PANDANGAN BUDDHIS
TERHADAP SPESIESISME
Pengertian
Spesiesisme
Spesiesisme adalah suatu prasangka atau perilaku
menyimpang demi kepentingan dari anggota spesiesnya sendiri dan menindas
anggota spesies lainnya. Jika suatu makhluk menderita karena tidak ada keadilan
moral, mereka menolak untuk memperhatikan penderitaan itu. Dalam setiap dan
semua kasus, manusia yang punya kekuasaan mengeksploitasi yang lemah. Mungkin
hal yang sama terjadi dalam hal bagaimana manusia memperlakukan hewan lain atau
penghuni bumi lain.
Sebab-sebab Eksploitasi
Hal yang dapat menyebabkan eksploitasi manusia
terhadap hewan yaitu adanya kekeliruan penafsiran terhadap ajaran agama seperti
yang terjadi pada masyarakat dewasa ini dan provokasi dari ilmuan-ilmuan (http://takenrc.blogspot.com/2005/06/buku-pertama-neh.html).
Misalnya agama-agama besar, terutama agama kristen memberikan sumbangan besar
untuk melatenkan antroposentris. Pada Kitab kejadian, pasal 1: 26-28,
dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia secitra dengan Allah pada hari
keenam sebagai puncak dari seluruh karya ciptaan-Nya. Selanjutnya Allah
menyerahkan alam semesta beserta isinya kepada manusia untuk dikuasai dan
ditaklukan. Sama juga di Islam, pada surat Al
Baqarah: 30, bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah fil ardl, pemimpin dimuka bumi. Tentu, bukan
ayatnya yang salah tapi penafsiran manusia terhadap ayat tersebut yang keliru,
bahwa untuk dikelola, dikuasai, ditaklukan membuat manusia semena-mena terhadap
alam. Prinsipnya yaitu, selama tidak mengganggu manusia lain. Pada tradisi
aristotelian yang dikembangkan oleh Thomas aquinas dengan fokus utama Rantai
kehidupan, dimana kehidupan di dunia ini membentuk rantai kesempurnaan
kehidupan, dari yang paling sederhana sampai paling mendekati sempurna, yakni
manusia. Maha Sempurna adalah Tuhan, karena manusia mendekati Tuhan, maka
manusia berhak untuk menggunakan semua ciptaan demi memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya. Argumen yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, Rene Descartes, dan Immannuel
Kant bahwa manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan makhluk ciptaan
lainnya karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional. Ia
makhluk berakal budi dan memiliki perasaan, sedangkan binatang dan tumbuhan
hidup secara mekanis.
Bentuk-Bentuk
Eksploitasi Manusia terhadap Hewan
Motif manusia dalam
mengksploitasi hewan ada banyak hal (http://suprememastertv.com). Manusia telah
memanfaatkan hewan sebagai peliharaan, bahan makanan, bahan pakaian, hiburan
dan media percobaan penelitian. Manusia tidak pernah membayangkan bagaimana
jika hal itu terjadi pada dirinya. Manusia cenderung egois dan mementingkan
kepuasan dirinya sendiri. Seandainya hewan-hewan mampu bertindak secanggih
manusia, pembunuhan dan pelanggaran hak tentu hewan-hewan akan melakukan
berbgai protes terhadap tindakan keji manusia. Jika hewan mampu bertindak demikian pastinya umat
manusia akan mendapat banyak serangan dari hewan-hewan. Dengan dasar bahwa
pertumbuhan hewan cenderung lebih besar daripada pertumbuhan manusia maka dapat
dipastikan bahwa manusia juga ada kemungkinan tidak mampu menghadapi aksi
balasan dari para hewan.
Berikut
beberapa contoh engksploitasi manusia terhadap hewan:
1.
Hewan Peliharaan
Hampir setiap orang mampu
memelihara hewan baik dalam skala profesional maupun non-profesional. Bagi toko
hewan peliharaan, sebagian besar hewannya berasal dari peternakan anjing. Peternakan anjing itu ada yang berbiaya tinggi dan ada yang berbiaya rendah. Mereka yang berbiaya rendah
seringkali beroperasi di belakang
rumah yang menempatkan hewan pada keadaan kotor dan berjejal tanpa perawatan
ahli hewan atau sosialisasi. Anjing dari peternakan sering menunjukkan masalah
fisik dan psikologis saat mereka tumbuh.
2.
Makanan
Lebih dari 10.000 ekor per
menit, lebih dari enam miliar per tahun, hanya di Amerika Serikat, kehidupan
benar-benar disalurkan dari yang disebut "hewan daging". Karena punya
kekuatan lebih besar, manusia memutuskan kapan hewan tersebut akan mati, di
mana mereka akan mati, dan bagaimana mereka mati. Kepentingan hewan ini sendiri
tidak berperan apa pun dalam memutuskan nasib mereka. Membunuh hewan adalah
tindakan yang biadab.
