Berdasarkan Penjelasan Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera
Banyak
umat Buddha yang memperdebatkan vegetarian. Perdebatan ini secara tidak
langsung membuat sekat pembatas atas nama sekte agama Buddha semakin terlihat.
Ketika sekte sudah mulai menjadi sekat pembatas, saya rasa perdebatan ini perlu
kita tangguhkan dan mencari penjelasan yang bisa di terima semua pihak demi
esensi ber agama Buddha yang sesungguhnya.
Pembahasan
vegetarian ini sebagian besar berdasarkan penjelasan Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera. Saya merasa pendapat Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera
yang menggunakan Sutta dan Vinaya sebagai sumber referensi utama sangat tepat
dalam pembahasan ini. Dalam AN 4.180, Sang Buddha berkata bahwa jika bhikkhu
tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha, maka
perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan
Vinaya (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan
Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha. Berdasarkan
kutipan di atas semoga pembaca sepakat dalam hal refrensi ini untuk menghindari
debat kusir yang tidak berdasar.
Pertimbangan
selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita? Walaupun
berbagai mazhab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang
Buddha, umumnya semua setuju bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu,
Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya, dan
beberapa buku dari Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang
Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara keseluruhannya,
mengandung unsur pembebasan, sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan
ajaran yang kontradiktif.
Buku-buku
Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya
Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada
akan menjadi sumber referensi kita.
REFERENSI SUTTA
Majjhima Nikaya 55
Dalam
Majjhima Nikaya ini Sang Buddha
menyatakan dengan jelas pendapat Beliau tentang makan daging.
Tabib
Raja, Jivaka Komarabhacca, datang mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi
penghormatan, dia berkata: “Yang Mulia,
saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk Samana
Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan daging yang
dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’…”; dan
bertanya apakah hal ini memang benar.
Sang
Buddha menyangkal hal ini, menambahkan “Jivaka,
saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging tidak diijinkankan untuk dimakan:
apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah
secara khusus disembelih untuk dirinya) … Saya nyatakan bahwa dalam tiga hal
daging diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai
(bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ….”
Lebih
lanjut, Sang Buddha menambahkan: “Jika
seseorang menyembelih suatu makhluk hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha)
atau para siswanya, dia menimbun banyak kamma buruk dalam lima hal … (i) Ketika
dia berkata: ‘Pergi dan giring makhluk hidup itu’ … (ii) Ketika makhluk hidup
itu menderita kesakitan dan kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang
terikat … (iii) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ …
(iv) Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena
disembelih … (v) Ketika dia mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya
dengan makanan yang tidak diijinkan …. ”
Jadi
kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha menjelaskan tiga kondisi daging yang bisa
dimakan dan tiga kondisi daging
yang tidak boleh dimakan. Penjelasan ini sangat penting untuk dijadikan dasar
etika makan daging.
Anguttara Nikaya 8.12
Dalam
Nikaya ini kita dapat memahami prinsip etika memakan daging yang diterapkan
Buddha dalam masyarakat buddhis pada masa itu. Prinsip etika memakan daging
dapat dipahami dalam sebuah kisah Jendral Siha yang berdana makan kepada
Buddha.
Jendral
Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar
Dhamma dari Sang Buddha. Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke
rumahnya hari berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan daging dan makanan
lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena seorang umat awam yang terkemuka
dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan rumor bahwa
Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya untuk samana Gotama, “… dan samana Gotama akan memakan daging tersebut,
mengetahui bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu
dilakukan untuk kepentingannya.’
Ketika
berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan mereka, berkata: “ …
Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) sudah berniat untuk
meremehkan Buddha … Dhamma… Sangha: tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang
Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi
menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.
Ini
adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan Buddha dan murid-muridnya
makan daging dan bagaimana umat Buddha memahami etika makan daging yang telah
diajarkan Buddha. Umat Buddha pada masa itu dapat kita pahami bahwa boleh makan
daging dari binatang yang sudah mati ketika dibeli, tetapi tidak diijinkan
apabila binatangnya masih hidup.
