Sukhi hontu, kalyanamitta di manapun berada.
Terpujilah para Buddha, para arya, para Bodhisatta.
Ingat ya, Kamu Akan Kena Karmanya!!!!
Jika kalyanamitta membaca kalimat pendek di atas, apalagi melihat tanda serunya empat. Terbayang intonasi dalam pengucapannya. Barang tentu dengan mata melotot, napas terengah-engah atau tangan mengacungkan telunjuk, bak aktor pemeran sinetron kejar tayang. Apapun banyangan yang ada di benak kalyanamitta semua, tulisan tersebut hanya tulisan. Sifat sesungguhnya netral. Batin kita lah yang tidak netral. Bila kita mengerti makna dari kalimat tersebut, apalagi kalimat tersebut ditujukan pada diri kita, sebagai umat awam, sudah barang tentu muncul perasaan (vedana) suka atau tidak suka. Tapi orang yang tidak mengerti makna kalimat tersebut, misalnya si pendengar tidak bisa berbahasa Indonesia, kalimat tersebut akan tetap netral sekalipun orang lain yang mengucapkannya sambil melotot. Si pendengar barang tentu bingung, tidak akan timbul rasa senang atau rasa benci.
Sebagai umat Buddha, istilah karma bukan hal asing. Karena karma adalah salah satu unsur dari ajaran Kesunyataan. Buddha-Dhamma juga bukan agama yang baru lahir di nusantara, Buddha-Dhamma pernah mengalami masa keemasan. Salah satu istilahBuddha-Dhamma yang membumi adalah istilah "KARMA". Mengapa saya katakan "membumi"?
Perhatikan lirik lagu berikut!
Jika kita cermati, karma dalam lagu tersebut sifatnya seperti akibat buruk atau "balasan" yang setimpal (barangkali) untuk pembuat kejahatan. Cobalah kita amati para penggiat medsos yang latah menggunakan istilah "karma". Kita akan melihat bahwa "karma" dalam pengertian mereka kebanyakan hanya untuk sisi-sisi negatif saja. Apakah karma memang seburuk itu?
Sebenarnya apa makna karma?
Dalam KBBI, Karma adalah 1. perbuatan manusia ketika hidup di dunia: 2. hukum sebab-akibat
Nah jelas bukan. Dalam kamus bahasa, karma tidak berarti semua yang buruk-buruk . Hanya saja masyarakat (saya kira) "latah" memakai istilah karma. Setiap merasa dicelakai, disakiti, dirugikan dan sebagainya dalam penerapannya selalu menyeret "karma" sebagai aspek negatif.
Karma dalam Buddha-Dhamma berarti perbuatan, yang baik atau pun yang buruk melalui batin, ucapan dan jasmani/raga. Seseorang yang sudah melakukan karma, entah melalui batin, ucapan arau ragawi akan menjadi sebab bagi timbulnya karmaphala (buah karma). Jika Seseorang membuat karma yang baik, tentu karmaphalanya akan baik. Sebaliknya, jika seseorang melakukan karma yang buruk, maka karmaphala yang akan ia tuai tentu buruk.
Bila kita senang berkata jujur, artinya sedang membuat karma baik. Apa pahalanya? Kita akan mendapat karmaphala yang baik. Bila kita seorang dermawan? Kita juga akan mendapat karmaphala yang baik, bukan? Jadi, karma baik atau pun buruk sama sama akan mengakibatkan timbulnya karmaphala.
Pertanyaan terakhir, mengapa saat orang berbuat baik kita tidak mengatakan misalnya "nanti anda akan tuai karma karena sudah membantu orang-orang lemah". Barangkali kalau berkata begitu tanpa dijelaskan kembali definisi karma sesuai Dharma, orang yang sedang berbuat baik akan langsung mengerutkan kening, karena ia (barangkali) juga "latah" dalam memaknai "karma' hanya untuk sisi-sisi negatif.
Mengapa kita terjebak, mempercayai karma hanya dari sisi-sisi negatif?
Mari berbagi pengetahuan biar "KENA KARMAPHALA".
(Mencari gambar yang menunjukkan karmaphala si pembuat kebajikan, susah juga ya)
No comments:
Post a Comment