Orang-orang mungkin
berharap agar daging yang dibeli berasal dari hewan yang mati tanpa kesakitan.
Tapi mereka benar-benar tidak mau tahu. Namun siapa pun, dengan pembelian
mereka, itu menyebabkan hewan dibunuh, aspek lainnya dari produksi daging
selalu ditutup-tutupi. Banyak orang yang
tidak pernah membayangkan bagiamana penderitaan sapi-sapi yang dikonsumsi untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebelum sapi-sapi dijagal ada serangkain proses
menyedihkan yang harus dilalui. Contoh, sapi-sapi harus distempel panas, tanduk
dipotong tanpa adanya bius bahkan ada sapi yang dipaksa minum air dengan jumlah
yang banyak agar timbangan menjadi berat yang dikenal dengan istilah sapi
gelonggongan. Selain itu saat dalam perjalanan ke tempat penjagalan,
hewan ditempatkan berjejalan dalam truk, mereka saling tumpuk dengan yang
lainnya. Tentunya sapi-sapi ini mengalami masa-masa depresi, frustasi, kepanasan,
kedinginan, kelelahan, trauma, dan kondisi kesehatan yang memburuk. Ini merupakan
serangkaian proses untuk mendapatkan bahan makanan hewani berupa daging yang
sangat bertentangan dengan paham Buddhisme.
Selain untuk diambil
dagingnya, hewan juga dimanfaatkan untuk diperah susunya. Pada proses untuk
mendapatkan sekotak susu kemasan ternyata manusia telah melanggar hak untuk
hidup bahagia bagi hewan. Sapi yang akan
diperah diikat dengan rantai di kandang mereka sepanjang hari, tidak bisa
bergerak. Pestisida dan antibiotik juga dipergunakan untuk produktivitas susu.
Dengan cepat, sapi perah seperti ini kolaps karena kelelahan. Biasanya, sapi
bisa hidup hingga sekitar 20 tahun. Tapi sapi perah biasanya mati dalam empat
tahun, setelah tahap ini dagingnya dipergunakan untuk restoran cepat saji.
3.
Pakaian
Permintaan terhadap kulit
hewan terutama berasal dari Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Hampir setiap
orang mengenakannya, dengan sedikit atau tanpa memikirkan dari mana itu
berasal. Ribuan sapi India dibantai setiap minggu demi kulit mereka, dibeli
dari keluarga miskin di berbagai pedesaan India yang menjualnya dengan
keyakinan bahwa hewan itu akan menjalani hidup mereka di peternakan. Hewan-hewan yang digunakan
manusia sebagai bahan pakaian misalnya sapi, ular, buaya, komodo, domba, merak,
dan ayam. Hewan-hewan ini merupakan komoditi yang sangat diminati. Manfaatnya
adalah sebagai bahan sepatu, tas, celana, baju, topi dan sebagainya.
4.
Hiburan
Penggunaan hewan sebagai
hiburan ada bermacam-macam. Di Indonesia banyak dijumpai budaya sabung ayam
yang dilakukan masyarakat. Hewan-hewan sengaja diadu untuk bertarung. Ayam-ayam
ini kemudaian menjadi ajang berjudi.
Selain ayam, anjing dan kuda merupakan
komoditi dan mesin pencetak uang bagi penggemar judi. Bahkan sekarang hewan
kecil semacam jangkrik juga diadu.
Untuk alasan hiburan, manusia juga menghilangkan hak hewan dengan cara berburu,
memancing, sirkus, pacuan dan sebaginya . Banyak orang yang memiliki hobi
berburu seperti menembak. Biasanya mereka pergi ke hutan dan menembak hewan
seperti burung, tupai dan babi hutan. Selain memberikan kepuasan bagi pemburu,
hewan-hewan ini juga dapat dikonsumsi dagingnya.
5.
Sains
Untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan manusia menggunakan hewan untuk dijadikan media
penelitian, misalnya percobaan medis. Manusia melakukan pembedahan hidup-hidup
pada segala jenis satwa yang digunakan untuk percobaan. Alasan untuk percobaan jenis ini adalah menemukan penyembuhan
bagi penyakit manusia. Hasil penelitian yang diperoleh dari satwa diharapkan
dapat diterapkan untuk manusia. Seperti halnya penelitian luka kepala yang melibatkan
monyet babon yang secara parsial atau sepenuhnya sadar, diikat dengan kekangan
dan kepala mereka disemen ke dalam helm logam, yang akan didorongkan pada sudut
60 derajat pada kekuatan sampai 1.000 G. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk
menirukan kecelakaan mobil, sepak bola, tinju, dan luka lain berhubungan dengan
kepala. Dan proses ini sering diulang lagi dan lagi pada satwa yang sama.
