Wednesday, 27 June 2012

PANDANGAN BUDDHIS TERHADAP SPESIESISME

 
PANDANGAN BUDDHIS TERHADAP SPESIESISME


Pengertian Spesiesisme
Spesiesisme adalah suatu prasangka atau perilaku menyimpang demi kepentingan dari anggota spesiesnya sendiri dan menindas anggota spesies lainnya. Jika suatu makhluk menderita karena tidak ada keadilan moral, mereka menolak untuk memperhatikan penderitaan itu. Dalam setiap dan semua kasus, manusia yang punya kekuasaan mengeksploitasi yang lemah. Mungkin hal yang sama terjadi dalam hal bagaimana manusia memperlakukan hewan lain atau penghuni bumi lain.
Sebab-sebab Eksploitasi
Hal yang dapat menyebabkan eksploitasi manusia terhadap hewan yaitu adanya kekeliruan penafsiran terhadap ajaran agama seperti yang terjadi pada masyarakat dewasa ini dan provokasi dari ilmuan-ilmuan (http://takenrc.blogspot.com/2005/06/buku-pertama-neh.html). Misalnya agama-agama besar, terutama agama kristen memberikan sumbangan besar untuk melatenkan antroposentris. Pada Kitab kejadian, pasal 1: 26-28, dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia secitra dengan Allah pada hari keenam sebagai puncak dari seluruh karya ciptaan-Nya. Selanjutnya Allah menyerahkan alam semesta beserta isinya kepada manusia untuk dikuasai dan ditaklukan. Sama juga di Islam, pada surat Al Baqarah: 30, bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah fil ardl, pemimpin dimuka bumi. Tentu, bukan ayatnya yang salah tapi penafsiran manusia terhadap ayat tersebut yang keliru, bahwa untuk dikelola, dikuasai, ditaklukan membuat manusia semena-mena terhadap alam. Prinsipnya yaitu, selama tidak mengganggu manusia lain. Pada tradisi aristotelian yang dikembangkan oleh Thomas aquinas dengan fokus utama Rantai kehidupan, dimana kehidupan di dunia ini membentuk rantai kesempurnaan kehidupan, dari yang paling sederhana sampai paling mendekati sempurna, yakni manusia. Maha Sempurna adalah Tuhan, karena manusia mendekati Tuhan, maka manusia berhak untuk menggunakan semua ciptaan demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Argumen yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, Rene Descartes, dan Immannuel Kant bahwa manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan makhluk ciptaan lainnya karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional. Ia makhluk berakal budi dan memiliki perasaan, sedangkan binatang dan tumbuhan hidup secara mekanis.
Bentuk-Bentuk Eksploitasi Manusia terhadap Hewan
Motif manusia dalam mengksploitasi hewan ada banyak hal (http://suprememastertv.com). Manusia telah memanfaatkan hewan sebagai peliharaan, bahan makanan, bahan pakaian, hiburan dan media percobaan penelitian. Manusia tidak pernah membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi pada dirinya. Manusia cenderung egois dan mementingkan kepuasan dirinya sendiri. Seandainya hewan-hewan mampu bertindak secanggih manusia, pembunuhan dan pelanggaran hak tentu hewan-hewan akan melakukan berbgai protes terhadap tindakan keji manusia. Jika hewan mampu bertindak demikian pastinya umat manusia akan mendapat banyak serangan dari hewan-hewan. Dengan dasar bahwa pertumbuhan hewan cenderung lebih besar daripada pertumbuhan manusia maka dapat dipastikan bahwa manusia juga ada kemungkinan tidak mampu menghadapi aksi balasan dari para hewan.
Berikut beberapa contoh engksploitasi manusia terhadap hewan:
1.        Hewan Peliharaan
Hampir setiap orang mampu memelihara hewan baik dalam skala profesional maupun non-profesional. Bagi toko hewan peliharaan, sebagian besar hewannya berasal dari peternakan anjing. Peternakan anjing itu ada yang berbiaya tinggi dan ada yang berbiaya rendah. Mereka yang berbiaya rendah seringkali beroperasi di belakang rumah yang menempatkan hewan pada keadaan kotor dan berjejal tanpa perawatan ahli hewan atau sosialisasi. Anjing dari peternakan sering menunjukkan masalah fisik dan psikologis saat mereka tumbuh.
