Friday, 21 April 2017

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”


FPC. Surat Kartini. shutterstock.com
Pertama membaca judul di atas tentunya kita bertanya-tanya maksud dari pernyataan Raden Ajeng Kartini tentang agama Buddha. Pertanyaan kita tentunya wajar mengingat sedikitnya refrensi yang menjelaskan seorang Kartini yang mengenal agama Buddha. Dalam kesempatan ini saya sangat beruntung menemukan satu refrensi yang menjelaskan pengenalan seorang Kartini dalam mengenal agama Buddha dan saya mencoba mengulasnya untuk anda. Semoga dalam momen perayaan kartini 2017 ini dapat memaknainya dengan pengetahuan baru tentang Kartini.

Surat kabar online Tempo.co edisi 17 April 2017 mengungkap beberapa surat Kartini yang di dalamnya berisi tentang pengenalannya terhadap agama Buddha. Di antara 115 surat-surat Kartini ternyata ada beberapa surat yang  kontroversial. Salah satunya adalah suratnya yang soal agama Buddha. Surat itu terkena sensor dan tak diterbitkan dalam buku Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada 1911.

Pengakuan Kartini yang menyebut dirinya sebagai anak Buddha bermula saat Kartini kecil sakit keras. Badannya menggigil. Dokter yang didatangkan ayahnya, Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, tak sanggup mengobati anak tujuh tahun itu. Lalu datanglah seorang lelaki dari suku Tionghoa yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda bertamu ke rumahnya.

Laki-laki itu sudah dikenal oleh tiga anak Sosroningrat. Dia menawarkan bantuan dengan meminta Kartini meminum air yang dicampur abu lidi hio dari sebuah kelenteng di Welahan, Jepara, Jawa Tengah, tempat terdapat banyak rumah ibadah umat Konghucu. Ajaib, demam Raden Ajeng turun dan ia sembuh.

Cerita itu kemudian ia tulis dalam surat untuk Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Dalam surat bertarikh 27 Oktober 1902, Kartini berapi-api menceritakan pengalaman itu. "Apa yang tak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar ternyata berhasil dengan obat tukang jamu," katanya.
 
Cerita itu ada dalam surat Kartini kepada Abendanon. Oleh Abendanon, surat-surat itu kemudian dikumpulkan. Surat itu diterbitkan dalam judul Door Duisternis Tot Licht pada 1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal. Secara harfiah, kalimat Belanda itu berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Penerbit Balai Pustaka pada 1922 menerjemahkannya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Ada beberapa surat Kartini yang berkisah tentang agama Buddha. Kartini bahkan tak segan menyebut diri "anak Buddha" karena sudah meminum air hio saat sakit itu. "Ketahuilah, Nyonya," tulisnya kepada Abendanon, "bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah menjadi alasan mengapa saya tak makan daging." Seperti nada dalam seluruh surat, kalimat Kartini terasa tulus, tanpa pretensi dan motif ketika bercerita tentang apa saja.

Setahun sebelum menulis surat itu, ia mengunjungi Welahan, kampung tempat tabib yang mengobati Kartini. "Bagaimanapun, saya mesti belajar kenal dengan bapak saya yang besar itu," ujarnya tentang Santik-kong, arwah leluhur orang Welahan yang disucikan di kelenteng tersebut. Di sana ia menyaksikan upacara memperingati ulang tahun arwah.

Santik-kong terkenal sebagai dewa penyembuh. Setiap ada wabah yang berjangkit, patungnya diarak berkeliling desa agar asap dupanya menyebar menangkal virus. Dan desa itu biasanya terhindar dari kuman. Kartini mencoba memberikan pemahaman yang logis kepada Abendanon, yang tak percaya kepada takhayul.

Setelah kita membaca kisah Kartini tersebut kita dapat memahami bahwa yang dimaksud pernyataan kartini “saya anak Buddha” ternyata sebatas pengenalannya terhadap salah satu tradisi umat Buddha. Tradisi ini lebih spesifiknya dari tradisi Konghucu. Walaupun konghucu dan agama Buddha sebenarnya berbeda, namun seiring berjalannya waktu telah terjadi sinkretisme diantara keduanya. Hal itu menyebabkan umat Buddha kususnya dari suku Tionghoa yang beragama Buddha pastinya masih melestarikan kepercayaan Konghucu mengingat ada banyak persamaan di dalam ajarannya.

Kita dapat melihat makna yang tersirat dari kisah ini. Kita dapat melihat antara kehidupan pribadi seorang Kartini yang jarang terungkap ke publik dan menyandingkannya dengan prinsip-prinsip hidup dan perjuangannya mengangkat derajat perempuan di Indonesia yang selama ini kita kenal. Kedua kisah hidupnya ini mengantarkannya sebagai seorang pahlawan. Kepahlawanan Kartini hendaknya bisa kita lihat dari sudut pandang perjalanan spiritual yang ia jalani. Perjalanan yang mengantarkan Kartini menjadi pribadi yang bijaksana memandang, menilai & menjalani kehidupan dalam segi sosial, budaya ataupun agama.

Kita tidak tahu pasti seberapa dalam Kartini mengenal agama Buddha. Walaupun dalam suratnya Kartini menyatakan melakukan praktek vegetarian dalam hidupnya, namun itu belum cukup untuk menyatakan Kartini beragama Buddha. Oleh Karena itu, kita patut meneliti lebih jauh seberapa besar pengaruh ajaran Buddha dalam usahanya mengangkat derajat perempuan masa itu. Hal itu penting mengingat dalam ajaran Buddha diajarkan juga kesetaraan gender, ras, suku dan agama.
  
Jika seorang Kartini yang hanya mengenal agama Buddha sekilas saja kemudian bisa menerapkan ajaran-ajaran Buddha tentang kesetaraan gender, ras, suku & agama! Kenapa kita yang beragama Buddha masih tertatih tatih mempraktekannya??????


SELAMAT HARI KARTINI 2017 !!!


No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”