkār-āhāra)
9.      Satu unsur hati sanubari (hadaya-vatthu) yang ditambahkan oleh para komentator Theravāda.
Unsur-unsur selain lima obyek dan lima landasan tergolong sebagai dhammāyatana. Ᾱpo-dhātu dalam mahābhūta empat juga masuk dalam golongan ini. Sedangkan tiga lainnya yaitu tejo, vayo dan patthavi tergolong sebagai phoṭṭhabbāyatana. Dengan demikian menurut Theravāda, unsur dhammāyatana terdiri dari 16 bagian yang disebut sebagi "dhammāyatana-pariyātanna-rūpa". Sedangkan menurut Vaibhāsika hanya ada satu Dhammayatana rūpa yaitu avijñapti-rūpa. Vaibhāsika tetap mengakui adanya unsur-unsur seperti feminitas, maskulinitas, unsur kehidupan dll namun sebagai bagian dari āyatana/landasan saja.
Menurut Saṅgīti Sutta, unsur rūpa (materi) hanya terdiri dari tiga bagian yaitu saniddassana-sappaṭigha, aniddassana-sappaṭigha dan anidassana-appaṭigha. Dari ketiga bagian ini tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan dalam Abhidhamma di jeaskan bahwa ketiga bagian rūpa sebagimana yang disebutkan dalam Saṅgīti Sutta adalah pertama saniddassana-sappaṭigha adalah rūpāyatana; kedua aniddassana-sappaṭigha adalah cakkhāyatana, sotāyatana, ghānayatana, jivhāyatana dan phoṭṭhabbāyatana; ketiga anidassana-appaṭigha adalah dhammāyatana yang ditunjukkan dengan ungkapan dalam Saṅgīti Suttarūpam anidassanaṃ appaṭighaṃ”.
Kesimpulannya pada masa Buddisme awal tidak membuat klasifikasi tentang upadaya rūpa. Buddhisme awal hanya memberikan pembagian garis besar rūpa seperti yang ditunjukkan dalam Saṅgīti Sutta. Kemudian klasifikasi upādāya-rūpa terutama dhammāyatana ini muncul setelah masa munculnya aliran-aliran atau Buddhisme belakangan. Hal itu juga diperkuat dengan perbedaan padangan mengenai klaisifikasi rūpa oleh masing-masing aliran. Sarjana tertentu seperti Prof. Stchebatsky berusaha menghapuskan adanya klasifikasi detail, demikian juga dengan aliran Vaibhāsika   yang berusaha menyederhanakan pengklasifikasian rūpa. Berbeda dengan itu,Theravāda justru berusaha detail dalam menjelaskan bagian upādāya-rūpa. Bahkan Theravāda berusaha menambahkan satu unsur lagi sehingga genap menjadi 24 unsur.

SEJARAH MUNCULNYA AGAMA DI INDIA KUNO


SEJARAH MUNCULNYA AGAMA DI INDIA KUNO

Pengantar
Sepanjang sejarah kehidupan manusia tidak lepas dari sebuah sisten kepercayaan. Mulai dari masyarakat primitif hingga masyarakat modern memiliki sebuah sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan masyarakat primitif dimulai dari kepercayaan akan benda-benda mati ataupun binatang-binatang tertentu (dinamisme). Seiring majunya pola pikir masyarakat, kepercayaan dinamisme pun mengalami pergeseran. Dalam studi kasus peradaban Kristen, Islam dan Yahudi, Schmidt (dalam Amstrong, 2004:27) menyatakan telah ada satu monoteisme primitif sebelum manusia menyembah banyak dewa. Manusia percaya akan adanya satu Tuhan yang menciptakan dunia dan mengatur segala isinya. Tuhan yang mereka maksud disebut sebagai Tuhan Tertinggi. Lebih lanjut di katakan Scmidt bahwa Tuhan Tertinggi pada zaman kuno kemudian digantikan oleh tuhan-tuhan kuil. Demikian studi kasus yang dari agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Agama-agama ini didalam tradisi yang termuat dalam kitab dikatakan sebagai agama wahyu dari Tuhan. Meskipun dipercaya mutlak ajaran Tuhan dalam perkembangannya ternyata mengalami perubahan-perubahan.
Berdasarkan catatan sejarah, agama-agama yang dianut sebagian besar umat manusia di dunia ini lahir di daratan Asia. Demikian pula tradisi Brahmanisme lahir di daratan India. Sebagai sebuah kepercayaan yang dianut oleh umat manusia dalam perkembangannya tradisi Brahmanisme pun mengalami perubahan dilihat dari segi religiusitas dan segi sosialnya. Lalu bagaimana perkembangan bertahap tradisi Brahmanisme dari segi agama dan sosial?
Pembahasan
Bangsa Arya kuno diperkirakan berasal dari Indo-Jerman dan masuk ke daratan India dari Afganistan melalui celah Kaibar sekitar tahun 1500 SM. Pada saat itu peradaban Mohenjodaro dan Harappa sedang mengalami penurunan. Selain mengalami penurunan budaya, sifat terbuka Bangsa asli India (bangsa Dravida) memberikan peluang besar bagi perkembangan tradisi Brahmanisme yang dibawa oleh Bangsa Arya.

