Wednesday, 27 June 2012

Review of Sciberras Colette Durham: “Buddhism and Speciesism: on the Misapplication of Western Concepts to Buddhist Beliefs ”


Review of Sciberras Colette Durham: Buddhism and Speciesism: on the Misapplication of Western Concepts  to Buddhist Beliefs

Sciberras Colette Durham: Buddhism and Speciesism: on the Misapplication of Western Concepts  to Buddhist Beliefs. editor@buddhistethics.org, Durham: Departemen Filsafat Universitas Durham colette.sciberras @ durham.ac.uk

Oleh:
Sayudi
(07.1.153)

Diperiksa Oleh waluyo M.Pd.

Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra


Studi penelitian Buddhisme di Durham telah menemukan perkembangan penjelasan teori tentang perbandingan sikap antara Buddhisme awal dengan sarjana barat tentang spesiesisme. Perbandingan itu dijelaskan oleh Sciberras yang dalam abstraknya menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan Paulus Waldau mengenai spesiesisme dalam Buddhisme. Dalam bukunya The Specter of Speciesism; Buddhist and Christian Views of Animals, Paul Waldau berpendapat bahwa seperti halnya Kristiani, Buddhisme memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan binatang, “values humans and human life more highly than other animals and their lives”. Menurut Sciberras, pendapat itu masih kurang tepat dan perlu dikaji lebih lanjut.
Sciberras menjelaskan bahwa Waldau juga mengacu pada teks Pali untuk mendukung dan memperkuat gagasannya tentang pertimbangan moral hanya diperuntukan bagi manusia bukan makhluk lain (binatang). Sehingga Sciberras juga berusaha meluruskan pandangan sarjana barat melalui sudut pandang Buddhisme awal dan tidak memasukan isu-isu yang ada dalam  aliran Mahayana ataupun Tantrayana.
Hal pertama yang dilakukan Sciberras adalah menyoroti definisi spesiesime menurut Waldau. Dia menemukan adanya ketidaksesuaian definisi spesies secara Buddhis. Waldau berpendapat bahwa dalam teks Pali tidak ada larangan mengenai pemanfaatan hewan bagi manusia, sehingga Waldau menyatakan ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme. Meskipun dalam teks Pali tidak ada sebuah larangan akan pemanfaatan hewan, namun hal itu sebenarnya tetap bertentangan dengan ajaran Buddhisme, dimana semua makhluk dipandang memiliki hak yang sama yaitu hak untuk memperoleh kebahagiaan hidup hingga mencapai pembebasan agung. Teks Pali lebih banyak berisi tentang saran dan anjuran bukan sebagai sebuah kitab berisi perintah dan larangan. Klaim Waldau yang kedua adalah bahwa ajaran Buddha memberikan nilai yang lebih besar kepada manusia daripada binatang lain. Menurut Sciberras, hal ini tidak berarti adanya spesiesisme dalam Buddhisme jika didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan manusia lebih menyenangkan dari pada hewan. Dalam Buddhisme, setiap makhluk baik manusia maupun hewan pada dasarnya tidak akan pernah mati secara batin dan jasmani selama belum mencapai arahat. Setiap makhluk akan mengalami tumimbal lahir sesuai dengan kammanya, apakah akan terlahir di alam derita atau alam bahagia, masing-masing akan mengalami kehidupan sebagai binatang jika akusala kammanya mendorong dia terlahir di alam binatang, atau binatang yang memiliki timbunan kusala kamma untuk terlahir ke alam bahagia pada kelahiran berikutnya terlahir sebagai manusia. Jadi kelahiran dalam Buddhisme tidak hanya bersifat satu arah. Dengan demikian teori spesiesime dalam Buddhis seprti yang dikemukakan Waldau menurut Sciberras gagal.
Pandangan Waldau yang disetujui Sciberras adalah mengenai kemampuan manusia lebih tinggi dalam mengikuti ajaran Buddha. Dalam hal ini, manusia berharga bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk pencapaian yang lebih tinggi yaitu Nibbana.
Dalam definisi spesiesisme menurut Waldau, lingkaran moral menjadi aspek penting dan menentukan, manusia termasuk di dalamnya sedangkan hewan tidak termasuk. Untuk itu, kehidupan manusia harus dilindungi dari penangkaran, pemanfaatan sebagai media percobaan dan melindunginya dari bahaya.