Anguttara Nikaya 5.44
Dalam
Nikaya ini dijelaskan tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan
beberapa pilihan makanan yang baik untuk Sang Buddha: di antaranya adalah
daging babi yang dimasak dengan buah jujube yang diterima oleh Sang Buddha. Kisah
dana makanan ini sekali lagi menunjukan bahwa Buddha dan para siswanya makan
daging.
Sutta Nipata 2.2
Disini
Sang Buddha mengingat kembali suatu peristiwa pada kehidupannya yang lampau
pada masa Buddha Kassapa. Buddha Kassapa adalah gurunya saat itu.
Pada
suatu ketika saat seorang petapa sekte luar bertemu dengan Buddha Kassapa dan
mencacinya karena makan daging, yang dikatakannya sebagai noda dibandingkan
dengan konsumsi makanan vegetarian.
Buddha
Kassapa membalas: “Membunuh … melukai …. mencuri, berbohong, menipu … berzinah;
inilah noda. Bukan makan daging. … Mereka yang kasar, sombong, memfitnah,
curang, jahat … kikir…inilah noda. Bukan makan daging.
…
Kemarahan, keangkuhan, sifat keras kepala, kebencian, penipuan, keirihatian,
pembualan… inilah noda. Bukan makan daging. … Mereka yang bermoral buruk, ….
dengki … congkak … menjadi orang yang paling keji, melakukan perbuatan
demikian, inilah noda. Bukan makan daging.”
Kisah
dalam Nikaya ini menegaskan bahwa bukan cuma Buddha Gautama yang memakan daging
tetapi Buddha sebelumnyapun memakan daging. Kisah Buddha Kassapa ini juga
menegaskan praktek etika atau moralitas buddhislah yang lebih penting.
REFERENSI VINAYA
Dalam
Vinaya Pitaka terdapat beberapa
penjelasan yang menegaskan Buddha dan murid-muridnya diperkenankan makan
daging.
Patimokkha: Pacittiya 39
Dalam
disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan
khusus tertentu. Tetapi, sebuah pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan
kebhikkhuan) ketika bhikkhu itu sakit. Dalam keadaan ini, bhikkhu diijinkan
untuk meminta produk dari susu, minyak makan, madu, gula, ikan, daging … Dengan
jelas, ikan dan daging diijinkan untuk para bhikkhu.
Vinaya: Buku Keempat
Dalam
Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu: manusia, gajah,
kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat
menyimpulkan dari sini bahwa daging dari binatang lain diijinkan, dengan
terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang diijinkan’, misalnya daging babi,
daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.
Vinaya: Buku Keempat
Sup
daging yang jernih diijinkan bagi bhikhhu yang sakit.
Vinaya: Buku Pertama
Beberapa
bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan
yang mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain
waktu, bhikkhu yang lain melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau …
sisa hewan yang mati terbunuh oleh macan tutul … dan lain sebagainya … menyuruh
umat memasaknya dan memakannya.
Kemudian
para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang Buddha memberikan
pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam
mengambil apa yang menjadi milik binatang. Sekali lagi, di sini kita melihat
bahwa para bhikkhu makan daging dan Sang Buddha tidak mengkritik atau melarang
hal itu.
Vinaya: Buku Kedua
Ini
adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging
matang. Keesokan paginya, setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia
pergi ketempat dimana Sang Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan
kepadanya. Seorang bhikkhu, mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan
mengatakan bahwa Uppalavanna telah menyenangkan Sang Buddha.
Jelaslah
bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna
tidak akan mempersembahkannya.
Vinaya: Buku Kelima
Bhikkhu
Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan
meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para
bhikkhu tidak diijinkan makan ikan dan daging.
Sang
Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya murni berdasarkan
tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah dibunuh secara
khusus untuk seseorang).”
Sang
Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong. Jika seorang
bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik daging maupun
sayuran) maka dia tidak mudah disokong.
ANALISA MENGENAI
HAL-HAL YANG DIPERDEBATKAN DALAM PEMBAHASAN KONSEP VEGETARIAN
Tidak Ada Kamma
Langsung dari Pembunuhan
Sang
Buddha berkata: “Ikan dan daging sepenuhnya murni (parisuddha) ….” artinya tidak ada kamma langsung (perbuatan
yang disertai kehendak) dari pembunuhan jika binatang itu tidak dilihat,
didengar atau dicurigai telah dibunuh secara khusus untuk seseorang. Tanpa tiga
kondisi ini, maka terdapat unsur kamma buruk dan, oleh karenanya, daging jenis
itu tidak diijinkan.
