Thursday, 8 December 2016

RUMUS AGAMA KOSMIS



Ajaran Buddha bukan sekedar agama biasa yang disebut “agama Buddha”. Jika kita membatasi hanya sebatas “agama Buddha”, maka seperti halnya kita mengatakan oksigen yang kita hirup adalah untuk umat Buddha saja.


Saya lebih suka mengistilahkan Dhamma sebagai ilmu yang menjelaskan hukum alam yang bersifat kosmis. Anggapan itu tidak berlebihan jika kita mencoba mempelajari Dhamma kontekstual. Dhamma kontekstual akan menuntun kita menemukan hukum alam yang tidak bisa digambarkan seperti rumus matematika 1+1 = 2, melainkan 1 kg + 1 kg = 2 kg dengan jumlah bisa menjadi 2, 3, 4 dst. Jumlahnya bisa berbeda tetapi bobotnya tidak bisa berbeda. Rumus tersebut adalah gambaran bahwa hukum alam bekerja tidak untuk kita jumlahkan, pikirkan atau perdebatkan, melainkan untuk kita lihat, rasakan dan timbang dengan hati nurani. Hal itu hanya bisa kita lakukan dalam kehidupan nyata tanpa perduli latar belakang agama atau makhluk apapun. Manusia dengan agama apapun bahkan tidak beragama jika mempraktekan dana, moral yang baik dan menjaga pikiran baik dijelaskan Buddha dapat masuk surga. Hal itu adalah rumus yang luar biasa bagi kita yang mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menerima “kebenaran” di atas “pembenaran”. Di antara orang-orang seperti anda yang mengakui kebenaran kosmis ini juga ada seorang legenda pengetahuan dunia yang mengakui hal yang sama, yaitu:
“Agama masa depan merupakan suatu agama kosmis. Ia harus melampaui suatu ‘Tuhan yang berpribadi’ dan menghindari dogma – dogma dan teologi. Meliputi baik hal yang bersifat natural maupun spiritual, ia harus berdasarkan pada pengertian religius yang timbul dari pengalaman berbagai hal, yang natural dan spiritual, sebagai suatu kesatuan yang berarti. Buddhisme memenuhi penjabaran ini.”
(Albert Einstein)


Yang menarik dari pendapat Albert Einstein tentang agama Buddha bagi saya adalah agama harus melampaui suatu “tuhan pribadi” dan menghindari dogma-dogma. Hal itulah yang menurut saya sebagai prasyarat kita untuk memahami ajaran kosmis Dhamma.

YM. Ajahn Chah menjelaskan, ajaran-ajaran Buddha adalah tepat, mudah dimengerti, dan sederhana, tetapi sulit bagi seseorang yang mulai mempraktekkannya karena pengetahuannya tidak mampu mencapai ajaran-ajaran tersebut. Sama halnya seperti sebuah lubang: Ratusan dan ribuan orang akan mengeluh bahwa lubang tersebut terlalu dalam karena mereka tidak dapat mencapai dasarnya. Hampir tidak mungkin akan ada seseorang yang berkata bahwa masalahnya adalah lengannya yang terlalu pendek. Saya bisa artikan lengan yang terlalu pendek ini seperti orang yang mempunyai pikiran sempit dan terbatas.

Kita harus “mengosongkan gelas terlebih dahulu sebelum kita mengisi dengan air yang baru”. Kita harus menanggalkan teori-teori kita tentang teori agama dan mulailah memahami Dhamma dari kehidupan nyata. Dalam kenyataan hidup kita bisa menemukan bahwa “rumus hukum alam” tidak selalu seperti 1+1 = 2. Contohnya ketika kita sudah berusaha sering berdana tetapi harapan untuk menjadi kaya tidak kunjung tercapai. Jika itu terjadi kita bisa kecewa dan menyalahkan segalanya termasuk Tuhan sekalipun.

Sang Buddha mengajarkan kita untuk meninggalkan segala bentuk kejahatan. Kita melewati bagian ini dan langsung menuju pada berbuat kebajikan tanpa meninggalkan kejahatan. Ini sama halnya dengan menampung tetesan air dengan mangkok terbalik atau dengan mengatakan bahwa lubangnya terlalu dalam sehingga tangan anda tidak mencapai ujung lubang. Sangat sedikit orang yang mengatakan bahwa lengannyalah yang terlalu pendek.

Mari kita mulai mempraktekan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menemukan arti rasa yang muncul dari hati nurani dari melihat dan mengalami sendiri. Semoga tulisan saya bermanfaat. Jika anda makan pisang tentunya tidak perlu memakan kulitnya. Demikian dengan kekeliruan dan kesalahan saya anggaplah seperti kulit pisang itu.

Sothi hotu,…


No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”