2.        Makanan
Lebih dari 10.000 ekor per menit, lebih dari enam miliar per tahun, hanya di Amerika Serikat, kehidupan benar-benar disalurkan dari yang disebut "hewan daging". Karena punya kekuatan lebih besar, manusia memutuskan kapan hewan tersebut akan mati, di mana mereka akan mati, dan bagaimana mereka mati. Kepentingan hewan ini sendiri tidak berperan apa pun dalam memutuskan nasib mereka. Membunuh hewan adalah tindakan yang biadab.
Orang-orang mungkin berharap agar daging yang dibeli berasal dari hewan yang mati tanpa kesakitan. Tapi mereka benar-benar tidak mau tahu. Namun siapa pun, dengan pembelian mereka, itu menyebabkan hewan dibunuh, aspek lainnya dari produksi daging selalu ditutup-tutupi.  Banyak orang yang tidak pernah membayangkan bagiamana penderitaan sapi-sapi yang dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebelum sapi-sapi dijagal ada serangkain proses menyedihkan yang harus dilalui. Contoh, sapi-sapi harus distempel panas, tanduk dipotong tanpa adanya bius bahkan ada sapi yang dipaksa minum air dengan jumlah yang banyak agar timbangan menjadi berat yang dikenal dengan istilah sapi gelonggongan. Selain itu saat dalam perjalanan ke tempat penjagalan, hewan ditempatkan berjejalan dalam truk, mereka saling tumpuk dengan yang lainnya. Tentunya sapi-sapi ini mengalami masa-masa depresi, frustasi, kepanasan, kedinginan, kelelahan, trauma, dan kondisi kesehatan yang memburuk. Ini merupakan serangkaian proses untuk mendapatkan bahan makanan hewani berupa daging yang sangat bertentangan dengan paham Buddhisme.
Selain untuk diambil dagingnya, hewan juga dimanfaatkan untuk diperah susunya. Pada proses untuk mendapatkan sekotak susu kemasan ternyata manusia telah melanggar hak untuk hidup bahagia  bagi hewan. Sapi yang akan diperah diikat dengan rantai di kandang mereka sepanjang hari, tidak bisa bergerak. Pestisida dan antibiotik juga dipergunakan untuk produktivitas susu. Dengan cepat, sapi perah seperti ini kolaps karena kelelahan. Biasanya, sapi bisa hidup hingga sekitar 20 tahun. Tapi sapi perah biasanya mati dalam empat tahun, setelah tahap ini dagingnya dipergunakan untuk restoran cepat saji.
3.        Pakaian
Permintaan terhadap kulit hewan terutama berasal dari Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Hampir setiap orang mengenakannya, dengan sedikit atau tanpa memikirkan dari mana itu berasal. Ribuan sapi India dibantai setiap minggu demi kulit mereka, dibeli dari keluarga miskin di berbagai pedesaan India yang menjualnya dengan keyakinan bahwa hewan itu akan menjalani hidup mereka di peternakan. Hewan-hewan yang digunakan manusia sebagai bahan pakaian misalnya sapi, ular, buaya, komodo, domba, merak, dan ayam. Hewan-hewan ini merupakan komoditi yang sangat diminati. Manfaatnya adalah sebagai bahan sepatu, tas, celana, baju, topi dan sebagainya.
4.         Hiburan
Penggunaan hewan sebagai hiburan ada bermacam-macam. Di Indonesia banyak dijumpai budaya sabung ayam yang dilakukan masyarakat. Hewan-hewan sengaja diadu untuk bertarung. Ayam-ayam ini kemudaian menjadi ajang berjudi. Selain ayam,  anjing dan kuda merupakan komoditi dan mesin pencetak uang bagi penggemar judi. Bahkan sekarang hewan kecil semacam jangkrik juga diadu. Untuk alasan hiburan, manusia juga menghilangkan hak hewan dengan cara berburu, memancing, sirkus, pacuan dan sebaginya . Banyak orang yang memiliki hobi berburu seperti menembak. Biasanya mereka pergi ke hutan dan menembak hewan seperti burung, tupai dan babi hutan. Selain memberikan kepuasan bagi pemburu, hewan-hewan ini juga dapat dikonsumsi dagingnya.
5.        Sains
Untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan manusia menggunakan hewan untuk dijadikan media penelitian, misalnya percobaan medis. Manusia melakukan pembedahan hidup-hidup pada segala jenis satwa yang digunakan untuk percobaan. Alasan untuk percobaan jenis ini adalah menemukan penyembuhan bagi penyakit manusia. Hasil penelitian yang diperoleh dari satwa diharapkan dapat diterapkan untuk manusia. Seperti halnya penelitian luka kepala yang melibatkan monyet babon yang secara parsial atau sepenuhnya sadar, diikat dengan kekangan dan kepala mereka disemen ke dalam helm logam, yang akan didorongkan pada sudut 60 derajat pada kekuatan sampai 1.000 G. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menirukan kecelakaan mobil, sepak bola, tinju, dan luka lain berhubungan dengan kepala. Dan proses ini sering diulang lagi dan lagi pada satwa yang sama. Selain itu manusia menggunakan hewan untuk penelitian militer. Uji coba untuk memapar primata terhadap radiasi nuklir manusia memanfaatkan anjing sebagai media percobaan.