Segi Sosial
Kegiatan ekonomi utama bangsa Arya adalah sebagai penggembala dan peternak. Sebagai penggembala dan peternak mereka hidup secara nomaden, berpindah-pindah dari daerah yang satu ke daerah lain sejauh ternak mereka memakan rumput. Luas daerah yang dijelajahi ternak ini menentukan penguasaan dan pemilikan hak atas suatu daerah (fleksibel). Untuk mempertahankan klaim mereka atas suatu wilayah maka para penggembala akan dikawal oleh penunggang kuda bersenjata (coboy Arya). Ketika seorang raja akan memproklamirkan dirinya sebagai raja maka dia akan melakukan pelepasan terhadap seekor kuda yang paling bagus untuk dipersembahkan dalam upacara pengorbanan kuda (asvamedha). Kuda ini akan dikawal oleh prajurit bersenjata dan siap untuk mengalahkan siapa saja yang berusaha mengganggu kuda atau berusaha menangkapnya. Setelah kuda ini berjelajah selama satu tahun, maka wilayah yang dijelajahi tadi termasuk menjadi tanah taklukan dan berada dibawah kekuasaan raja tadi. Setelah hijrah ke India mereka kemudian mulai hidup menetap seperti bangsa Dravida. Untuk memisahkan diri dari bangsa Dravida dan mempertahankan eksistensinya, bangsa Arya menciptakan konsep Kasta. Munculnya konsep kasta berawal dari inspirasi upacara pengorbanan kepada purusa. Adapun empat kasta yang dimaksud adalah:
  1. Kasta Brahmana (golongan rohaniwan)
Kasta ini dianggap berasal dari mulut brahma. Mereka adalah kelompok pendeta, tukang ramal dan orang suci yang menjadi penyambung lidah dari kebenaran abadi. Mereka adalah pencipta tatanan masyarakat.
  1. Kasta Ksatria (golongan bangsawan)
Kasta ini dianggap berasal dari tangan brahma. Mereka adalah golongan raja, prajurit dan kepala suku yang menjadi pengelola dari tatanan yang diciptakan Kasta Brahmana.
  1. Kasta Vaisya (golongan pedagang)
Kasta ini diyakini berasal dari bahu brahma. Kelompok ini berisi golongan petani, tukang dan keturunan bangsa Arya yang berperan untuk menyediakan sarana prasarana untuk menyelenggarakan tatanan tersebut.
  1. Kasta Sudra (golongan pelayan)
Golongan masyarakat ini dianggap berasal dari kaki brahma yang berperan dalam menyumbangkan tenaga fisiknya.
Disamping empat kasta diatas masih ada satu kelompok masyarakat yang tidak termasuk dalam empat kasta di atas yaitu golongan candala. Golongan candala dianggap berasal dari debu di sekitar brahma. Sistem kasta yang mereka miliki bersifat tertutup. Jadi tidak sembarang masyarakat dari strata tertentu masuk kedalam strata yang lain baik melalui perkawinan ataupun pendidikan. Akan tetapi kasta yang berada di atas bisa mengambil peran kasta dibawahnya, sedangkan kasta yang berada dibawah tidak bisa menggantikan peran kasta atasnya. Misalnya, seorang brahmana boleh menggantikan peran seorang bangsawan, tetapi seorang bangsawan tidak boleh menggantikan peran seorang brahma dalam tugas keagamaan. Berkat kearifan yang tinggi, bangsa Arya dapat masuk ke India dan menduduki India serta mengalahkan pendudukasli India. Ras-ras yang ditaklukan kemudian dikategorikan dalam kasta keempat, dirampas hak-haknya secara kasar dan dijauhkan  dari kearifan masyarakat penakluk yang menciptakan kekuasaan, dan dilarang untuk menguasai hal-hal yang dianggap teknik-teknik Vedic. Dalam Dharmasastra awal dikatakan bahwa jika seorang sudra mendengar himne Vedic, maka ia harus dihukum dengan timah panas yang dituang ke dalam telinganya. Himne-himne suci ini hanya diperuntukkan bagi para brahman, ksatria  dan vaisya .
Konsep lain yang diperkenalkan dalam tradisi brahmanisme adalah konsep asrama dharma yang meliputi empat fase kehidupan, yaitu:
  1. Brahmacariya (bertapa)
Fase pertama adalah menjadi murid (sisya) orang yang menunggu dan melayani gurunya (antevasin). Sekitar usia 7-20 tahun anak-anak dikirim untuk belajar kepada seorang guru. Ia juga harus tinggal dengan guru. Selama menjalani kehidupan brahmacari manusia harus mencapai kesucian sempurna. Jika dia melanggar dengan melakukan hubungan seks dengan lawan jenis, yang berarti memutuskan kontinuitas hubungan dan identifikasi sepanjang hidup dengan guru, maka hukuman keras akan ditimpakan kepadanya. 
  1. Grahaprasta/grhastha (berumah tangga)
Fase kedua adalah menjadi kepala rumah tangga. Setelah memiliki kemapuan menjadi ayah, bisnis atau pekerjaan, ia menerima seorang istri (yang dipilihkan untuknya oleh orang tuannya), membuat keturunan, menghidupi keluarga,, dan mengidentifikasi diri dengan semua tugas dan peran ideal pater familias tradisional. Dalam tahap inilah seseorang yang sudah memiliki kekayaan cukup akan mengabdikan diri dengan berderma kepada koelompok brahman untuk melaksanakan serangkaian ritual.
  1. Vanaprastha (tinggal dihutan)
pada tahap ketiga ini seseorang harus mebuang kepemilikan dan semua perhatiannya kepada artha dan mejauhkan diri dari nafsu dan kecemasan kehidupan berumah tangga (kama) dan berpaling dari kewajiban –kewajiban dalam masyarakat (dharma) untuk memasuki tahap pertapaan di hutan. Suami dan istri pada periode pengasingan diri di hutan ini menolak perhatian, kewajiban, kesenangan dan kepentingan yang mengikat mereka pada dunia dan mulai melakukan perjalann batiniah yang sulit.
  1. Sanyasin/bhiksu

Review of Sciberras Colette Durham: “Buddhism and Speciesism: on the Misapplication of Western Concepts to Buddhist Beliefs ”


Review of Sciberras Colette Durham: Buddhism and Speciesism: on the Misapplication of Western Concepts  to Buddhist Beliefs

Sciberras Colette Durham: Buddhism and Speciesism: on the Misapplication of Western Concepts  to Buddhist Beliefs. editor@buddhistethics.org, Durham: Departemen Filsafat Universitas Durham colette.sciberras @ durham.ac.uk

Oleh:
Sayudi
(07.1.153)

Diperiksa Oleh waluyo M.Pd.

Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra


Studi penelitian Buddhisme di Durham telah menemukan perkembangan penjelasan teori tentang perbandingan sikap antara Buddhisme awal dengan sarjana barat tentang spesiesisme. Perbandingan itu dijelaskan oleh Sciberras yang dalam abstraknya menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan Paulus Waldau mengenai spesiesisme dalam Buddhisme. Dalam bukunya The Specter of Speciesism; Buddhist and Christian Views of Animals, Paul Waldau berpendapat bahwa seperti halnya Kristiani, Buddhisme memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan binatang, “values humans and human life more highly than other animals and their lives”. Menurut Sciberras, pendapat itu masih kurang tepat dan perlu dikaji lebih lanjut.
Sciberras menjelaskan bahwa Waldau juga mengacu pada teks Pali untuk mendukung dan memperkuat gagasannya tentang pertimbangan moral hanya diperuntukan bagi manusia bukan makhluk lain (binatang). Sehingga Sciberras juga berusaha meluruskan pandangan sarjana barat melalui sudut pandang Buddhisme awal dan tidak memasukan isu-isu yang ada dalam  aliran Mahayana ataupun Tantrayana.
Hal pertama yang dilakukan Sciberras adalah menyoroti definisi spesiesime menurut Waldau. Dia menemukan adanya ketidaksesuaian definisi spesies secara Buddhis. Waldau berpendapat bahwa dalam teks Pali tidak ada larangan mengenai pemanfaatan hewan bagi manusia, sehingga Waldau menyatakan ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme. Meskipun dalam teks Pali tidak ada sebuah larangan akan pemanfaatan hewan, namun hal itu sebenarnya tetap bertentangan dengan ajaran Buddhisme, dimana semua makhluk dipandang memiliki hak yang sama yaitu hak untuk memperoleh kebahagiaan hidup hingga mencapai pembebasan agung. Teks Pali lebih banyak berisi tentang saran dan anjuran bukan sebagai sebuah kitab berisi perintah dan larangan. Klaim Waldau yang kedua adalah bahwa ajaran Buddha memberikan nilai yang lebih besar kepada manusia daripada binatang lain. Menurut Sciberras, hal ini tidak berarti adanya spesiesisme dalam Buddhisme jika didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan manusia lebih menyenangkan dari pada hewan. Dalam Buddhisme, setiap makhluk baik manusia maupun hewan pada dasarnya tidak akan pernah mati secara batin dan jasmani selama belum mencapai arahat. Setiap makhluk akan mengalami tumimbal lahir sesuai dengan kammanya, apakah akan terlahir di alam derita atau alam bahagia, masing-masing akan mengalami kehidupan sebagai binatang jika akusala kammanya mendorong dia terlahir di alam binatang, atau binatang yang memiliki timbunan kusala kamma untuk terlahir ke alam bahagia pada kelahiran berikutnya terlahir sebagai manusia. Jadi kelahiran dalam Buddhisme tidak hanya bersifat satu arah. Dengan demikian teori spesiesime dalam Buddhis seprti yang dikemukakan Waldau menurut Sciberras gagal.
Pandangan Waldau yang disetujui Sciberras adalah mengenai kemampuan manusia lebih tinggi dalam mengikuti ajaran Buddha. Dalam hal ini, manusia berharga bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk pencapaian yang lebih tinggi yaitu Nibbana.
Dalam definisi spesiesisme menurut Waldau, lingkaran moral menjadi aspek penting dan menentukan, manusia termasuk di dalamnya sedangkan hewan tidak termasuk. Untuk itu, kehidupan manusia harus dilindungi dari penangkaran, pemanfaatan sebagai media percobaan dan melindunginya dari bahaya.
Sciberras menyatakan kelemahan definisi ini adalah bahwa tidak hanya manusia yang menginginkan hal demikian. Primata lain juga menginginkan kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan. Lebih lanjut dia memberikan pandangannya mengenai spesiesisme dengan rasisme yang diungkapkan oleh Peter Singer dalam diskusi filosofis tentang kesamaannya dengan teori spesiesisme. Persamaanya adalah ketika menyatakan bahwa manusia termasuk dalam lingkaran moral dan hewan lain tidak, maka sama halnya ketika menyatakan orang berkulit putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang kulit berwarna. Dia memandang bahwa argumen Waldau mengikuti pandangan Singer. Nilai moral yang membedakan manusia dengan makhluk lain menurut Waldau antara lain penggunaan bahasa, interaksi dan komunikasi; hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial, norma-norma sosial dan harapan; kompleksitas dalam individu; kecerdasan kesadaran diri; intensionalitas, dan kemampuan menciptakan alat. Oleh karena Buddhisme tidak selalu menyertakan hewan dalam lingkup moralitas, maka Waldau berpikir ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme.
Sciberras membuat kritik terhadap keruntuhan pendapat Waldau dalam dua hal. Pertama, dengan definisi pribadinya, dia harus menunjukkan bukti bahwa Buddhisme tidak memasukkan semua spesies lain dari lingkaran moral dan tidak hanya orang dengan ciri yang dia sebutkan menjadi kunci menyebut spesies. Kedua, dia tidak menunjukkan keterangan tentang ciri spesies dalam Buddhisme yang sebenarnya, seperti ciri yang dia sebutkan untuk memasukkan atau mengeluarkan binatang dari lingkaran moral. Hal yang dinyatakan Waldau tidak berdasarkan pada pandangan filsafat Buddha, akan tetapi mengacu pada filsafat barat. Misalnya, Aristoteles  mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional. Moral sepertinya menjadi pertimbangan utama semata-mata hanya untuk manusia. Dalam teks Pali jarang ditemukan antara hubungan pertimbangan. Di sisi lain, dalam teks Pali jarang ditemukan hubungan antara pertimbangan moral dengan kepemilikan kualitas tertentu. Sciberras selanjutnya mengutip syair dalam Karaṇiya Metta Sutta:
Makhluk hidup apa pun yang ada, tanpa kecuali, lemah atau kuat, panjang, besar atau ukuran menengah, atau pendek, apakah terlihat atau tidak terlihat, dan mereka yang tinggal jauh atau dekat, yang lahir dan mereka yang mencari kelahiran, semoga semua makhluk bahagia (SN 1.8, terj. Buddharakkhita). Sutta ini mengungkapkan bahwa Buddhisme awal mengajarkan kepedulian terhadap kesejahteraan makhluk lain tidak terbatas hanya kepada anggota spesies tertentu, juga tidak tergantung pada karakteristik mereka. Sebaliknya, lingkaran moral diperpanjang jauh untuk "makhluk apa pun yang mungkin ada tanpa kecuali," dengan kata lain, untuk semua makhluk.  Artinya jika gagasan "lingkaran moral" dapat diterapkan dalam agama Buddha, maka akan sangat berbeda dari tradisi barat.  Jadi pada dasarnya Waldau tidak kritis memasukkan konsep etika barat ke dalam Buddhisme.
Dalam mengkritisi pandangan Buddhisme mengenai hewan percobaan,Waldau memberikan contoh tentang gajah. Dia berasumsi bahwa meskipun teks-teks Pali tampaknya mengakui kerugian yang diderita gajah peliharaan, mereka tidak mempertanyakan asumsi bahwa hal itu dapat diterima untuk menggunakannya. Sebaliknya, mereka tampaknya mendukung tradisi kepemilikan gajah sebagai properti, menggunakan praktek-praktek kejam, atau memberikan mereka pergi. Misalnya dalam syair syair Dhammapada sang Buddha berkata “Sekarang aku dapat mengendalikan pikiranku, seperti pawang gajah mengendalikan gajah menggunakan tongkatnya”. Menurut Waldau hal ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha tidak hanya menerima, tetapi juga mendorong pemanfaatan ini.
Penafsiran mengenai sīla pertama (panatipata) oleh Waldau sebagai anjuran menghindari pembunuhan saja adalah kurang tepat. Pada dasarnya sīla  pertama ini memiliki cakupan makna yang lebih luas, yaitu anjuran menghindari segala bentuk tindakan yang membahayakan makhluk lain seperti menyiksa, menyakiti dan memanfaatkan mereka. Penafsiran ini dimungkinkan karena asumsi mengenai petani yang sulit untuk pemanfaatan makhluk lain ataupun pembunuhan. Lebih lanjut Waldau berpendapat, anjuran menghindari pembunuhan hanya berlaku bagi kalangan biarawan Buddhis saja. Dari pembahasan yang dilakukan oleh Waldau, ada catatan penting yang ditemukan Waldau tentang pemanfaatan binatang seperti gajah nampaknya dibenarkan, dan ini kemungkinan menjadikan konflik antara tuntutan moralitas Buddhis dan pemanfaatan binatang pada saat itu.
Dalam Jataka memang ditemukan beberapa cerita perbudakan. Perbudakan itu sendiri berkaitan dengan pemanfaatan manusia demi kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan aspek kerugian yang menimpa seorang budak. Mengacu pada kitab Jataka yang diterjemahkan oleh Rhys David, Sciberras menemukan tidak kurang dari lima cerita mengenai perbudakan yang dialami oleh Bodhisatta dan sisi penderitaannya pada kelahiran sebelumnya. Cerita ini bukan berarti Buddhisme menyetujui pemanfaatan manusia (perbudakan), namun justru memberikan gambaran adanya kejadian yang dialami Bodhisatta dan penderitaannya sebagi budak.
Sciberras mengatakan bahwa meskipun Waldau mengakui rasa kesinambungan antara manusia dan binatang, namun dia tetap berasusmi bahwa hewan memiliki derajat lebih rendah dibandingkan dengan manusia. Hal ini disebabkan Buddhisme memberikan pemisahan antara manusia dengan binatang, dengan menggambarkan kehidupan binatang yang tidak bahagia.
Mengacu pada beberapa ajaran dalam Sutta dan Vinaya Pitaka, nampaknya memperkuat asumsi Waldau mengenai spesiesisme dalam Buddhisme, dimana dia tetap menganggap kehidupan sebagai manusia menempati urutan pertama diantara makhluk lain. Ajaran itu antara lain pembagian 31 alam kehidupan bagi kelahiran setiap makhluk. Manusia merupakan makhluk yang mendiami alam bahagia (sugati) dan binatang mendiami alam derita (dugati). Hal ini membuat Waldau yakin akan spesiesisme dalam Buddhisme. Hidup sebagi manusia merupakan buah kamma baik bagi makhluk yang bijaksana sedangkan terlahir sebagi binatang merupakan hasil kamma buruk berupa kebodohan batin. Kemudian dalam Vinaya Pitaka, dijelaskan bahwa untuk mencapai kebuddhaan adalah dengan menjalankan kehidupan Brahmacariya, yang syarat pertama adalah manusia. Dengan demikian Waldau beranggapan Buddhisme mencela kelahiran sebagai binatang.
Sciberras berpendapat kualitas kehidupan suatu makhluk tidak tergantung pada kualitas kecerdasan, sebagaimana perbandingan antara hewan dan manusia. Mengacu pada pendapat Taylor, bahwa semua manusia memiliki nilai instrinsik yang sama. Sikap moral manusia tidak diukur dari segi kekayaan, kecantikan dan kecerdasan intelegensinya. Kita tidak dapat beranggapan bahwa  seseorang yang sangat cerdas, kualitasnya lebih tinggi dari orang yang kurang pandai. Demikian juga terhadap hewan, meskipun dari struktur otak manusia lebih baik dari binatang, bukan berarti binantang tidak memiliki kualitas moral yang lebih rendah dan bisa diperlakukan sekehendak manusia.
Sciberras selanjutnya mengulas mengenai keuntungan terlahir sebagai manusia adalah potensi untuk mencapai pencerahan dibandingkan makhluk lain. Manusia memiliki kesempatan belajar Dhamma lebih banyak dari pada makhluk alam Dugati bahkan maklhuk alam dewa. Manusia tidak terganggu oleh kegiatan yang menyenangkan seperti dewa-dewa, bukan juga mereka kewalahan oleh kehidupan siksaan, seperti dalam alam bawah (SN 35,135).
Meskipun kehidupan manusia lebih baik daripada satu sebagai binatang dan hidup sebagai dewa bahkan dinilai lebih tinggi, tapi kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi dilihat sebagai hasil tindakan moral sebelumnya. Terlahir di alam dewa tidak lain merupakan hasil dari moralitas yang baik diantaranya dengan menghargai semua bentuk. Artinya, untuk mencapai "puncak eksistensi" terlahir di alam bahagia, seseorang perlu memperlakukan semua makhluk lain dengan baik, tak peduli seberapa "rendah" makhluk itu (AN 8,39).
Dari beberapa penjelasan itu, penulis menemukan perbandingan sikap para sarjana Buddhis tentang spesiesisme seperti Sciberras yang memandang pendapat Waldau tentang spesiesisme yang perlu di evaluasi. Evaluasi perlu agar manusia tidak terjerumus pada paham diskriminasi terhadap spesies lain. Hal itu juga diperkuat penjelasan Buddha yang juga menentang diskriminasi pada makhluk lain seprti yang ditemukan dalam refrensi-refrensi Buddhisme awal yang mengungkapakan agar kita mencintai semua makhluk tanpa kecuali. Sudut pandang cinta kasih dan pandangan Buddhisme awal itulah yang mendasari Sciberras untuk menentang pendapat Waldau. Dari berbagai sudut pandang penjelasan tentang perbandingan sikap tentang spesiesisme ini, penulis berpendapat bahwa perbandinagn itu dipicu interpretasi yang berbeda-beda dari para sarjana terhadap ajaran Buddha. Karena interpretasi yang berbeda-beda itu pula, penulis menyadari adanya beberapa penjelasan yang masih belum cukup jelas, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk adanya penelitian lebih lanjut untuk memahami sikap Buddhisme terhadap spesiesisme.