Sciberras menyatakan kelemahan definisi ini adalah bahwa tidak hanya manusia yang menginginkan hal demikian. Primata lain juga menginginkan kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan. Lebih lanjut dia memberikan pandangannya mengenai spesiesisme dengan rasisme yang diungkapkan oleh Peter Singer dalam diskusi filosofis tentang kesamaannya dengan teori spesiesisme. Persamaanya adalah ketika menyatakan bahwa manusia termasuk dalam lingkaran moral dan hewan lain tidak, maka sama halnya ketika menyatakan orang berkulit putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang kulit berwarna. Dia memandang bahwa argumen Waldau mengikuti pandangan Singer. Nilai moral yang membedakan manusia dengan makhluk lain menurut Waldau antara lain penggunaan bahasa, interaksi dan komunikasi; hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial, norma-norma sosial dan harapan; kompleksitas dalam individu; kecerdasan kesadaran diri; intensionalitas, dan kemampuan menciptakan alat. Oleh karena Buddhisme tidak selalu menyertakan hewan dalam lingkup moralitas, maka Waldau berpikir ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme.
Sciberras membuat kritik terhadap keruntuhan pendapat Waldau dalam dua hal. Pertama, dengan definisi pribadinya, dia harus menunjukkan bukti bahwa Buddhisme tidak memasukkan semua spesies lain dari lingkaran moral dan tidak hanya orang dengan ciri yang dia sebutkan menjadi kunci menyebut spesies. Kedua, dia tidak menunjukkan keterangan tentang ciri spesies dalam Buddhisme yang sebenarnya, seperti ciri yang dia sebutkan untuk memasukkan atau mengeluarkan binatang dari lingkaran moral. Hal yang dinyatakan Waldau tidak berdasarkan pada pandangan filsafat Buddha, akan tetapi mengacu pada filsafat barat. Misalnya, Aristoteles  mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional. Moral sepertinya menjadi pertimbangan utama semata-mata hanya untuk manusia. Dalam teks Pali jarang ditemukan antara hubungan pertimbangan. Di sisi lain, dalam teks Pali jarang ditemukan hubungan antara pertimbangan moral dengan kepemilikan kualitas tertentu. Sciberras selanjutnya mengutip syair dalam Karaṇiya Metta Sutta:
Makhluk hidup apa pun yang ada, tanpa kecuali, lemah atau kuat, panjang, besar atau ukuran menengah, atau pendek, apakah terlihat atau tidak terlihat, dan mereka yang tinggal jauh atau dekat, yang lahir dan mereka yang mencari kelahiran, semoga semua makhluk bahagia (SN 1.8, terj. Buddharakkhita). Sutta ini mengungkapkan bahwa Buddhisme awal mengajarkan kepedulian terhadap kesejahteraan makhluk lain tidak terbatas hanya kepada anggota spesies tertentu, juga tidak tergantung pada karakteristik mereka. Sebaliknya, lingkaran moral diperpanjang jauh untuk "makhluk apa pun yang mungkin ada tanpa kecuali," dengan kata lain, untuk semua makhluk.  Artinya jika gagasan "lingkaran moral" dapat diterapkan dalam agama Buddha, maka akan sangat berbeda dari tradisi barat.  Jadi pada dasarnya Waldau tidak kritis memasukkan konsep etika barat ke dalam Buddhisme.
Dalam mengkritisi pandangan Buddhisme mengenai hewan percobaan,Waldau memberikan contoh tentang gajah. Dia berasumsi bahwa meskipun teks-teks Pali tampaknya mengakui kerugian yang diderita gajah peliharaan, mereka tidak mempertanyakan asumsi bahwa hal itu dapat diterima untuk menggunakannya. Sebaliknya, mereka tampaknya mendukung tradisi kepemilikan gajah sebagai properti, menggunakan praktek-praktek kejam, atau memberikan mereka pergi. Misalnya dalam syair syair Dhammapada sang Buddha berkata “Sekarang aku dapat mengendalikan pikiranku, seperti pawang gajah mengendalikan gajah menggunakan tongkatnya”. Menurut Waldau hal ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha tidak hanya menerima, tetapi juga mendorong pemanfaatan ini.
Penafsiran mengenai sīla pertama (panatipata) oleh Waldau sebagai anjuran menghindari pembunuhan saja adalah kurang tepat. Pada dasarnya sīla  pertama ini memiliki cakupan makna yang lebih luas, yaitu anjuran menghindari segala bentuk tindakan yang membahayakan makhluk lain seperti menyiksa, menyakiti dan memanfaatkan mereka. Penafsiran ini dimungkinkan karena asumsi mengenai petani yang sulit untuk pemanfaatan makhluk lain ataupun pembunuhan. Lebih lanjut Waldau berpendapat, anjuran menghindari pembunuhan hanya berlaku bagi kalangan biarawan Buddhis saja. Dari pembahasan yang dilakukan oleh Waldau, ada catatan penting yang ditemukan Waldau tentang pemanfaatan binatang seperti gajah nampaknya dibenarkan, dan ini kemungkinan menjadikan konflik antara tuntutan moralitas Buddhis dan pemanfaatan binatang pada saat itu.