Walaupun
Sang Buddha mengijinkan makan daging, Beliau berkata di AN 4.261 bahwa kita
menciptakan kamma tak bajik jika kita secara langsung mendorong terjadinya
pembunuhan, menyetujui dan berbicara dengan bangga akan hal itu. Karena itu di
AN 5.177 Sang Buddha berkata bahwa seorang umat awam tidak boleh berdagang
daging, yang dijelaskan di kitab komentar termasuk pengembangbiakan dan menjual
babi, ternak, ayam dan lain sebagainya untuk disembelih. Demikian pula, tidak
diijinkan untuk memesan, misalnya sepuluh ekor ayam untuk keesokan harinya jika
sejumlah binatang tersebut dimaksudkan disembelih untuk seseorang.
Vegetarian Tidak Cocok
dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang
bhikkhu seyogianya pergi meminta sedekah (mengemis) untuk makanannya kecuali
dia (i) diundang untuk bersantap, (ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau (iii)
makanan itu dimasak di Vihara. Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan,
menyimpan makanan untuk keesokan harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan
bercocok tanam untuk menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu, mengemis adalah
salah satu dari dasar/landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.
Hal
ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang
bhikkhu mempunyai kebebasan dan dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai
dengan ajaran Sang Buddha. Di sana kita melihat bukan hanya para bhikkhu
tradisi kehutanan yang pergi meminta sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota
kecil dan besar mengemis makanan setiap hari.
Intinya
adalah, seorang pengemis tidak pantas memilih-milih, seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya, vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para
bhikkhu Buddhis. Hal ini juga kemungkinan besar merupakan alasan lain mengapa
Sang Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang disebutkan sebelumnya.
Argumentasi memakan
daging menyebabkan pengkondisian pembunuhan yang semakin banyak
Beberapa
orang beragumen bahwa walaupun dengan tiga kondisi yang disebutkan sebelumnya,
seseorang pantas dicela karena makan daging menyebabkan adanya permintaan yang
harus diimbangi dengan penyediaan daging atau pembunuhan binatang. Dengan kata
lain, makan daging dalam keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.
Kita
harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat : (i) sebab dan akibat
duniawi, di mana kehendak tidak dilibatkan, dan (ii) kamma-vipaka Buddhis, atau
tindakan yang disertai kehendak/kesengajaan dan akibatnya. Makan daging yang
diijinkan dengan tiga kondisi melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan
tidak ada kamma dari membunuh karena tidak ada niat membunuh. Makan daging yang
tidak diijinkan melibatkan kamma tak bajik yang maksudnya terdapat niat untuk
membunuh. Oleh karena itu, makan daging harus dibagi dengan jelas menjadi dua
bagian berdasarkan kondisinya.
Argumentasi
memakan daging menyebabkan pengkondisian pembunuhan lebih banyak sebenarnya
kurang tepat. Di bumi ini, sejumlah besar manusia dan binatang-binatang yang tidak
terhitung jumlahnya terbunuh oleh kendaraan bermotor setiap hari. Hanya dengan
mengendarai kendaraan atau bahkan duduk di atasnya, kita mendorong industri
motor untuk membuat lebih banyak kendaraan bermotor. Jika kita menggunakan
argumentasi ini, maka hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor kita
mendukung pembunuhan binatang-binatang yang tak terhitung jumlahnya dan
sejumlah besar manusia di jalanan setiap hari yang lebih buruk daripada makan
daging!
Memang
benar bahwa kita secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan
binatang-binatang tetapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak ada
kamma-vipaka (kamma yang ber akibat) dari membunuh karena tidak adanya niat
membunuh. Keterlibatan tidak langsung dalam pembunuhan adalah benar, jika kita
makan daging maupun tidak, dan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan, kita
akan mendiskusikannya di bawah.
Vegetarianisme juga
Mendorong Pembunuhan
Kita
mendorong pembunuhan walau sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari
monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka
makan dari pohon buah yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat
bulu, keong, cacing, belalang, semut, dan serangga lainnya, dll. Seperti di pedesaan
contohnya, ribuan belalang dan tikus atau serangga lain dibunuh setiap hari
karena mereka memakan hasil panen.