PANDANGAN BUDDHIS TERHADAP SPESIESISME

 
PANDANGAN BUDDHIS TERHADAP SPESIESISME


Pengertian Spesiesisme
Spesiesisme adalah suatu prasangka atau perilaku menyimpang demi kepentingan dari anggota spesiesnya sendiri dan menindas anggota spesies lainnya. Jika suatu makhluk menderita karena tidak ada keadilan moral, mereka menolak untuk memperhatikan penderitaan itu. Dalam setiap dan semua kasus, manusia yang punya kekuasaan mengeksploitasi yang lemah. Mungkin hal yang sama terjadi dalam hal bagaimana manusia memperlakukan hewan lain atau penghuni bumi lain.
Sebab-sebab Eksploitasi
Hal yang dapat menyebabkan eksploitasi manusia terhadap hewan yaitu adanya kekeliruan penafsiran terhadap ajaran agama seperti yang terjadi pada masyarakat dewasa ini dan provokasi dari ilmuan-ilmuan (http://takenrc.blogspot.com/2005/06/buku-pertama-neh.html). Misalnya agama-agama besar, terutama agama kristen memberikan sumbangan besar untuk melatenkan antroposentris. Pada Kitab kejadian, pasal 1: 26-28, dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia secitra dengan Allah pada hari keenam sebagai puncak dari seluruh karya ciptaan-Nya. Selanjutnya Allah menyerahkan alam semesta beserta isinya kepada manusia untuk dikuasai dan ditaklukan. Sama juga di Islam, pada surat Al Baqarah: 30, bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah fil ardl, pemimpin dimuka bumi. Tentu, bukan ayatnya yang salah tapi penafsiran manusia terhadap ayat tersebut yang keliru, bahwa untuk dikelola, dikuasai, ditaklukan membuat manusia semena-mena terhadap alam. Prinsipnya yaitu, selama tidak mengganggu manusia lain. Pada tradisi aristotelian yang dikembangkan oleh Thomas aquinas dengan fokus utama Rantai kehidupan, dimana kehidupan di dunia ini membentuk rantai kesempurnaan kehidupan, dari yang paling sederhana sampai paling mendekati sempurna, yakni manusia. Maha Sempurna adalah Tuhan, karena manusia mendekati Tuhan, maka manusia berhak untuk menggunakan semua ciptaan demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Argumen yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, Rene Descartes, dan Immannuel Kant bahwa manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan makhluk ciptaan lainnya karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional. Ia makhluk berakal budi dan memiliki perasaan, sedangkan binatang dan tumbuhan hidup secara mekanis.
Bentuk-Bentuk Eksploitasi Manusia terhadap Hewan
Motif manusia dalam mengksploitasi hewan ada banyak hal (http://suprememastertv.com). Manusia telah memanfaatkan hewan sebagai peliharaan, bahan makanan, bahan pakaian, hiburan dan media percobaan penelitian. Manusia tidak pernah membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi pada dirinya. Manusia cenderung egois dan mementingkan kepuasan dirinya sendiri. Seandainya hewan-hewan mampu bertindak secanggih manusia, pembunuhan dan pelanggaran hak tentu hewan-hewan akan melakukan berbgai protes terhadap tindakan keji manusia. Jika hewan mampu bertindak demikian pastinya umat manusia akan mendapat banyak serangan dari hewan-hewan. Dengan dasar bahwa pertumbuhan hewan cenderung lebih besar daripada pertumbuhan manusia maka dapat dipastikan bahwa manusia juga ada kemungkinan tidak mampu menghadapi aksi balasan dari para hewan.
Berikut beberapa contoh engksploitasi manusia terhadap hewan:
1.        Hewan Peliharaan
Hampir setiap orang mampu memelihara hewan baik dalam skala profesional maupun non-profesional. Bagi toko hewan peliharaan, sebagian besar hewannya berasal dari peternakan anjing. Peternakan anjing itu ada yang berbiaya tinggi dan ada yang berbiaya rendah. Mereka yang berbiaya rendah seringkali beroperasi di belakang rumah yang menempatkan hewan pada keadaan kotor dan berjejal tanpa perawatan ahli hewan atau sosialisasi. Anjing dari peternakan sering menunjukkan masalah fisik dan psikologis saat mereka tumbuh.
2.        Makanan
Lebih dari 10.000 ekor per menit, lebih dari enam miliar per tahun, hanya di Amerika Serikat, kehidupan benar-benar disalurkan dari yang disebut "hewan daging". Karena punya kekuatan lebih besar, manusia memutuskan kapan hewan tersebut akan mati, di mana mereka akan mati, dan bagaimana mereka mati. Kepentingan hewan ini sendiri tidak berperan apa pun dalam memutuskan nasib mereka. Membunuh hewan adalah tindakan yang biadab.
Orang-orang mungkin berharap agar daging yang dibeli berasal dari hewan yang mati tanpa kesakitan. Tapi mereka benar-benar tidak mau tahu. Namun siapa pun, dengan pembelian mereka, itu menyebabkan hewan dibunuh, aspek lainnya dari produksi daging selalu ditutup-tutupi.  Banyak orang yang tidak pernah membayangkan bagiamana penderitaan sapi-sapi yang dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebelum sapi-sapi dijagal ada serangkain proses menyedihkan yang harus dilalui. Contoh, sapi-sapi harus distempel panas, tanduk dipotong tanpa adanya bius bahkan ada sapi yang dipaksa minum air dengan jumlah yang banyak agar timbangan menjadi berat yang dikenal dengan istilah sapi gelonggongan. Selain itu saat dalam perjalanan ke tempat penjagalan, hewan ditempatkan berjejalan dalam truk, mereka saling tumpuk dengan yang lainnya. Tentunya sapi-sapi ini mengalami masa-masa depresi, frustasi, kepanasan, kedinginan, kelelahan, trauma, dan kondisi kesehatan yang memburuk. Ini merupakan serangkaian proses untuk mendapatkan bahan makanan hewani berupa daging yang sangat bertentangan dengan paham Buddhisme.
Selain untuk diambil dagingnya, hewan juga dimanfaatkan untuk diperah susunya. Pada proses untuk mendapatkan sekotak susu kemasan ternyata manusia telah melanggar hak untuk hidup bahagia  bagi hewan. Sapi yang akan diperah diikat dengan rantai di kandang mereka sepanjang hari, tidak bisa bergerak. Pestisida dan antibiotik juga dipergunakan untuk produktivitas susu. Dengan cepat, sapi perah seperti ini kolaps karena kelelahan. Biasanya, sapi bisa hidup hingga sekitar 20 tahun. Tapi sapi perah biasanya mati dalam empat tahun, setelah tahap ini dagingnya dipergunakan untuk restoran cepat saji.
3.        Pakaian
Permintaan terhadap kulit hewan terutama berasal dari Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Hampir setiap orang mengenakannya, dengan sedikit atau tanpa memikirkan dari mana itu berasal. Ribuan sapi India dibantai setiap minggu demi kulit mereka, dibeli dari keluarga miskin di berbagai pedesaan India yang menjualnya dengan keyakinan bahwa hewan itu akan menjalani hidup mereka di peternakan. Hewan-hewan yang digunakan manusia sebagai bahan pakaian misalnya sapi, ular, buaya, komodo, domba, merak, dan ayam. Hewan-hewan ini merupakan komoditi yang sangat diminati. Manfaatnya adalah sebagai bahan sepatu, tas, celana, baju, topi dan sebagainya.
4.         Hiburan
Penggunaan hewan sebagai hiburan ada bermacam-macam. Di Indonesia banyak dijumpai budaya sabung ayam yang dilakukan masyarakat. Hewan-hewan sengaja diadu untuk bertarung. Ayam-ayam ini kemudaian menjadi ajang berjudi. Selain ayam,  anjing dan kuda merupakan komoditi dan mesin pencetak uang bagi penggemar judi. Bahkan sekarang hewan kecil semacam jangkrik juga diadu. Untuk alasan hiburan, manusia juga menghilangkan hak hewan dengan cara berburu, memancing, sirkus, pacuan dan sebaginya . Banyak orang yang memiliki hobi berburu seperti menembak. Biasanya mereka pergi ke hutan dan menembak hewan seperti burung, tupai dan babi hutan. Selain memberikan kepuasan bagi pemburu, hewan-hewan ini juga dapat dikonsumsi dagingnya.
