Review of Sciberras Colette Durham: “Buddhism and Speciesism: on the
Misapplication of Western Concepts to
Buddhist Beliefs ”
Sciberras Colette Durham: Buddhism and Speciesism: on the
Misapplication of Western Concepts to
Buddhist Beliefs. editor@buddhistethics.org, Durham: Departemen Filsafat Universitas Durham
colette.sciberras @ durham.ac.uk
Oleh:
Sayudi
(07.1.153)
Diperiksa Oleh
waluyo M.Pd.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra
Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra
Studi penelitian
Buddhisme di Durham telah menemukan perkembangan penjelasan teori tentang
perbandingan sikap antara Buddhisme awal dengan sarjana barat tentang
spesiesisme. Perbandingan itu dijelaskan oleh Sciberras
yang dalam abstraknya menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan Paulus
Waldau mengenai spesiesisme dalam Buddhisme. Dalam bukunya The Specter of
Speciesism; Buddhist and Christian Views of Animals, Paul Waldau
berpendapat bahwa seperti halnya Kristiani, Buddhisme memandang manusia sebagai
makhluk yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan binatang, “values humans and human
life more highly than other animals and their lives”. Menurut Sciberras,
pendapat itu masih kurang tepat dan perlu dikaji lebih lanjut.
Sciberras
menjelaskan bahwa Waldau juga mengacu pada teks Pali untuk mendukung dan
memperkuat gagasannya tentang pertimbangan moral hanya diperuntukan bagi
manusia bukan makhluk lain (binatang). Sehingga Sciberras juga berusaha
meluruskan pandangan sarjana barat melalui sudut pandang Buddhisme awal dan
tidak memasukan isu-isu yang ada dalam
aliran Mahayana ataupun Tantrayana.
Hal
pertama yang dilakukan Sciberras adalah menyoroti definisi spesiesime menurut
Waldau. Dia menemukan adanya ketidaksesuaian definisi spesies secara Buddhis. Waldau
berpendapat bahwa dalam teks Pali tidak ada larangan mengenai pemanfaatan hewan
bagi manusia, sehingga Waldau menyatakan ada konsep spesiesisme dalam
Buddhisme. Meskipun dalam teks Pali tidak ada sebuah larangan akan pemanfaatan
hewan, namun hal itu sebenarnya tetap bertentangan dengan ajaran Buddhisme,
dimana semua makhluk dipandang memiliki hak yang sama yaitu hak untuk
memperoleh kebahagiaan hidup hingga mencapai pembebasan agung. Teks Pali lebih
banyak berisi tentang saran dan anjuran bukan sebagai sebuah kitab berisi
perintah dan larangan. Klaim Waldau yang kedua adalah bahwa ajaran Buddha
memberikan nilai yang lebih besar kepada manusia daripada binatang lain. Menurut
Sciberras, hal ini tidak berarti adanya spesiesisme dalam Buddhisme jika
didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan manusia lebih menyenangkan dari pada
hewan. Dalam Buddhisme, setiap makhluk baik manusia maupun hewan pada dasarnya
tidak akan pernah mati secara batin dan jasmani selama belum mencapai arahat.
Setiap makhluk akan mengalami tumimbal lahir sesuai dengan kammanya, apakah akan terlahir di alam derita atau alam bahagia,
masing-masing akan mengalami kehidupan sebagai binatang jika akusala kammanya mendorong dia terlahir di alam binatang, atau binatang
yang memiliki timbunan kusala kamma untuk terlahir ke alam bahagia
pada kelahiran berikutnya terlahir sebagai manusia. Jadi kelahiran dalam
Buddhisme tidak hanya bersifat satu arah. Dengan demikian teori spesiesime dalam
Buddhis seprti yang dikemukakan Waldau menurut Sciberras gagal.
Pandangan
Waldau yang disetujui Sciberras adalah mengenai kemampuan manusia lebih tinggi
dalam mengikuti ajaran Buddha. Dalam hal ini, manusia berharga bukan untuk
dirinya sendiri, tetapi untuk pencapaian yang lebih tinggi yaitu Nibbana.
Dalam
definisi spesiesisme menurut Waldau, lingkaran moral menjadi aspek penting dan
menentukan, manusia termasuk di dalamnya sedangkan hewan tidak termasuk. Untuk
itu, kehidupan manusia harus dilindungi dari penangkaran, pemanfaatan sebagai
media percobaan dan melindunginya dari bahaya.
Sciberras
menyatakan kelemahan definisi ini adalah bahwa tidak hanya manusia yang
menginginkan hal demikian. Primata lain juga menginginkan kehidupan,
kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan. Lebih lanjut dia memberikan
pandangannya mengenai spesiesisme dengan rasisme yang diungkapkan oleh Peter
Singer dalam diskusi filosofis tentang kesamaannya dengan teori spesiesisme.