Selain itu manusia menggunakan hewan untuk penelitian militer. Uji coba untuk
memapar primata terhadap radiasi nuklir manusia memanfaatkan anjing sebagai
media percobaan.
Pandangan
Buddhisme Tentang Spesiesisme
Dalam definisi spesiesisme menurut pandangan umum,
moral menjadi aspek penting dan menentukan. Contoh, Paul Waldau dalam bukunya The
Specter of Speciesism; Buddhist and Christian Views of Animals, berpendapat
bahwa seperti halnya Kristiani, Buddhisme memandang manusia sebagai makhluk
yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
binatang, “values humans and human life
more highly than other animals and their lives”. Nilai moral yang
membedakan manusia dengan makhluk lain menurut Waldau antara lain penggunaan
bahasa, interaksi dan komunikasi; hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial,
norma-norma sosial dan harapan; kompleksitas dalam individu; kecerdasan
kesadaran diri; intensionalitas, dan kemampuan menciptakan alat. Manusia dianggap
di dalam golongan yang bermoral sedangkan hewan tidak termasuk. Untuk itu,
kehidupan manusia harus dilindungi dari penangkaran, pemanfaatan sebagai media
percobaan dan melindunginya dari bahaya.
Kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan tidak
hanya diinginkan manusia. Primata lain juga menginginkan kehidupan,
kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan. Hal itu menjelaskan bahwa kehidupan
dalam jenis spesies apapun mempunyai kebutuhan yang tidak jauh berbeda. Jiika
ada yang menyatakan spesiesisme dalam Buddhisme itu ada, berarti tidak jauh
berbeda dengan pendapat pendapat Singer tentang adanya rasisme atau sistim
kasta dalam Brahmanisme. Persamaanya adalah ketika menyatakan bahwa manusia
termasuk dalam lingkaran moral dan hewan lain tidak, maka sama halnya ketika
menyatakan orang berkulit putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang
kulit berwarna.
Pernyataan yang menyebutkan spesiesisme ada dalam
Buddhisme tidak berdasarkan pada pandangan filsafat Buddha, akan tetapi mengacu
pada filsafat barat. Misalnya, Aristoteles
mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional. Moral sepertinya
menjadi pertimbangan utama semata-mata hanya untuk manusia. Dalam teks Pali
jarang ditemukan antara hubungan pertimbangan. Dalam teks Pali jarang ditemukan
hubungan antara pertimbangan moral dengan kepemilikan kualitas tertentu. Dalam Karaṇiya Metta Sutta disebutkan makhluk
hidup apa pun yang ada, tanpa kecuali, lemah atau kuat, panjang, besar atau
ukuran menengah, atau pendek, apakah terlihat atau tidak terlihat, dan mereka
yang tinggal jauh atau dekat, yang lahir dan mereka yang mencari kelahiran,
semoga semua makhluk bahagia (SN 1.8, terj. Buddharakkhita). Sutta ini mengungkapkan bahwa Buddhisme
awal mengajarkan kepedulian terhadap kesejahteraan makhluk lain tidak terbatas
hanya kepada anggota spesies tertentu, juga tidak tergantung pada karakteristik
mereka. Sebaliknya, lingkaran moral diperpanjang jauh untuk "makhluk apa
pun yang mungkin ada tanpa kecuali," dengan kata lain, untuk semua
makhluk. Jadi pada dasarnya kita tidak dapat
memasukkan konsep etika barat ke dalam Buddhisme.
Kita sebagai umat Buddha harus pandai menelaah
pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan Buddhis namun kurang sesuai dengan
ajaran buddhisme awal. Kita bisa mengabil contoh Sciberras yang menyoroti
definisi spesiesime oleh Waldau. Sciberras menemukan adanya ketidaksesuaian
definisi spesies menurut Buddhis. Waldau berpendapat bahwa dalam teks Pali
tidak ada larangan mengenai pemanfaatan hewan bagi manusia, sehingga Waldau
menyatakan ada konsep spesiesisme dalam Buddhisme. Meskipun dalam teks Pali
tidak ada sebuah larangan akan pemanfaatan hewan, namun hal itu sebenarnya
tetap bertentangan dengan ajaran Buddhisme, dimana semua makhluk dipandang
memiliki hak yang sama yaitu hak untuk memperoleh kebahagiaan hidup hingga mencapai
pembebasan agung. Teks Pali lebih banyak berisi tentang saran dan anjuran bukan
sebagai sebuah kitab yang berisi perintah dan larangan. Klaim Waldau yang kedua
adalah bahwa ajaran Buddha memberikan nilai yang lebih besar kepada manusia
daripada binatang lain. Menurut Sciberras, hal ini tidak berarti adanya
spesiesisme dalam Buddhisme karena dalam Buddhisme, setiap makhluk baik manusia
maupun hewan pada dasarnya “tidak akan pernah mati” secara batin dan jasmani
selama belum mencapai arahat. Setiap makhluk akan mengalami tumimbal lahir
sesuai dengan kammanya, apakah akan
terlahir di alam derita atau alam bahagia. Setiap makhluk akan mengalami
kehidupan sebagai binatang jika akusala
kammanya mendorong dia terlahir di
alam binatang, atau binatang yang memiliki timbunan kusala kamma untuk
terlahir ke alam bahagia pada kelahiran berikutnya yang bisa saja terlahir
sebagai manusia. Jadi kelahiran dalam Buddhisme tidak hanya bersifat satu arah.
Dengan demikian teori spesiesime dalam Buddhis seprti yang dikemukakan Waldau
menurut Sciberras gagal.
Sebagai
agama yang mengajarkan cinta kasih terhadap semua makhluk, maka
tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi makhluk hidup ditentang Buddhisme.
Hal ini dapat dijumpai dalam Vinaya Pitaka bahwa seorang bhikkhu dikenakan pelanggaran pacittiya
jika melakukan pembunuhan terhadap binatang. Maka seoarang bhikkhu akan di
kenakan dandakammam. Tindakan yang
tidak beradap ini bikan hanya berlaku bagi pabbajita, akan tetapi juga berlaku
bagi garavasa. Dalam hukum kamma, Buddha menyatakan akibat dari tindakan
penyiksaan terhadap hewan akan menyebabkan umur seseorang menjadi pendek.
Dalam
kitab Jataka, Buddhisme menampilkan bahwa hewan-hewan bukanlah sebagi maklhuk
yang moralnya rendah. Dari berbagai cerita nampak bahwa hewan-hewan itu justru
memiliki kebijaksaan dan moralitas yang lebih unggul daripada manusia.
hewan-hewan yang di maksud adalah Bodhisatva. Seorang Buddha dalam kehidupan
lampaunya juga terlahir sebagai binatang untuk menyempuranakan parami. Dengan
demikian hidup sebagai manusia ataupun hewan merupakan bagian dari proses
makhluk hidup untuk mencapai pembebasan. Perdagangan hewan dalam Buddhisme
sangat ditentang untuk alasasn apapun. Hal ini karena bertentangan dengan
prinsip Buddhis yang mengajarkan umat untuk mencari penghidupan benar (samma ajiva).
Pandangan spesiesisme dalam Buddhisme yang lebih
dapat diterima adalah mengenai kemampuan manusia lebih tinggi dalam mengikuti
ajaran Buddha. Dalam hal ini, manusia berharga bukan untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk pencapaian yang lebih tinggi yaitu Nibbana. Pencapaian itu adalah cita-cita yang harus dikondisikan
tidak hanya dalam kehidupan sebagai manusia, namun juga dalam
kehidupan-kehidupan yang lain termasuk hewan.
KESIMPULAN
Manusia memang mempunyai keuntungan disbanding
terlahir dialam lain. Terlahir sebagai manusia adalah potensi untuk mencapai
pencerahan dibandingkan makhluk lain. Manusia memiliki kesempatan belajar
Dhamma lebih banyak dari pada makhluk alam Dugati
bahkan maklhuk alam dewa. Manusia tidak terganggu oleh kegiatan yang
menyenangkan seperti dewa-dewa, bukan juga mereka kewalahan oleh kehidupan
siksaan, seperti dalam alam bawah (SN 35,135).
Meskipun kehidupan manusia lebih baik daripada
kehidupan binatang dan hidup sebagai dewa, tapi kelahiran kembali di alam yang
lebih tinggi dilihat sebagai hasil tindakan moral sebelumnya. Terlahir di alam
dewa tidak lain merupakan hasil dari moralitas yang baik diantaranya dengan
menghargai semua bentuk. Artinya, untuk mencapai "puncak eksistensi"
terlahir di alam bahagia, seseorang perlu memperlakukan semua makhluk lain
dengan baik, tak peduli seberapa "rendah" makhluk itu (AN 8,39).
Referensi:
Horner. I.B. 2004. The Book of Discipline Vol III (Sutta Vibhanga). Oxford: The Pali
Text Society.
Horner. I.B. 2001. The Book of Discipline Vol V (Cullavagga). Oxford: The Pali Text
Society.
http://www.buddhistethics.org/ diakses 10 Maret 2010
http://suprememastertv.com diakses 30 Mei 2010
No comments:
Post a Comment