5.        Sains
Untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan manusia menggunakan hewan untuk dijadikan media penelitian, misalnya percobaan medis. Manusia melakukan pembedahan hidup-hidup pada segala jenis satwa yang digunakan untuk percobaan. Alasan untuk percobaan jenis ini adalah menemukan penyembuhan bagi penyakit manusia. Hasil penelitian yang diperoleh dari satwa diharapkan dapat diterapkan untuk manusia. Seperti halnya penelitian luka kepala yang melibatkan monyet babon yang secara parsial atau sepenuhnya sadar, diikat dengan kekangan dan kepala mereka disemen ke dalam helm logam, yang akan didorongkan pada sudut 60 derajat pada kekuatan sampai 1.000 G. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menirukan kecelakaan mobil, sepak bola, tinju, dan luka lain berhubungan dengan kepala. Dan proses ini sering diulang lagi dan lagi pada satwa yang sama. Selain itu manusia menggunakan hewan untuk penelitian militer. Uji coba untuk memapar primata terhadap radiasi nuklir manusia memanfaatkan anjing sebagai media percobaan.
Pandangan Buddhisme Tentang Spesiesisme
Dalam definisi spesiesisme menurut pandangan umum, moral menjadi aspek penting dan menentukan. Contoh, Paul Waldau dalam bukunya The Specter of Speciesism; Buddhist and Christian Views of Animals, berpendapat bahwa seperti halnya Kristiani, Buddhisme memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan binatang, “values humans and human life more highly than other animals and their lives”. Nilai moral yang membedakan manusia dengan makhluk lain menurut Waldau antara lain penggunaan bahasa, interaksi dan komunikasi; hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial, norma-norma sosial dan harapan; kompleksitas dalam individu; kecerdasan kesadaran diri; intensionalitas, dan kemampuan menciptakan alat. Manusia dianggap di dalam golongan yang bermoral sedangkan hewan tidak termasuk. Untuk itu, kehidupan manusia harus dilindungi dari penangkaran, pemanfaatan sebagai media percobaan dan melindunginya dari bahaya.
Kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan tidak hanya diinginkan manusia. Primata lain juga menginginkan kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan. Hal itu menjelaskan bahwa kehidupan dalam jenis spesies apapun mempunyai kebutuhan yang tidak jauh berbeda. Jiika ada yang menyatakan spesiesisme dalam Buddhisme itu ada, berarti tidak jauh berbeda dengan pendapat pendapat Singer tentang adanya rasisme atau sistim kasta dalam Brahmanisme. Persamaanya adalah ketika menyatakan bahwa manusia termasuk dalam lingkaran moral dan hewan lain tidak, maka sama halnya ketika menyatakan orang berkulit putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang kulit berwarna.
Pernyataan yang menyebutkan spesiesisme ada dalam Buddhisme tidak berdasarkan pada pandangan filsafat Buddha, akan tetapi mengacu pada filsafat barat. Misalnya, Aristoteles  mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional. Moral sepertinya menjadi pertimbangan utama semata-mata hanya untuk manusia. Dalam teks Pali jarang ditemukan antara hubungan pertimbangan. Dalam teks Pali jarang ditemukan hubungan antara pertimbangan moral dengan kepemilikan kualitas tertentu. Dalam Karaṇiya Metta Sutta disebutkan makhluk hidup apa pun yang ada, tanpa kecuali, lemah atau kuat, panjang, besar atau ukuran menengah, atau pendek, apakah terlihat atau tidak terlihat, dan mereka yang tinggal jauh atau dekat, yang lahir dan mereka yang mencari kelahiran, semoga semua makhluk bahagia (SN 1.8, terj. Buddharakkhita). Sutta ini mengungkapkan bahwa Buddhisme awal mengajarkan kepedulian terhadap kesejahteraan makhluk lain tidak terbatas hanya kepada anggota spesies tertentu, juga tidak tergantung pada karakteristik mereka. Sebaliknya, lingkaran moral diperpanjang jauh untuk "makhluk apa pun yang mungkin ada tanpa kecuali," dengan kata lain, untuk semua makhluk.  Jadi pada dasarnya kita tidak dapat memasukkan konsep etika barat ke dalam Buddhisme.
Kita sebagai umat Buddha harus pandai menelaah pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan Buddhis namun kurang sesuai dengan ajaran buddhisme awal. Kita bisa mengabil contoh Sciberras yang menyoroti definisi spesiesime oleh Waldau. Sciberras menemukan adanya ketidaksesuaian definisi spesies menurut Buddhis. Waldau berpendapat bahwa dalam teks Pali tidak ada larangan mengenai pemanfaatan hewan bagi manusia, sehingga Waldau menyatakan ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme. Meskipun dalam teks Pali tidak ada sebuah larangan akan pemanfaatan hewan, namun hal itu sebenarnya tetap bertentangan dengan ajaran Buddhisme, dimana semua makhluk dipandang memiliki hak yang sama yaitu hak untuk memperoleh kebahagiaan hidup hingga mencapai pembebasan agung. Teks Pali lebih banyak berisi tentang saran dan anjuran bukan sebagai sebuah kitab yang berisi perintah dan larangan. Klaim Waldau yang kedua adalah bahwa ajaran Buddha memberikan nilai yang lebih besar kepada manusia daripada binatang lain. Menurut Sciberras, hal ini tidak berarti adanya spesiesisme dalam Buddhisme karena dalam Buddhisme, setiap makhluk baik manusia maupun hewan pada dasarnya “tidak akan pernah mati” secara batin dan jasmani selama belum mencapai arahat. Setiap makhluk akan mengalami tumimbal lahir sesuai dengan kammanya, apakah akan terlahir di alam derita atau alam bahagia. Setiap makhluk akan mengalami kehidupan sebagai binatang jika akusala kammanya mendorong dia terlahir di alam binatang, atau binatang yang memiliki timbunan kusala kamma untuk terlahir ke alam bahagia pada kelahiran berikutnya yang bisa saja terlahir sebagai manusia. Jadi kelahiran dalam Buddhisme tidak hanya bersifat satu arah. Dengan demikian teori spesiesime dalam Buddhis seprti yang dikemukakan Waldau menurut Sciberras gagal.
Sebagai agama yang mengajarkan cinta kasih terhadap semua makhluk, maka tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi makhluk hidup ditentang Buddhisme. Hal ini dapat dijumpai dalam Vinaya Pitaka bahwa seorang bhikkhu dikenakan pelanggaran pacittiya jika melakukan pembunuhan terhadap binatang. Maka seoarang bhikkhu akan di kenakan dandakammam. Tindakan yang tidak beradap ini bikan hanya berlaku bagi pabbajita, akan tetapi juga berlaku bagi garavasa. Dalam hukum kamma, Buddha menyatakan akibat dari tindakan penyiksaan terhadap hewan akan menyebabkan umur seseorang menjadi pendek.
Dalam kitab Jataka, Buddhisme menampilkan bahwa hewan-hewan bukanlah sebagi maklhuk yang moralnya rendah. Dari berbagai cerita nampak bahwa hewan-hewan itu justru memiliki kebijaksaan dan moralitas yang lebih unggul daripada manusia. hewan-hewan yang di maksud adalah Bodhisatva. Seorang Buddha dalam kehidupan lampaunya juga terlahir sebagai binatang untuk menyempuranakan parami. Dengan demikian hidup sebagai manusia ataupun hewan merupakan bagian dari proses makhluk hidup untuk mencapai pembebasan. Perdagangan hewan dalam Buddhisme sangat ditentang untuk alasasn apapun. Hal ini karena bertentangan dengan prinsip Buddhis yang mengajarkan umat untuk mencari penghidupan benar (samma ajiva).