Banyak
barang yang umumnya dimanfaatkan setiap orang dengan mengorbankan nyawa berbagai
makhluk hidup. Sebagai contoh:
1. Sutera dibuat dengan
pengorbanan ulat sutera yang tidak terhitung jumlahnya.
2. Kosmetik yang mengandung
sejumlah besar unsur pokok hewani.
3. Zat tambahan makanan,
seperti: pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan unsur pokok hewani.
4. Produk keju menggunakan
dadih susu yang diekstrak dari perut anak sapi untuk mengentalkan susu.
5. Produk kulit dan bulu
tentunya terbuat dari kulit binatang yang dibunuh.
6. Film fotografis
menggunakan gelatin yang diperoleh dengan mendidihkan kulit, urat daging dan
tulang dari binatang.
7. Pupuk untuk
sayur-sayuran dan pohon buah sering menggunakan tulang ikan kering yang
digiling, dan sisa potongan ikan lainnya.
8. Penggunaan susu sapi
dan madu juga melibatkan banyak kekejaman terhadap binatang dan serangga terkait.
Semua
ini menunjukkan bahwa sungguh sulit untuk tidak terlibat sama sama sekali dalam
kekejaman yang terjadi pada binatang-binatang. Jadi, seandainya seseorang
menjadi vegetarian, seseorang hendaknya merenungi hal di atas dan menghindari kritik
yang berlebihan terhadap mereka yang makan daging.
Binatang Tetaplah
Dibunuh Walaupun Semua Manusia Menjadi Vegetarian
Walaupun
semua manusia menjadi vegetarian, binatang masih saja akan dibunuh. Ini karena
binatang berkembang biak sangat cepat daripada manusia sehingga mereka dengan
mudah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia.
Sebagai
contoh beberapa tahun yang lalu, dibeberapa daerah Afrika, gajah adalah
binatang yang dilindungi. Akan tetapi, sekarang mereka telah berkembang-biak
dengan cepat dan menjadi ancaman, dan hukum perlindungan harus dilonggarkan
untuk mengurangi jumlah mereka.
Di
pulau Bali belum lama ini, anjing yang tidak terdaftar dibunuh agar tidak
menjadi rabies dan menyerang manusia. Di tempat lain masih banyak lagi yang
melakukan hal serupa terhadap jutaan anjing dan kucing dalam kandang setiap
tahun karena akomodasi yang tidak memadai. Di Amerika Serikat, setiap tahunnya
14 juta dibinasakan dalam waktu seminggu setelah diselamatkan oleh kelompok
kemanusiaan.
Pada
akhirnya, pendapat bahwa vegetarianisme mencegah pembunuhan binatang adalah
tidak benar. Meskipun demikian, adalah terpuji untuk berlatih vegetarianisme
atas belas kasih, tetapi tidak sampai menjadi ekstrim akan hal itu.
Setiap Orang secara
Tidak Langsung Terlibat dalam Pembunuhan Binatang
Apakah kita vegetarian atau sebaliknya, kita semua secara tidak langsung
terlibat dalam pembunuhan binatang, contohnya adalah:
1. Area hutan yang luas
harus digunduli untuk perumahan karena kita ingin tinggal di dalam rumah. Ini
mengakibatkan kematian sejumlah besar binatang.
2. Karena kita ingin
menggunakan peralatan rumah tangga dan peralatan serba canggih lainnya, lagi,
area hutan yang luas digunduli untuk lokasi-lokasi pabrik dan industri.
3. Karena kita ingin
menggunakan listrik, sungai-sungai dibendung untuk pemanfaatan listrik tenaga
air. Ini mengakibatkan banjir di area hutan yang luas dengan mengorbankan hidup
binatang.
4. Karena kita
mengendarai kendaraan bermotor, binatang yang tak terhitung jumlahnya dan
sejumlah besar manusia terbunuh di jalanan setiap harinya.
5. Lagi, demi keselamatan
kita, anjing liar dibunuh agar tidak menjadi rabies. Dalam produksi berbagai
produk yang kita gunakan setiap hari, seperti: makanan, obat-obatan, sutera,
kosmetik, film, dan lain sebagainya., unsur pokok hewani digunakan dengan
mengorbankan hidup binatang.