Dalam Jataka memang ditemukan beberapa cerita perbudakan. Perbudakan itu sendiri berkaitan dengan pemanfaatan manusia demi kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan aspek kerugian yang menimpa seorang budak. Mengacu pada kitab Jataka yang diterjemahkan oleh Rhys David, Sciberras menemukan tidak kurang dari lima cerita mengenai perbudakan yang dialami oleh Bodhisatta dan sisi penderitaannya pada kelahiran sebelumnya. Cerita ini bukan berarti Buddhisme menyetujui pemanfaatan manusia (perbudakan), namun justru memberikan gambaran adanya kejadian yang dialami Bodhisatta dan penderitaannya sebagi budak.
Sciberras mengatakan bahwa meskipun Waldau mengakui rasa kesinambungan antara manusia dan binatang, namun dia tetap berasusmi bahwa hewan memiliki derajat lebih rendah dibandingkan dengan manusia. Hal ini disebabkan Buddhisme memberikan pemisahan antara manusia dengan binatang, dengan menggambarkan kehidupan binatang yang tidak bahagia.
Mengacu pada beberapa ajaran dalam Sutta dan Vinaya Pitaka, nampaknya memperkuat asumsi Waldau mengenai spesiesisme dalam Buddhisme, dimana dia tetap menganggap kehidupan sebagai manusia menempati urutan pertama diantara makhluk lain. Ajaran itu antara lain pembagian 31 alam kehidupan bagi kelahiran setiap makhluk. Manusia merupakan makhluk yang mendiami alam bahagia (sugati) dan binatang mendiami alam derita (dugati). Hal ini membuat Waldau yakin akan spesiesisme dalam Buddhisme. Hidup sebagi manusia merupakan buah kamma baik bagi makhluk yang bijaksana sedangkan terlahir sebagi binatang merupakan hasil kamma buruk berupa kebodohan batin. Kemudian dalam Vinaya Pitaka, dijelaskan bahwa untuk mencapai kebuddhaan adalah dengan menjalankan kehidupan Brahmacariya, yang syarat pertama adalah manusia. Dengan demikian Waldau beranggapan Buddhisme mencela kelahiran sebagai binatang.
Sciberras berpendapat kualitas kehidupan suatu makhluk tidak tergantung pada kualitas kecerdasan, sebagaimana perbandingan antara hewan dan manusia. Mengacu pada pendapat Taylor, bahwa semua manusia memiliki nilai instrinsik yang sama. Sikap moral manusia tidak diukur dari segi kekayaan, kecantikan dan kecerdasan intelegensinya. Kita tidak dapat beranggapan bahwa  seseorang yang sangat cerdas, kualitasnya lebih tinggi dari orang yang kurang pandai. Demikian juga terhadap hewan, meskipun dari struktur otak manusia lebih baik dari binatang, bukan berarti binantang tidak memiliki kualitas moral yang lebih rendah dan bisa diperlakukan sekehendak manusia.
Sciberras selanjutnya mengulas mengenai keuntungan terlahir sebagai manusia adalah potensi untuk mencapai pencerahan dibandingkan makhluk lain. Manusia memiliki kesempatan belajar Dhamma lebih banyak dari pada makhluk alam Dugati bahkan maklhuk alam dewa. Manusia tidak terganggu oleh kegiatan yang menyenangkan seperti dewa-dewa, bukan juga mereka kewalahan oleh kehidupan siksaan, seperti dalam alam bawah (SN 35,135).
Meskipun kehidupan manusia lebih baik daripada satu sebagai binatang dan hidup sebagai dewa bahkan dinilai lebih tinggi, tapi kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi dilihat sebagai hasil tindakan moral sebelumnya. Terlahir di alam dewa tidak lain merupakan hasil dari moralitas yang baik diantaranya dengan menghargai semua bentuk. Artinya, untuk mencapai "puncak eksistensi" terlahir di alam bahagia, seseorang perlu memperlakukan semua makhluk lain dengan baik, tak peduli seberapa "rendah" makhluk itu (AN 8,39).
Dari beberapa penjelasan itu, penulis menemukan perbandingan sikap para sarjana Buddhis tentang spesiesisme seperti Sciberras yang memandang pendapat Waldau tentang spesiesisme yang perlu di evaluasi. Evaluasi perlu agar manusia tidak terjerumus pada paham diskriminasi terhadap spesies lain. Hal itu juga diperkuat penjelasan Buddha yang juga menentang diskriminasi pada makhluk lain seprti yang ditemukan dalam refrensi-refrensi Buddhisme awal yang mengungkapakan agar kita mencintai semua makhluk tanpa kecuali. Sudut pandang cinta kasih dan pandangan Buddhisme awal itulah yang mendasari Sciberras untuk menentang pendapat Waldau. Dari berbagai sudut pandang penjelasan tentang perbandingan sikap tentang spesiesisme ini, penulis berpendapat bahwa perbandinagn itu dipicu interpretasi yang berbeda-beda dari para sarjana terhadap ajaran Buddha. Karena interpretasi yang berbeda-beda itu pula, penulis menyadari adanya beberapa penjelasan yang masih belum cukup jelas, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk adanya penelitian lebih lanjut untuk memahami sikap Buddhisme terhadap spesiesisme.



No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”