Paţiccasamuppāda


TEORI KAUSALITAS BUDDHIS


PENDAHULUAN
Sang Buddha menjelaskan bahwa pencarian akan hakekat sumber dari segala sesuatu membimbingnya ke penemuan tentang kesatuan dan proses kausal (Dhammaţţhitatā, Dhammaniyāmatā, atau sederhananya Dhammatā). Ini adalah pengetahuan tentang pola sebab-akibat yang memungkinkan Beliau mengakhiri kecenderungan merusak dan karenanya berhasil mencapai kebebasan. Penjelasan ini haruslah dilihat dari latar belakangnya, sewaktu beranekaragamnya teori meta fisika seperti ”Jiwa” atau ”diri” yang kekal (ātman), ”sifat bawaan” (svabāva), atau brahma pencipta (iśvara), diletakan sebagai dasar keterangan untuk menjelaskan segala fenomena.  Tentang hal ini dijelaskan oleh Sang Buddha kepada para Bhikkhu, dalam ”sutta hubungan kausal” (Paccaya sutta) yang berisi kausalitas (paţiccasamuppāda) dan fenomena yang terjadi secara bersyarat (paţiccasamuppāna Dhamma).

PEMBAHASAN
Sebelum dan semasa Sang Buddha hidup, filsafat di India masih diliputi paham-paham metafisika, hal itu juga berlaku untuk sebab-akibat. Berbagai paham metafisika ini menyebabkan ada 4 golongan besar teori kausalitas, yaitu:
  1. Disebabkan oleh faktor dari dalam (sayam katam)
pandangan ini diajarkan oleh sekolah substansialis, yang menerima realitas ”diri” (ātman) dan berpendapat sebab akibat terjadi karena kegiatan dari prinsip yang ada pada segala sesuatu (sarvam). Karena ”diri” yang tetap ini dapat ditemukan pada manusia maupun pada benda-benda yang ada di luar, sehingga semua kegiatan manusia, juga bekerjanya fungsi benda-benda lain dapat dijelaskan. Paham ini, sebagai akibatnya, menolak anggapan terjadinya akibat oleh faktor lain  selain ”diri”. 
  1. Disebabkan oleh faktor dari luar (param katam)
Teori ini diajukan oleh kaum Naturalis, yang bereaksi terhadap kaum Metafisika ideal atau sekolah Substansialis, yang percaya berfungsinya berbagai fenomena diakibatkan oleh ”sifat bawaan”nya (svabhāva).
            Menurut teori kaum Naturalis ini, ”sifat bawaan” merupakan prinsip yang mengatur alam fisika, dan manusia sendiri akibatnya ditentukan oleh prinsip fisika ini dan karenanya kepribadian kejiwaannya tidak berperan apa-apa terhadap tingkahlakunya. Kebalikanya teori kaum Substansialis berpndapat bahwa ”diri” terdapat pada fenomena fisika dan akhirnya disamakan dengan prinsip kejiwaan (cit) yang dipandang sebagai realitas dari manusia. Jadi, konsepsi kaum Naturalis tentang sebab akibat yang terjadi melalui ”sifat bawaan” (svabhāva) dipandang sebagai bentuk dari ”sebab akibat oleh faktor luar” (param katam), karena hal itu berkaitan dengan filsafat antroposentrik, sehigga pandangan ini menolak tanggung jawab moral pada manusia.
  1. Kombinasi dari penyebab dari dalam dan luar (sayam katam ca param katam ca)
Teori ini merupakan suatu usaha untuk menggabungkan kedua teori diatas yang diajukan oleh kaum Jaina. Meskipun teori ini menerima kedua aspek dari sebab-akibat itu, dari dlam maupun dari luar, juga membawa semua anggapan yang dipunyai oleh kedua teori terebut.
  1. Paham kebetulan (ahetu paccayavada)
Teori ini beranggapan bahwa segala sesuatu, baik sebab terjadinya ataupun asal-usulnya adalah karena kebetulan. Hal ini juga berlaku dalam menjelaskan prinsip kausal, beranggapan munculnya segala sesuatu semuanya hanya kebetulan saja.