Jika
kita menggunakan argumentasi makan daging mengkondisikan semakin banyak
pembunuhan seperti yang dijelaskan sebelumnya maka kita tidak seharusnya
tinggal dalam rumah, atau menggunakan barang-barang rumah tangga yang
diproduksi pabrik, atau menggunakan tenaga listrik, atau mengendarai mobil, dsb.
PENEGASAN MELALUI CERITA YANG BISA JADI KITA ALAMI
Dalam penegasan ini
Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera memberikan penegasan melalui ilustrasi cerita
dan penjelasan budaya vegetarianisme dalam mahayana, yaitu:
1. Cerita Perumpamaan
Pembunuhan Berseri
Andaikan ada kasus
pembunuhan berseri di suatu kota, dengan adanya sejumlah wanita yang telah
diperkosa kemudian dibunuh sehingga tidak ada wanita yang berani mengambil
resiko keluar malam. Seisi kota gempar dan penduduk menuntut agar pihak
berwenang menjalankan tugas mereka dan menangkap pembunuhnya. Jadi polisi,
setelah beberapa bulan berusaha keras, akhirnya menangkap dalangnya. Setelah
pemeriksaan panjang, hakim menjatuhkan hukuman mati pada dirinya. Pada hari
yang ditentukan, pembunuh dibawa ke ruang eksekusi dimana petugas eksekusi
menarik pengungkil untuk menghabisi nyawa si pembunuh.
Cerita ini menimbulkan
pertanyaan: “Siapa yang terlibat dalam kamma buruk dari pembunuhan manusia
(yakni si pembunuh berseri)?” Menurut hukum kamma-vipaka, petugas eksekusi
melakukan pelanggaran yang paling berat karena dia secara sengaja melakukan
pembunuhan. Berikutnya adalah hakim yang mengumumkan hukuman mati. Kedua orang
ini secara langsung terlibat dalam kamma pembunuhan atas eksekusi dari pembunuh
berseri. Polisi hanya terlibat secara tidak langsung dan tidak bertanggung
jawab atas eksekusinya. Bagaimana dengan penduduk? Pada dasarnya pembunuh
berseri dieksekusi untuk melindungi penduduk, yakni dieksekusi atas kebaikan
penduduk, atau dengan kata lain, penduduk adalah orang-orang yang diuntungkan
atas eksekusi tersebut. Jadi apakah penduduk bertanggung jawab atas
keterlibatan kamma pembunuhan? Tidak, karena mereka tidak meminta eksekusi atas
pembunuh berseri. Tetapi mereka turut terlibat apabila mereka meminta si
pembunuh untuk dieksekusi.
Skenario di atas
serupa dengan penyembelihan binatang untuk makanan. Orang yang menyembelih
binatang tersebut menanggung kamma pembunuhan yang paling berat. Orang yang
membiakkan binatang untuk disembelih juga terlibat dalam kamma pembunuhan.
Mereka serupa dengan hakim yang menjatuhkan hukuman pada orang tersebut untuk
dieksekusi. Tetapi orang yang membeli daging dari binatang yang sudah
disembelih tidak terlibat dalam kamma pembunuhan, serupa dengan penduduk kota
diatas, mereka adalah orang-orang yang diuntungkan. Akan tetapi jika seseorang
memesan daging dari binatang yang hidup untuk disembelih, maka ada keterlibatan
dalam pembunuhan.
2. ’Chi Zhai’, bukan ’Chi
Su’
Banyak umat Buddhis
Tionghoa beranggapan salah bahwa Buddhisme Mahayana mengajari praktik
vegetarian, dan bingung akan ’Chi Su’ (Vegetarianisme) dengan ’Chi Zai’ (tidak
makan setelah petang hari sampai keesokan subuh). Dalam Sutta kumpulan tertua,
’Chi Su’ disebutkan sebagai praktek petapa sekte luar yang tidak bermanfaat.
’Chi Su’ dijalankan oleh Han Chuan (Buddhisme Tionghoa), bukan Bei Chuan
(Buddhisme Mahayana), karena Buddhisme di Tibet dan di Jepang bukan vegetarian.
