Ajaran Buddha bukan sekedar agama biasa yang
disebut “agama Buddha”. Jika kita membatasi hanya sebatas “agama Buddha”, maka
seperti halnya kita mengatakan oksigen yang kita hirup adalah untuk umat Buddha
saja.
Saya lebih suka mengistilahkan Dhamma sebagai ilmu
yang menjelaskan hukum alam yang bersifat kosmis. Anggapan itu tidak berlebihan
jika kita mencoba mempelajari Dhamma kontekstual. Dhamma kontekstual akan
menuntun kita menemukan hukum alam yang tidak bisa digambarkan seperti rumus
matematika 1+1 = 2, melainkan 1 kg + 1 kg = 2 kg dengan jumlah bisa menjadi 2,
3, 4 dst. Jumlahnya bisa berbeda tetapi bobotnya tidak bisa berbeda. Rumus
tersebut adalah gambaran bahwa hukum alam bekerja tidak untuk kita jumlahkan,
pikirkan atau perdebatkan, melainkan untuk kita lihat, rasakan dan timbang
dengan hati nurani. Hal itu hanya bisa kita lakukan dalam kehidupan nyata tanpa
perduli latar belakang agama atau makhluk apapun. Manusia dengan agama apapun
bahkan tidak beragama jika mempraktekan dana, moral yang baik dan menjaga
pikiran baik dijelaskan Buddha dapat masuk surga. Hal itu adalah rumus yang
luar biasa bagi kita yang mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menerima
“kebenaran” di atas “pembenaran”. Di antara orang-orang seperti anda yang
mengakui kebenaran kosmis ini juga ada seorang legenda pengetahuan dunia yang
mengakui hal yang sama, yaitu:
“Agama masa depan merupakan suatu
agama kosmis. Ia harus melampaui suatu ‘Tuhan yang berpribadi’ dan menghindari
dogma – dogma dan teologi. Meliputi baik hal yang bersifat natural maupun
spiritual, ia harus berdasarkan pada pengertian religius yang timbul dari
pengalaman berbagai hal, yang natural dan spiritual, sebagai suatu kesatuan
yang berarti. Buddhisme memenuhi penjabaran ini.”
Yang menarik dari
pendapat Albert
Einstein tentang agama Buddha bagi
saya adalah agama harus melampaui suatu “tuhan pribadi” dan menghindari
dogma-dogma. Hal itulah yang menurut saya sebagai prasyarat kita untuk memahami
ajaran kosmis Dhamma.
YM. Ajahn Chah menjelaskan, ajaran-ajaran Buddha
adalah tepat, mudah dimengerti, dan sederhana, tetapi sulit bagi seseorang yang
mulai mempraktekkannya karena pengetahuannya tidak mampu mencapai ajaran-ajaran
tersebut. Sama halnya seperti sebuah lubang: Ratusan dan ribuan orang akan
mengeluh bahwa lubang tersebut terlalu dalam karena mereka tidak dapat mencapai
dasarnya. Hampir tidak mungkin akan ada seseorang yang berkata bahwa masalahnya
adalah lengannya yang terlalu pendek. Saya bisa artikan lengan yang terlalu
pendek ini seperti orang yang mempunyai pikiran sempit dan terbatas.
Kita harus
“mengosongkan gelas terlebih dahulu sebelum kita mengisi dengan air yang baru”.
Kita harus menanggalkan teori-teori kita tentang teori agama dan mulailah
memahami Dhamma dari kehidupan nyata. Dalam kenyataan hidup kita bisa menemukan
bahwa “rumus hukum alam” tidak selalu seperti 1+1 = 2. Contohnya ketika kita
sudah berusaha sering berdana tetapi harapan untuk menjadi kaya tidak kunjung
tercapai. Jika itu terjadi kita bisa kecewa dan menyalahkan segalanya termasuk
Tuhan sekalipun.
Sang Buddha
mengajarkan kita untuk meninggalkan segala bentuk kejahatan. Kita melewati
bagian ini dan langsung menuju pada berbuat kebajikan tanpa meninggalkan
kejahatan. Ini sama halnya dengan menampung tetesan air dengan mangkok terbalik
atau dengan mengatakan bahwa lubangnya terlalu dalam sehingga tangan anda tidak
mencapai ujung lubang. Sangat sedikit orang yang mengatakan bahwa lengannyalah
yang terlalu pendek.
Mari kita mulai
mempraktekan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menemukan arti
rasa yang muncul dari hati nurani dari melihat dan mengalami sendiri. Semoga
tulisan saya bermanfaat. Jika anda makan pisang tentunya tidak perlu memakan
kulitnya. Demikian dengan kekeliruan dan kesalahan saya anggaplah seperti kulit
pisang itu.
Sothi hotu,…
No comments:
Post a Comment