Teori kausalitas Buddhis nampaknya banyak dipengaruhi oleh teori kaum Naturalis tentang ”sifat bawaan” (svabāva). Walaupun demikian, toeri Buddhis berbeda dengan teori Naturalis dalam dua hal penting. Pertama, teori Buddhis tidak hanya terikat pada akibat-akibat fisika seperti dalam teori kaum Naturalis. Dalam Buddhisme, pola kausal bahkan terdapat pada kejiwaan, moral, sosial, dan alam spiritual tetapi dalam teori kaum Naturalis hal-hal ini merupakan bagian dari sebab-akibat fisika. Kedua, Buddhisme menerima prinsip kausal yang sedikit banyak menyerupai teori kejadian bersyarat. Hal ini berbeda dengan teori kaum Naturalis yang beranggapan bahwa prinsip sifat bawaan sangat menentukan (pasti) dan tidak ada kekuatan apapun yang dapat mengubah jalannya alam.
            Dalam ”Sutta Hubungan Kausal”, Sang Buddha mengatakan ada empat ciri dari sebab akibat, yaitu:
1.      Obyektivitas (tathatā)
Ciri ini menekankan tentang obyektivitas dari hubungan kausal. Hal tersebut dimaksudkan untuk menolak pernyataan beberapa filsuf idealis yang tergolong pada kaum tradisi Upanisad dan yang berpendapat bahwa perubahan, sebab-akibat hanyalah kata-kata belaka, dengan kata lain mereka hanyalah bentuk mental yang tidak punya kaitan dengan realitas obyektifnya. Sebab-akibat menurut Sang Buddha merupakan hal yang nyata seperti hal-hal lainya.
2.      Nesesitas (avitathatā)
3.      Invariabilitas (aññathatā)
Ciri kedua dan ketiga, menegaskan  ketiadaan kekecualian adanya keteraturan. Kenyataan bahwa suatu himpunan syarat tertentu akan menimbulkan akibat tertentu dan tidak ke sesuatu yang sama sekali berlainan, merupakan suatu anggapan dasar bagi prinsip kausal. Bila gambaran ini tidak nampak, pola dasar dari kejadian yang terlihat di muka bumi ini tidak akan dapat di jelaskan. Kejadian yang muncul tanpa mengikuti pola kausal, kejadian-kejadian yang pada umumnya disebut sebagai kejadian yang kebetulan. Ini disebabkan karena ketidaktauan kita tentang pola kausal yang membuat kita menyimpulkan hal tyersebut sebagai kebetulan.  
4.      Kondisionalitas (idapaccayatā)
Ciri keempat tentang sebab-akibat, ”kondisionalitas” (idapaccayatā) sejauh ini merupakan hal yang paling penting dalam menjelaskan dua hal ekstrim, nesesitas yang tak bersyarat yang berakibat pada kepastian yang sangat dan kesembarangan yang tak bersyarat yang merupakan anggapan bagi aliran kebetulan.
Berdasarkan ciri-ciri dari teori sebab-akibat, Sang Buddha merumuskan formula umum yang dinyatakan dalam sutta, yaitu:
Imasmim sati idang hoti;
Imassa uppādā idam uppajati.

BUDDHISME PRA SEKTARIAN


Identifikasi Ajaran Buddhisme Awal

Pengantar
Sebagaimana agama-agama lain di dunia, agama Buddha mengalami suatu bentuk sektarian. Setelah Sang Buddha Parinibbāna, agama Buddha terpecah kedalam dua kelompok besar yaitu Mahasangika dan Sthaviravada. Kedua aliran ini masing-masing terpecah kembali ke dalam delapan belas aliran, sepuluh aliran dari Sthaviravada dan delapan aliran dari Mahasangika. Sepuluh aliran yang dimaksud dalam Sthaviravada yaitu Haimavata, Sarvastivada, Hetuvada, Vatsiputriya, Dharmottara, Bhadrayanika, Sammitiya, Bahudesaka, Dharmadesaka dan Bhadravarsika. Dari golongan Sthaviravada dan golongan Mahasangika beserta aliranya kemudian sering disebut-sebut menjadi empat mazhab utama yaitu: Sthaviravada dan Mahasangika serta dua mazhab lainnya yaitu Sarvastivada dan Sammitiya yang merupakan pecahan dari aliran Sthaviravada. Aliran Mahasangika dan Sarvastivada merupakan keluarga terdekat yang melahirkan aliran Mahayana, sedangkan aliran Sthaviravada sendiri merupakan keluarga terdekat yang melahirkan aliran Theravada. Dalam perkembangannya masing-masing aliran memiliki Canon yang lengkap yang terdiri dari Sutta Piţaka, Vinaya Piţaka dan Abhidhamma Piţaka.
Penyebab munculnya aliran-aliran itu adalah adanya perbedaan penafsiran dari masing-masing murid Buddha. Tiap aliran memiliki penekanan yang berbeda dalam melaksanakan Buddha Dhamma. Masing-masing agama juga mengklaim kitab suci yang mereka miliki adalah yang paling oetentik diantara kitab suci yang dimiliki oleh aliran lain. Dalam Mazhab Mahayana penekanannya terdapat pada pencapaian Bodhisatta sedangkan pada Theravada menekankan pada pencapian kearahatan. Aliran Sarvastivada memisahkan diri dari aliran Sthaviravada juga karena aliran Sarvastivada menekankan pada ajaran Abhidhamma daripada Sthaviravada yang menekankan ajaran Sutta. Dalam paper ini penulis akan membahas bagaimana cara mengidentifikasi ajaran Buddha pra sektarian dengan ajaran Buddha pasca sektarian.