Pandangan Buddhisme Tentang Spesiesisme
Dalam definisi spesiesisme menurut pandangan umum, moral menjadi aspek penting dan menentukan. Contoh, Paul Waldau dalam bukunya The Specter of Speciesism; Buddhist and Christian Views of Animals, berpendapat bahwa seperti halnya Kristiani, Buddhisme memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan binatang, “values humans and human life more highly than other animals and their lives”. Nilai moral yang membedakan manusia dengan makhluk lain menurut Waldau antara lain penggunaan bahasa, interaksi dan komunikasi; hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial, norma-norma sosial dan harapan; kompleksitas dalam individu; kecerdasan kesadaran diri; intensionalitas, dan kemampuan menciptakan alat. Manusia dianggap di dalam golongan yang bermoral sedangkan hewan tidak termasuk. Untuk itu, kehidupan manusia harus dilindungi dari penangkaran, pemanfaatan sebagai media percobaan dan melindunginya dari bahaya.
Kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan tidak hanya diinginkan manusia. Primata lain juga menginginkan kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan. Hal itu menjelaskan bahwa kehidupan dalam jenis spesies apapun mempunyai kebutuhan yang tidak jauh berbeda. Jiika ada yang menyatakan spesiesisme dalam Buddhisme itu ada, berarti tidak jauh berbeda dengan pendapat pendapat Singer tentang adanya rasisme atau sistim kasta dalam Brahmanisme. Persamaanya adalah ketika menyatakan bahwa manusia termasuk dalam lingkaran moral dan hewan lain tidak, maka sama halnya ketika menyatakan orang berkulit putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang kulit berwarna.
Pernyataan yang menyebutkan spesiesisme ada dalam Buddhisme tidak berdasarkan pada pandangan filsafat Buddha, akan tetapi mengacu pada filsafat barat. Misalnya, Aristoteles  mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional. Moral sepertinya menjadi pertimbangan utama semata-mata hanya untuk manusia. Dalam teks Pali jarang ditemukan antara hubungan pertimbangan. Dalam teks Pali jarang ditemukan hubungan antara pertimbangan moral dengan kepemilikan kualitas tertentu. Dalam Karaṇiya Metta Sutta disebutkan makhluk hidup apa pun yang ada, tanpa kecuali, lemah atau kuat, panjang, besar atau ukuran menengah, atau pendek, apakah terlihat atau tidak terlihat, dan mereka yang tinggal jauh atau dekat, yang lahir dan mereka yang mencari kelahiran, semoga semua makhluk bahagia (SN 1.8, terj. Buddharakkhita). Sutta ini mengungkapkan bahwa Buddhisme awal mengajarkan kepedulian terhadap kesejahteraan makhluk lain tidak terbatas hanya kepada anggota spesies tertentu, juga tidak tergantung pada karakteristik mereka. Sebaliknya, lingkaran moral diperpanjang jauh untuk "makhluk apa pun yang mungkin ada tanpa kecuali," dengan kata lain, untuk semua makhluk.  Jadi pada dasarnya kita tidak dapat memasukkan konsep etika barat ke dalam Buddhisme.