Kaisar Liang Wu Di memerintahkan bhikshu dan bhikshuni Buddhis untuk berpola
makan vegetarian.
Kata ’Zhai’ berarti
tidak makan pada jam-jam tertentu, yakni berpuasa. Itu sebabnya bulan puasa
umat Muslim disebut ’Kai Zhai’. Sang Buddha mengajari muridnya untuk ’Chi Zai’,
yakni tidak makan (dengan pengecualian obat-obatan) setelah petang sampai
keesokan subuh sekitar jam 1 siang sampai 7 pagi. Di Han Chuan, makna dari ’Chi
Zhai’ ini menjadi sinonim dengan ’Chi Su’.
KESIMPULAN
Sang
Buddha tidak mendorong kita untuk makan daging atau menjadi vegetarian. Pilihan
ini sepenuhnya tergantung kepada kita. Pokok pentingnya adalah memperhatikan
dengan baik petunjuk dari Sang Buddha dalam MN 55 atas tiga kondisi untuk
daging yang tidak diijinkan dan yang diijinkan.
Seorang
Bhikkhu tidak diijinkan untuk memasak dan harus sepenuhnya tergantung pada
persembahan dari para penyokong (umat awam). Bhikkhu juga diharuskan agar mudah
disokong dan dirawat. Karena bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan
tertentu (kecuali selama ia sakit), maka bhikkhu tidak dapat memilih
makanannya. Dia harus menerima apapun yang dipersembahkan.
Umat
awam mempunyai lebih banyak kebebasan untuk memilih makanan mereka, dan untuk
umat awam adalah sepenuhnya tergantung pada pilihan pribadi masing-masing untuk
makan daging atau menjadi vegetarian. Untuk alasan-alasan yang sudah dijelaskan
sebelumnya, penting untuk tidak terlalu mengkritik secara berlebihan terhadap
orang lain terkait dengan apapun yang menjadi pilihan kita.
Cara
yang paling efektif untuk mengurangi pembunuhan dan kekejaman di dunia adalah
pemahaman akan ajaran Sang Buddha. Pada akhirnya, penderitaan (dukkha) adalah
karateristik dari kehidupan, dan cara untuk mengakhiri penderitaan adalah
dengan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan ajaran Sang Buddha untuk keluar
dari lingkaran kelahiran kembali.
Cara
yang lebih efektif untuk mengkritisi bukanlah tentang pilihan apa yang umat
Buddha ambil dalam hal makanan, melainkan bagaimana kita meminimalisir terjadinya
pembunuhan yang lebih banyak oleh para petani misalnya. Dalam hal ini bisa kita
kususkan petani buddhis terlebih dahulu. Kita bisa memberi pelatihan tentang
pertanian organik yang tidak menggunakan pestisida untuk membunuh hama ataupun
trobosan lain untuk meminimalisir pembunuhan. Hal ini akan lebih berarti
dibandingkan memperdebatkan pilihan makanan.
SELESAI
Catatan :
1.
Dengan pengecualian dari sepuluh jenis daging yang dilarang untuk para bhikkhu:
manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan
tutul. Rujuklah pada Mahavagga, Book of the Discipline: Buku 4, halaman 298
s.d. 300. The Book of Discipline adalah terjemahan berbahasa Inggris dari kitab
Vinaya (dalam Bahasa Pali) oleh Pali Text Society, Inggris.
Judul Asli : The Buddha’s View On Meat Eating
Penerjemah : Rety Chang Ekavatthi, S.KOM, BBA
Penyunting : Paulus Nyannavaddhano, S.KOM, M.T
Sumber : Vihara Buddha Gotama
Dipublikasikan : DPD Patria Sumatera Utara
Online di : Dhammacitta.org
Penerjemah : Rety Chang Ekavatthi, S.KOM, BBA
Penyunting : Paulus Nyannavaddhano, S.KOM, M.T
Sumber : Vihara Buddha Gotama
Dipublikasikan : DPD Patria Sumatera Utara
Online di : Dhammacitta.org
Catatan admin:
Artikel
ini adalah repost dari http://www.samaggi-phala.or.id/ dan https://dhammacitta.org/ dengan editan dan tambahan
pemahaman kami, jika ada kesalahan kami mohon maaf. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment