Pertama membaca judul di atas tentunya
kita bertanya-tanya maksud dari pernyataan Raden Ajeng Kartini tentang agama
Buddha. Pertanyaan kita tentunya wajar mengingat sedikitnya refrensi yang menjelaskan
seorang Kartini yang mengenal agama Buddha. Dalam kesempatan ini saya sangat
beruntung menemukan satu refrensi yang menjelaskan pengenalan seorang Kartini
dalam mengenal agama Buddha dan saya mencoba mengulasnya untuk anda. Semoga dalam
momen perayaan kartini 2017 ini dapat memaknainya dengan pengetahuan baru
tentang Kartini.
Surat kabar online Tempo.co edisi 17
April 2017 mengungkap beberapa surat Kartini yang di dalamnya berisi tentang
pengenalannya terhadap agama Buddha. Di antara 115 surat-surat Kartini ternyata
ada beberapa surat yang kontroversial. Salah satunya adalah suratnya yang
soal agama Buddha. Surat itu terkena sensor dan tak diterbitkan dalam buku Door
Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada 1911.
Pengakuan Kartini yang menyebut dirinya
sebagai anak Buddha bermula saat Kartini kecil sakit keras. Badannya menggigil.
Dokter yang didatangkan ayahnya, Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, tak sanggup mengobati anak tujuh tahun itu. Lalu datanglah
seorang lelaki dari suku Tionghoa yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda
bertamu ke rumahnya.
Laki-laki itu sudah dikenal oleh tiga
anak Sosroningrat. Dia menawarkan bantuan dengan meminta Kartini meminum air
yang dicampur abu lidi hio dari sebuah kelenteng di Welahan, Jepara, Jawa
Tengah, tempat terdapat banyak rumah ibadah umat Konghucu. Ajaib, demam Raden
Ajeng turun dan ia sembuh.
Cerita itu kemudian ia tulis dalam surat
untuk Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan
Industri Hindia Belanda. Dalam surat bertarikh 27 Oktober 1902, Kartini
berapi-api menceritakan pengalaman itu. "Apa yang tak berhasil dengan
obat-obatan kaum terpelajar ternyata berhasil dengan obat tukang jamu,"
katanya.
Cerita itu ada dalam surat Kartini
kepada Abendanon. Oleh Abendanon, surat-surat itu kemudian dikumpulkan. Surat
itu diterbitkan dalam judul Door Duisternis Tot Licht pada
1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal. Secara harfiah, kalimat Belanda
itu berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Penerbit Balai Pustaka
pada 1922 menerjemahkannya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Ada beberapa surat Kartini yang berkisah
tentang agama Buddha. Kartini bahkan tak segan menyebut diri "anak Buddha"
karena sudah meminum air hio saat sakit itu. "Ketahuilah, Nyonya,"
tulisnya kepada Abendanon, "bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah menjadi
alasan mengapa saya tak makan daging." Seperti nada dalam seluruh surat,
kalimat Kartini terasa tulus, tanpa pretensi dan motif ketika bercerita tentang
apa saja.
Setahun sebelum menulis surat itu, ia
mengunjungi Welahan, kampung tempat tabib yang mengobati Kartini.
"Bagaimanapun, saya mesti belajar kenal dengan bapak saya yang besar
itu," ujarnya tentang Santik-kong, arwah leluhur orang Welahan yang
disucikan di kelenteng tersebut. Di sana ia menyaksikan upacara memperingati
ulang tahun arwah.
Santik-kong terkenal sebagai dewa
penyembuh. Setiap ada wabah yang berjangkit, patungnya diarak berkeliling desa
agar asap dupanya menyebar menangkal virus. Dan desa itu biasanya terhindar
dari kuman. Kartini mencoba memberikan pemahaman yang logis kepada Abendanon,
yang tak percaya kepada takhayul.
Setelah kita membaca kisah Kartini
tersebut kita dapat memahami bahwa yang dimaksud pernyataan kartini “saya anak
Buddha” ternyata sebatas pengenalannya terhadap salah satu tradisi umat Buddha.
Tradisi ini lebih spesifiknya dari tradisi Konghucu. Walaupun konghucu dan
agama Buddha sebenarnya berbeda, namun seiring berjalannya waktu telah terjadi
sinkretisme diantara keduanya. Hal itu menyebabkan umat Buddha kususnya dari
suku Tionghoa yang beragama Buddha pastinya masih melestarikan kepercayaan
Konghucu mengingat ada banyak persamaan di dalam ajarannya.
Kita dapat melihat makna yang tersirat
dari kisah ini. Kita dapat melihat antara kehidupan pribadi seorang Kartini
yang jarang terungkap ke publik dan menyandingkannya dengan prinsip-prinsip
hidup dan perjuangannya mengangkat derajat perempuan di Indonesia yang selama
ini kita kenal. Kedua kisah hidupnya ini mengantarkannya sebagai seorang
pahlawan. Kepahlawanan Kartini hendaknya bisa kita lihat dari sudut pandang
perjalanan spiritual yang ia jalani. Perjalanan yang mengantarkan Kartini
menjadi pribadi yang bijaksana memandang, menilai & menjalani kehidupan
dalam segi sosial, budaya ataupun agama.
Kita tidak tahu pasti seberapa dalam
Kartini mengenal agama Buddha. Walaupun dalam suratnya Kartini menyatakan
melakukan praktek vegetarian dalam hidupnya, namun itu belum cukup untuk
menyatakan Kartini beragama Buddha. Oleh Karena itu, kita patut meneliti lebih
jauh seberapa besar pengaruh ajaran Buddha dalam usahanya mengangkat derajat
perempuan masa itu. Hal itu penting mengingat dalam ajaran Buddha diajarkan juga
kesetaraan gender, ras, suku dan agama.
Jika seorang Kartini yang hanya mengenal
agama Buddha sekilas saja kemudian bisa menerapkan ajaran-ajaran Buddha tentang
kesetaraan gender, ras, suku & agama! Kenapa kita yang beragama Buddha
masih tertatih tatih mempraktekannya??????
SELAMAT HARI KARTINI 2017 !!!
No comments:
Post a Comment