Persamaanya adalah ketika menyatakan bahwa manusia termasuk dalam lingkaran
moral dan hewan lain tidak, maka sama halnya ketika menyatakan orang berkulit
putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang kulit berwarna. Dia
memandang bahwa argumen Waldau mengikuti pandangan Singer. Nilai moral yang
membedakan manusia dengan makhluk lain menurut Waldau antara lain penggunaan
bahasa, interaksi dan komunikasi; hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial,
norma-norma sosial dan harapan; kompleksitas dalam individu; kecerdasan
kesadaran diri; intensionalitas, dan kemampuan menciptakan alat. Oleh karena
Buddhisme tidak selalu menyertakan hewan dalam lingkup moralitas, maka Waldau
berpikir ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme.
Sciberras
membuat kritik terhadap keruntuhan pendapat Waldau dalam dua hal. Pertama,
dengan definisi pribadinya, dia harus menunjukkan bukti bahwa Buddhisme tidak
memasukkan semua spesies lain dari lingkaran moral dan tidak hanya orang dengan
ciri yang dia sebutkan menjadi kunci menyebut spesies. Kedua, dia tidak
menunjukkan keterangan tentang ciri spesies dalam Buddhisme yang sebenarnya,
seperti ciri yang dia sebutkan untuk memasukkan atau mengeluarkan binatang dari
lingkaran moral. Hal yang dinyatakan Waldau tidak berdasarkan pada pandangan
filsafat Buddha, akan tetapi mengacu pada filsafat barat. Misalnya, Aristoteles
mendefinisikan manusia sebagai makhluk
rasional. Moral sepertinya menjadi pertimbangan utama semata-mata hanya untuk
manusia. Dalam teks Pali jarang ditemukan antara hubungan pertimbangan. Di sisi
lain, dalam teks Pali jarang ditemukan hubungan antara pertimbangan moral
dengan kepemilikan kualitas tertentu. Sciberras selanjutnya mengutip syair
dalam Karaṇiya Metta Sutta:
Makhluk hidup
apa pun yang ada, tanpa kecuali, lemah atau kuat, panjang, besar atau ukuran
menengah, atau pendek, apakah terlihat atau tidak terlihat, dan mereka yang
tinggal jauh atau dekat, yang lahir dan mereka yang mencari kelahiran, semoga
semua makhluk bahagia (SN 1.8, terj. Buddharakkhita). Sutta ini mengungkapkan bahwa Buddhisme awal mengajarkan kepedulian
terhadap kesejahteraan makhluk lain tidak terbatas hanya kepada anggota spesies
tertentu, juga tidak tergantung pada karakteristik mereka. Sebaliknya,
lingkaran moral diperpanjang jauh untuk "makhluk apa pun yang mungkin ada
tanpa kecuali," dengan kata lain, untuk semua makhluk. Artinya jika gagasan
"lingkaran moral" dapat diterapkan dalam agama Buddha, maka akan
sangat berbeda dari tradisi barat. Jadi
pada dasarnya Waldau tidak kritis memasukkan konsep etika barat ke dalam
Buddhisme.
Dalam
mengkritisi pandangan Buddhisme mengenai hewan percobaan,Waldau memberikan
contoh tentang gajah. Dia berasumsi bahwa meskipun teks-teks Pali tampaknya
mengakui kerugian yang diderita gajah peliharaan, mereka tidak mempertanyakan
asumsi bahwa hal itu dapat diterima untuk menggunakannya. Sebaliknya, mereka
tampaknya mendukung tradisi kepemilikan gajah sebagai properti, menggunakan
praktek-praktek kejam, atau memberikan mereka pergi. Misalnya dalam syair syair
Dhammapada sang Buddha berkata “Sekarang
aku dapat mengendalikan pikiranku, seperti pawang gajah mengendalikan gajah
menggunakan tongkatnya”. Menurut Waldau hal ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha
tidak hanya menerima, tetapi juga mendorong pemanfaatan ini.
Penafsiran
mengenai sīla pertama (panatipata) oleh Waldau sebagai anjuran
menghindari pembunuhan saja adalah kurang tepat. Pada dasarnya sīla pertama ini memiliki cakupan makna yang lebih
luas, yaitu anjuran menghindari segala bentuk tindakan yang membahayakan
makhluk lain seperti menyiksa, menyakiti dan memanfaatkan mereka. Penafsiran
ini dimungkinkan karena asumsi mengenai petani yang sulit untuk pemanfaatan
makhluk lain ataupun pembunuhan. Lebih lanjut Waldau berpendapat, anjuran
menghindari pembunuhan hanya berlaku bagi kalangan biarawan Buddhis saja. Dari
pembahasan yang dilakukan oleh Waldau, ada catatan penting yang ditemukan
Waldau tentang pemanfaatan binatang seperti gajah nampaknya dibenarkan, dan ini
kemungkinan menjadikan konflik antara tuntutan moralitas Buddhis dan
pemanfaatan binatang pada saat itu.
Dalam
Jataka memang ditemukan beberapa
cerita perbudakan. Perbudakan itu sendiri berkaitan dengan pemanfaatan manusia
demi kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan aspek kerugian yang menimpa
seorang budak. Mengacu pada kitab Jataka
yang diterjemahkan oleh Rhys David, Sciberras menemukan tidak kurang dari lima
cerita mengenai perbudakan yang dialami oleh Bodhisatta dan sisi penderitaannya
pada kelahiran sebelumnya. Cerita ini bukan berarti Buddhisme menyetujui
pemanfaatan manusia (perbudakan), namun justru memberikan gambaran adanya
kejadian yang dialami Bodhisatta dan penderitaannya sebagi budak.