Kita sebagai umat Buddha harus pandai menelaah pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan Buddhis namun kurang sesuai dengan ajaran buddhisme awal. Kita bisa mengabil contoh Sciberras yang menyoroti definisi spesiesime oleh Waldau. Sciberras menemukan adanya ketidaksesuaian definisi spesies menurut Buddhis. Waldau berpendapat bahwa dalam teks Pali tidak ada larangan mengenai pemanfaatan hewan bagi manusia, sehingga Waldau menyatakan ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme. Meskipun dalam teks Pali tidak ada sebuah larangan akan pemanfaatan hewan, namun hal itu sebenarnya tetap bertentangan dengan ajaran Buddhisme, dimana semua makhluk dipandang memiliki hak yang sama yaitu hak untuk memperoleh kebahagiaan hidup hingga mencapai pembebasan agung. Teks Pali lebih banyak berisi tentang saran dan anjuran bukan sebagai sebuah kitab yang berisi perintah dan larangan. Klaim Waldau yang kedua adalah bahwa ajaran Buddha memberikan nilai yang lebih besar kepada manusia daripada binatang lain. Menurut Sciberras, hal ini tidak berarti adanya spesiesisme dalam Buddhisme karena dalam Buddhisme, setiap makhluk baik manusia maupun hewan pada dasarnya “tidak akan pernah mati” secara batin dan jasmani selama belum mencapai arahat. Setiap makhluk akan mengalami tumimbal lahir sesuai dengan kammanya, apakah akan terlahir di alam derita atau alam bahagia. Setiap makhluk akan mengalami kehidupan sebagai binatang jika akusala kammanya mendorong dia terlahir di alam binatang, atau binatang yang memiliki timbunan kusala kamma untuk terlahir ke alam bahagia pada kelahiran berikutnya yang bisa saja terlahir sebagai manusia. Jadi kelahiran dalam Buddhisme tidak hanya bersifat satu arah. Dengan demikian teori spesiesime dalam Buddhis seprti yang dikemukakan Waldau menurut Sciberras gagal.
Sebagai agama yang mengajarkan cinta kasih terhadap semua makhluk, maka tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi makhluk hidup ditentang Buddhisme. Hal ini dapat dijumpai dalam Vinaya Pitaka bahwa seorang bhikkhu dikenakan pelanggaran pacittiya jika melakukan pembunuhan terhadap binatang. Maka seoarang bhikkhu akan di kenakan dandakammam. Tindakan yang tidak beradap ini bikan hanya berlaku bagi pabbajita, akan tetapi juga berlaku bagi garavasa. Dalam hukum kamma, Buddha menyatakan akibat dari tindakan penyiksaan terhadap hewan akan menyebabkan umur seseorang menjadi pendek.
Dalam kitab Jataka, Buddhisme menampilkan bahwa hewan-hewan bukanlah sebagi maklhuk yang moralnya rendah. Dari berbagai cerita nampak bahwa hewan-hewan itu justru memiliki kebijaksaan dan moralitas yang lebih unggul daripada manusia. hewan-hewan yang di maksud adalah Bodhisatva. Seorang Buddha dalam kehidupan lampaunya juga terlahir sebagai binatang untuk menyempuranakan parami. Dengan demikian hidup sebagai manusia ataupun hewan merupakan bagian dari proses makhluk hidup untuk mencapai pembebasan. Perdagangan hewan dalam Buddhisme sangat ditentang untuk alasasn apapun. Hal ini karena bertentangan dengan prinsip Buddhis yang mengajarkan umat untuk mencari penghidupan benar (samma ajiva).
Pandangan spesiesisme dalam Buddhisme yang lebih dapat diterima adalah mengenai kemampuan manusia lebih tinggi dalam mengikuti ajaran Buddha. Dalam hal ini, manusia berharga bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk pencapaian yang lebih tinggi yaitu Nibbana. Pencapaian itu adalah cita-cita yang harus dikondisikan tidak hanya dalam kehidupan sebagai manusia, namun juga dalam kehidupan-kehidupan yang lain termasuk hewan.



KESIMPULAN

Manusia memang mempunyai keuntungan disbanding terlahir dialam lain. Terlahir sebagai manusia adalah potensi untuk mencapai pencerahan dibandingkan makhluk lain. Manusia memiliki kesempatan belajar Dhamma lebih banyak dari pada makhluk alam Dugati bahkan maklhuk alam dewa. Manusia tidak terganggu oleh kegiatan yang menyenangkan seperti dewa-dewa, bukan juga mereka kewalahan oleh kehidupan siksaan, seperti dalam alam bawah (SN 35,135).
Meskipun kehidupan manusia lebih baik daripada kehidupan binatang dan hidup sebagai dewa, tapi kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi dilihat sebagai hasil tindakan moral sebelumnya. Terlahir di alam dewa tidak lain merupakan hasil dari moralitas yang baik diantaranya dengan menghargai semua bentuk. Artinya, untuk mencapai "puncak eksistensi" terlahir di alam bahagia, seseorang perlu memperlakukan semua makhluk lain dengan baik, tak peduli seberapa "rendah" makhluk itu (AN 8,39).
Referensi:
Horner. I.B. 2004. The Book of Discipline Vol III (Sutta Vibhanga). Oxford: The Pali Text Society.
Horner. I.B. 2001. The Book of Discipline Vol V (Cullavagga). Oxford: The Pali Text Society.
http://www.buddhistethics.org/ diakses 10 Maret 2010
http://suprememastertv.com diakses 30 Mei 2010

No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”