Serivanija Jataka (Jataka
3 )
Jataka 003
picture source: www.jathakakatha.org
Tema Dhammadesana ini
berhubungan dengan kebencian yang tidak akan membawa manfaat di kehidupan ini,
dan bahkan membawa kebencian yang berlanjut di kehidupan-kehidupan selanjutnya.
Kebencian yang berlanjut ini seperti yang dialami Devadatta yang membenci
Buddha Gotama, bahkan hendak membunuh Buddha – Gurunya sendiri.
Cerita berikut ini adalah jawaban pertanyaan mengapa Devadatta
menaruh kebencian yang begitu mendalam pada Buddha? Jawabannya terdapat dalam
kisah Jataka ketiga, berjudul “Pedagang dari Seriva”. Kisah ini menitikberatkan
pada bahaya kebencian (dosa) yang muncul dari keserakahan (lobha). Semoga bisa
menjadi pelajaran bagi kita semua.
Serivanija Jataka : Pedagang Dari Seriva
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
Pada suatu ketika di
Kerajaan Seri, sekitar lima kalpa yang lampau, Bodhisatta berkutat dengan
gerabah dan peralatan dapur, dan dia dipanggil dengan sebutan ‘pedagang dari
Seriva’. Pedagang lain yang juga menjual barang-barang yang sama adalah
seseorang yang serakah dan dipanggil pula dengan sebutan yang sama yakni
‘pedagang dari Seriva’. Mereka datang melintasi sungai Telavaha dan memasuki
kota Andhapura. Dengan membagi secara adil jalan-jalan yang mereka lalui,
seorang pedagang mulai menjajakan barang dagangannya di wilayahnya sendiri, dan
demikian pula dengan pedagang yang lain.
Di kota tersebut terdapat
pula sebuah keluarga yang miskin. Sebelumnya mereka adalah keluarga pedagang yang
kaya raya, tetapi pada saat cerita ini dikisahkan mereka telah kehilangan semua
anak dan saudara laki-laki dan demikian pula dengan semua kekayaan mereka.
Satu-satunya yang bertahan hidup adalah seorang gadis dan neneknya. Mereka
bertahan hidup dengan bekerja. Walaupun sekarang hidup dalam kemiskinan, mereka
memiliki sebuah mangkuk emas di rumah mereka yang digunakan oleh kepala
keluarga untuk makan, tetapi mangkuk tersebut telah ditempatkan di antara panci
dan wajan, dan karena telah lama tidak digunakan, mangkuk itu pun tertutup oleh
tanah dan kotoran sehingga kedua wanita itu tidak mengetahui bahwa mangkuk
tersebut terbuat dari emas. Di depan pintu rumah mereka terdengar teriakan si
pedagang serakah, “Jual gerabah! Jual gerabah!” Dan si gadis, ketika mengetahui
ada si pedagang serakah di sana, berkata kepada neneknya, “Oh nenek, belikanlah
aku sebuah gerabah.”
“Kita sangat miskin sayangku, apa yang dapat kita tawarkan
sebagai penggantinya?”
“Mengapa tidak
menggunakan mangkuk yang tidak berguna bagi kita ini saja. Ayo kita tukarkan
dengan mangkuk ini.”
Wanita tua itu kemudian
mengajak si pedagang masuk ke rumah dan duduk dan memberikan mangkuk tersebut
sambil berkata, “Ambillah ini tuan, dan berikanlah sesuatu yang pantas kepada
saudara perempuanmu ini sebagai gantinya.”
Si pedagang mengambil
mangkuk tersebut ditangannya, membalikkannya dan mencurigai bahwa mangkuk itu
sebenarnya adalah emas. Dia menggoreskan sebuah garis di bagian belakang
mangkuk itu dengan sebuah jarum dan dia pun yakin bahwa mangkuk itu benar-benar
terbuat dari emas. Kemudian berpikir bahwa dia dapat memiliki mangkuk tersebut
tanpa memberikan sesuatu pun kepada si wanita tua, dia berteriak, “Apa nilainya
mangkuk ini? Mangkuk ini bahkan tidak seharga setengah koin!” Dan seketika itu
juga dia melemparkan mangkuk itu ke tanah, bangkit dari tempat duduknya dan
meninggalkan rumah keluarga miskin itu. Sekarang, seperti yang telah disepakati
sebelumnya antara kedua pedagang dari Seriva bahwa seseorang boleh berdagang di
jalan yang sama seperti jalan yang telah dilalui pedagang lainnya, Bodhisatta
pun melalui jalan yang sama dan muncul di depan rumah keluarga miskin tersebut,
berteriak, “Jual gerabah!!” Sekali lagi si gadis meminta hal yang sama kepada
neneknya dan si wanita tua itu pun membalas, “Sayangku, pedagang pertama tadi
melemparkan mangkuk kita ke tanah dan pergi meninggalkan rumah. Apa lagi yang
bisa kita tawarkan sekarang?”
“Oh, tetapi pedagang tadi
adalah orang yang bermulut kasar, nenekku sayang; sebaliknya pedagang ini
kelihatannya orang yang baik hati dan bertutur kata halus. Sangat besar
kemungkinan dia bersedia mengambil mangkuk ini.”
“Kalau begitu panggillah dia masuk.”
Maka si pedagang itu pun
masuk ke dalam rumah dan mereka memberikan sebuah tempat duduk dan memberikan
mangkuk ke tangan si pedagang. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, dia
berkata, “Ibu, mangkuk ini senilai dengan seratus ribu keping; saya tidak
mempunyai uang sebanyak itu.” “Tuan, pedagang pertama yang datang kemari
berkata bahwa mangkuk ini tidak senilai dengan setengah koin, jadi dia pun
melemparnya ke tanah dan pergi. Ini pastilah berkah dari kebaikanmu yang
mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah dan berikanlah kami sesuatu sebagai
gantinya dan pergilah.” Pada waktu itu Bodhisatta memiliki 500 keping uang dan
persediaan barang yang jauh lebih besar harganya. Semuanya diberikan kepada
keluarga miskin tersebut sambil berkata, “Kalau begitu sisakan saja tas dan
timbanganku, serta delapan keping uang untukku.”Dan dengan persetujuan mereka
dia pun menyimpan sisa barang dan uang tadi, dan pergi menuju ke sisi sungai
dimana dia memberikan delapan keping uangnya kepada tukang perahu dan pergi
menyeberang sungai.
Setelah beberapa saat, si
pedagang serakah kembali ke rumah itu dan bertanya apakah mereka akan memberikan
mangkuk mereka sambil berkata akan memberikan mereka sesuatu sebagai gantinya.
Tetapi si wanita tua mengusirnya dengan kata-kata berikut ini, “Kamu yang
berkata bahwa mangkuk emas kami yang berharga seratus ribu keping bahkan tidak
senilai dengan setengah koin. Tetapi tadi telah datang seorang pedagang jujur
yang memberikan kami seribu keping sebagai gantinya dan dia telah mengambil
mangkuk itu pergi.”
Kemudian si pedagang
serakah itu berseru, “Dia telah merampok mangkuk emas seharga seratus ribu
keping yang seharusnya milikku; dia telah membuatku rugi banyak.” Dan kepedihan
mendalam datang menyelimutinya sehingga dia kehilangan kendali diri dan menjadi
seperti orang gila. Semua uang dan barang dagangannya dilemparkan di depan
pintu rumah, dia membuang pakaian atas dan bawahnya dan dengan bersenjatakan
tongkat timbangannya sebagai alat pemukul, dia berlari mengejar Bodhisatta
hingga ke tepi sungai. Mengetahui bahwa Bodhisatta telah menyeberang, dia
berteriak kepada tukang perahu untuk kembali tetapi Bodhisatta memerintahkannya
untuk meneruskan perjalanan. Pedagang serakah itu pun hanya bisa berdiri di
sana menatap dan memandangi Bodhisatta dari jauh, kepedihan mendalam datang
menghantuinya, hatinya semakin panas, darah mengucur dari mulutnya, dan hatinya
pecah seperti lumpur di dasar kolam yang mengering. Melalui kebencian yang
telah ditanamnya kepada Bodhisatta, ia tewas saat itu juga. (Ini adalah pertama
kalinya Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta) Sedangkan Bodhisatta,
setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan amal dan perbuatan baik lainnya,
meninggal dunia sesuai dengan jasa kebajikannya.
No comments:
Post a Comment