Sciberras
mengatakan bahwa meskipun Waldau mengakui rasa kesinambungan antara manusia dan
binatang, namun dia tetap berasusmi bahwa hewan memiliki derajat lebih rendah
dibandingkan dengan manusia. Hal ini disebabkan Buddhisme memberikan pemisahan
antara manusia dengan binatang, dengan menggambarkan kehidupan binatang yang
tidak bahagia.
Mengacu
pada beberapa ajaran dalam Sutta dan Vinaya Pitaka, nampaknya memperkuat asumsi Waldau mengenai spesiesisme
dalam Buddhisme, dimana dia tetap menganggap kehidupan sebagai manusia
menempati urutan pertama diantara makhluk lain. Ajaran itu antara lain
pembagian 31 alam kehidupan bagi kelahiran setiap makhluk. Manusia merupakan
makhluk yang mendiami alam bahagia (sugati)
dan binatang mendiami alam derita (dugati).
Hal ini membuat Waldau yakin akan spesiesisme dalam Buddhisme. Hidup sebagi
manusia merupakan buah kamma baik
bagi makhluk yang bijaksana sedangkan terlahir sebagi binatang merupakan hasil kamma buruk berupa kebodohan batin.
Kemudian dalam Vinaya Pitaka, dijelaskan bahwa untuk mencapai
kebuddhaan adalah dengan menjalankan kehidupan Brahmacariya, yang syarat pertama adalah manusia. Dengan demikian
Waldau beranggapan Buddhisme mencela kelahiran sebagai binatang.
Sciberras
berpendapat kualitas kehidupan suatu makhluk tidak tergantung pada kualitas
kecerdasan, sebagaimana perbandingan antara hewan dan manusia. Mengacu pada
pendapat Taylor, bahwa semua manusia memiliki nilai instrinsik yang sama. Sikap moral
manusia tidak diukur dari segi kekayaan, kecantikan dan kecerdasan
intelegensinya. Kita tidak dapat beranggapan bahwa seseorang yang sangat cerdas, kualitasnya
lebih tinggi dari orang yang kurang pandai. Demikian juga terhadap
hewan, meskipun dari struktur otak manusia lebih baik dari binatang, bukan
berarti binantang tidak memiliki kualitas moral yang lebih rendah dan bisa
diperlakukan sekehendak manusia.
Sciberras
selanjutnya mengulas mengenai keuntungan terlahir sebagai manusia adalah
potensi untuk mencapai pencerahan dibandingkan makhluk lain. Manusia memiliki
kesempatan belajar Dhamma lebih banyak dari pada makhluk alam Dugati bahkan maklhuk alam dewa. Manusia
tidak terganggu oleh kegiatan yang menyenangkan seperti dewa-dewa, bukan juga
mereka kewalahan oleh kehidupan siksaan, seperti dalam alam bawah (SN 35,135).
Meskipun
kehidupan manusia lebih baik daripada satu sebagai binatang dan hidup sebagai
dewa bahkan dinilai lebih tinggi, tapi kelahiran kembali di alam yang lebih
tinggi dilihat sebagai hasil tindakan moral sebelumnya. Terlahir di alam dewa
tidak lain merupakan hasil dari moralitas yang baik diantaranya dengan menghargai
semua bentuk. Artinya, untuk mencapai "puncak eksistensi" terlahir di
alam bahagia, seseorang perlu memperlakukan semua makhluk lain dengan baik, tak
peduli seberapa "rendah" makhluk itu (AN 8,39).
Dari
beberapa penjelasan itu, penulis menemukan perbandingan sikap para sarjana
Buddhis tentang spesiesisme seperti Sciberras yang memandang pendapat Waldau
tentang spesiesisme yang perlu di evaluasi. Evaluasi perlu agar manusia tidak
terjerumus pada paham diskriminasi terhadap spesies lain. Hal itu juga
diperkuat penjelasan Buddha yang juga menentang diskriminasi pada makhluk lain
seprti yang ditemukan dalam refrensi-refrensi Buddhisme awal yang mengungkapakan
agar kita mencintai semua makhluk tanpa kecuali. Sudut pandang cinta kasih dan
pandangan Buddhisme awal itulah yang mendasari Sciberras untuk menentang
pendapat Waldau. Dari berbagai sudut pandang penjelasan tentang perbandingan
sikap tentang spesiesisme ini, penulis berpendapat bahwa perbandinagn itu
dipicu interpretasi yang berbeda-beda dari para sarjana terhadap ajaran Buddha.
Karena interpretasi yang berbeda-beda itu pula, penulis menyadari adanya
beberapa penjelasan yang masih belum cukup jelas, sehingga tidak menutup
kemungkinan untuk adanya penelitian lebih lanjut untuk memahami sikap Buddhisme
terhadap spesiesisme.
No comments:
Post a Comment