Pembahasan
Hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi ajaran Buddha pra sektarian dengan ajaran Buddha pasca sektarian adalah dengan cara membandingkan kitab suci yang dimiliki oleh tiap-tiap aliran. Dengan membandingkan maka akan didapatkan suatu persamaan dan suatu perbedaan. Ajaran yang sama dapat dikatakan sebagai ajaran Buddha pra sektarian, sedangkan ajaran yang tidak sama yang tertulis dalam canon dapat dikatakan merupakan buah pikir dari para sarjana setelah Buddha Parinibbāna. Berikut ini adalah sutta-sutta yang ada di dalam Canon versi Pali dan versi Sanskerta:
1.      Dalam Dirghagama Sutra dan Digha Nikāya masing-masing dapat dijumpai Brahmajala Sutta, Samanaphala Sutta, Tevija Sutta,Sigalovada Sutta dan Maha Parinibbāna Sutta.dan sebagainya.
2.      Dalam Madyamagama dan Majjhima Nikāya masing-masing dapat ditemukan Sabbasava Sutta, Satipatthana Sutta, Ariyapariyesana Sutta, achariyabhuttadhamma Sutta, Mahadukkhakandha Sutta, Vittakasanthana Sutta dan sebagainya.
3.      Dalam Samyuktagama dan Samyutta Nikāya dapat dijumpai sutta yang mirip yaitu dalam Sagathavarga sebanyak 244 sutta dalam Canon Pali terdapat juga dalam Canon Sanskerta dan sebagainya.
Sarjana mengungkapkan ciri-ciri ajaran Buddha pra sektarian adalah sebagai berikut:
1.      Bersifat non-otoritas yaitu menganjurkan agar siswa-siswa Buddha tidak tergantung pada otoritas atau wewenang tertentu, seperti dalam Kalama Sutta:
”...Janganlah mempercayai sesuatu dari kabar-kabar angin; janganlah mempercayai sesuatu karena tradisi atau karena sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun; janganlah mempercayai sesuatu dari desas-desus atau semata-mata karena diperlihatkan kepadamu tulisan-tulisan orang-orang suci di zaman kuno; janganlah mempercayai sesuatu karena persangkaan-persangkaan atau kebiasaan bertahun-tahun, mendorongmu untuk menganggapnya benar; janganlah mempercayai sesuatu semata-mata karena gurumu. Akan tetapi, appu juga menurut pengalamanmu sendiri atau setelah diselidiki secara mendalam sesuai dengan akan pikiranmu, dan bermanfaat bagi dirimu serta sesama makhluk hidup yang lain, maka terimalah itu sebagai kebenaran dan jalankanlah dalam hidupmu...”
2.      Bersifat non-spekulatif yaitu agar tidak terjebak pada hal-hal yang tidak berguna dalam membawa kebahagiaan, maka hal-hal yang bersifat metafisika tidak dibahas seperti dalam Culamalunkyaputta Sutta. Diceritakan bahwa Bhikkhu Malunkyaputta menanyakan hal yang bersifat metafisik kepada Sang Buddha dan mengancam akan keluar dari Sangha jika Sang Buddha tidak menjelaskannya. Sang Buddha menjawab sebagai berikut:
”...Kehidupan beragama itu, Malunkyaputta, tidak bergantung pada ajaran bahwa alam itu abadi; sebaliknya kehidupan beragama itu, hai Malunkyaputta, tidak tergantung pada ajaran bahwa alam itu tidak abadi. Sekalipun ajaran serupa itu ada, Malunkyaputta, bahwa alam itu abadiatau alam itu tidak abadi, tetapi disituada kelahiran, usia, maut, duka, ratapan, derita, kemalangan dan kekecewaan, yang peniadaan seluruhnya di dalamkehidupan, sengaja kami uraikan. Karena itu hai Malunkyaputta, tanamkan ke dalam ingatan akan apa yang akan kami jelaskan, dan akan apa yang tidak kami jelaskan. Dan apakah hai Malunkyaputta yang tidak kami jelaskan?
Kami tidak menjelaskan, hai Malunkyaputta, bahwa alam itu kekal, kami tidak menjelaskan bahwa alam itu tidak kekal; kami tidak menjelaskan bahwa alam itu terbatas atau tidak tidak terbatas; jiwa adalah sama dengan tubuh; jiwa adalah satu hal dan tubuh adalah hal lain; setelah kematian, Tathāgata ada atau setelah kematian Tathāgata tidak ada; setelah kematian Tathāgata ada atau tidak ada; setelah kematian Tathāgata bukan ada pun bukan tidak ada. Sebabnya Malunkyaputta, hal itu tidak menguntungkan, bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan hal-hal paling asasi dalam agama, malah tidak mengarah kepada pencegahan dan peniadaan nafsu, penghentian, ketenangan, pembebasan, hikmat tinggi dan Nibbāna...”
3.      Cenderung pragmatis, yaitu ajaran Buddhisme awal menekankan pada praktek moralitas daripada pengembangan intelektualitas. Seperti yang dijelaskan dalam Malunkyaputta Sutta, Sang Buddha menolak untuk menjelaskan mengenai pengetahuan metafisis karena tidak membawa seseorang kepada kemajuan batin. Itu sebabnya semasa hidup Sang Buddha Tipiaka belum dituliskan. Sedangkan ajaran Budhisme paska sektarian lebih menekankan pada pemahaman intelektual. Setelah Sang Buddha Parinibbāna maka timbulah perpecahan diantara para bhikkhu. Aliran-aliran Buddhime masing-masing mengembangkan pemahaman intelektual terhadap ajaran Buddha. Tokoh Buddhis yang terkenal dan mampu menanamkan paham yang dianutnya adalah Nāgarjuna dengan paham Suñata.
4.      Non-absolutisme, yaitu ajaran Buddhisme awal tidak mendorong pemeluknya terjebak kepada hal-hal yang absolut, mencegah pemeluknya terjerumus pada hal-hal yang bersifat hakiki. Seperti yang Buddha Gotama ajarkan bahwa seseorang tidak diajarkan untuk memegang Dhamma sebagai sesuatu yang absolut.
”...Duhai para Bhikkhu kami mengajarkan dhamma untuk dipergunakan sebagai rakit untuk menyeberang dan bukan untuk disimpan atau digantung terus-menerus...”
Seseorang dicegah untuk mengabsolutkan upacara-upacara yang dianggap membawa seeorang pada kesucian (silabataparama). Bukan upacara yang dapat membawa seseorang pada kesucian, akan tetapi latihan kemoralan dengan menghapus lobha, dosa dan moha itulah yang dapat membawa seseorang pada kesucian.
Buddhisme paska sektarian cenderung absolutis. Pada perkembangan selanjutnya ajaran dalam Abhidhamma mendapat status yang meninggi. Inilah awal kecenderungan absolitisme. Sebagai kitab yang memuat Dhamma yang diajarkan Buddha Gotama yang sifatnya analitis, Abhidhamma kemudian menempatkan Nibbāna  kedalam kategori batin yang mana batin dan jasmani kemudia dikenal sebagai realitas terakhir (paramattha).
Hal-hal yang dapat menimbulkan seseorang terjebak ke dalam absolutisme adalah iman (sadha), kesukaan (ruci), tradisi/wahyu (anusava), pandangan sekilas. Ketika seseorang sudah memiliki iman terhadap sesuatu tapi tidak memiliki mata kebijaksanaan maka dapat menimbulkan seseorang terjerumus pada hal-hal yang salah. Seseorang yang telah mengimani pada suatu doktrin Jihad yang salah, maka orang tersebut mudah sekali untuk direkrut menjadi ”pengantin” dalam peledakan bom seperti yang terjadi di Bali pada tahun 2003 dan di Jakarta tahun 2009. Orang yang suda melekat pada kesukaan (ruci) akan buta mata hatinya, tidak dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya, tidak mengetahui kebenaran sejati. Sekejam apapun pemboman yang dilakukan Nordin M Top dan anak buahnya, istri yang mencintai mereka tetap melihatnya sebagi sesosok pahlawan pembela agama, tidak mampu melihat bahwa pembunuhan itu melanggar hak asasi manusia. Ketika orang meyakini pada pandangan sekilas, tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya maka dapat menimbulkan subyektifitas. Sedangkan wahyu (anusava) dapat menjebak seseorang pada miccadithi karena wahyu belum tentu memiliki kebanaran. Ilmu agama dapat pula tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Apalagi jika seseorang sudah memahami sumber utama wahyu adalah ”tuhan” maka apabila dalam wahyu itu sebenarnya merupakan doktrin yang salah, seseorang tidak dapat serta merta mampu melakukan reinterpretasi terhadap doktrin itu.

Kesimpulan
Buddhisme awal itu menekankan pada pencarian kedamaian (santa gavesi) bukan kebenaran (sacca gavesi). Tidak dibahasnya hal-hal yang bersifat metafisika seperti munculnya dunia dan ketuhanan disebabkan oleh pencarian Buddha Gotama berangkat dari dukkha dan bagaimana suatu makhluk dapat terbebas dari tumimbal lahir untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian Buddhisme awal lebih memprioritaskan pada praktik moralitas ke arah pencapaian pencerahan batin.
Referensi:
Cittagutto. 1986. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis Historis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Priastana, Jo. 2004. Pokok-pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yasodhara Puteri.
Tim Penerjemah. 2008. Majjhima Nikāya: Kitab Suci Agama Buddha. Klaten Vihara Bodhivasa.
Wahyono, Mulyadi. 2002. Pokok-pokok Dasar Agama Buddha. Jakarta: Depag RI.
Widiyono M.A dalam presentasi Mata Kuliah Filsafat Buddha tanggal 29 Oktober 2009.

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”