Sothi
hotu,…
Kali
ini saya mencoba menterjemahkan artikel menarik tentang proses otak belajar
menurut buddhisme dipadukan dengan ilmu pengetahuan moderen. Pengetahuan ini penting
untuk kita sebagai pendidik ataupun peserta didik. Hal ini akan membantu
menemukan kepercayaan diri bagi kita untuk mematahkan anggapan sempit seperti
pelebelan seorang anak dengan kata “bakat” atau “tidak bakat” dan “pintar” atau
“bodoh”.
Meskipun
dibagi oleh jurang lebih dari dua ribu tahun, Buddhisme kuno dan ilmu saraf
modern yang telah mencapai kesimpulan yang sangat mirip tentang cara pikiran
manusia beroperasi.
Salah
satu doktrin inti dari agama Buddha kuno adalah konsep bahwa tidak ada yang
permanen, dan alam semesta adalah keadaan yang selalu berubah terus-menerus.
Ini termasuk pikiran manusia itu sendiri, yang menurut ajaran Buddha berada dalam keadaan fluks konstan dan dengan demikian tanpa diri permanen.
Penelitian terbaru dari bidang neuroscience telah menguatkan penjelasan pengetahuan yang dicapai oleh Buddha sekitar dua ribu lima ratus tahun yang lalu.
hasil penelitian neuroscience baru-baru ini yang diterbitkan dalam Tren Cognitive Science menunjukkan pada afinitas antara doktrin Buddha dan apa yang ilmu pengetahuan tunjukkan kepada kita tentang otak manusia. Dalam penelitian tersebut menurut penulis menyatakan:
Ini termasuk pikiran manusia itu sendiri, yang menurut ajaran Buddha berada dalam keadaan fluks konstan dan dengan demikian tanpa diri permanen.
Penelitian terbaru dari bidang neuroscience telah menguatkan penjelasan pengetahuan yang dicapai oleh Buddha sekitar dua ribu lima ratus tahun yang lalu.
hasil penelitian neuroscience baru-baru ini yang diterbitkan dalam Tren Cognitive Science menunjukkan pada afinitas antara doktrin Buddha dan apa yang ilmu pengetahuan tunjukkan kepada kita tentang otak manusia. Dalam penelitian tersebut menurut penulis menyatakan:
“self-processing
in the brain is not instantiated in a particular region or network, but rather
extends to a broad range of fluctuating neutral processes that do not appear to
be self specific.”
("Pemrosesan
data diri di otak tidak dipakai di daerah tertentu atau jaringan, melainkan
meluas ke berbagai berfluktuasi proses netral yang tidak muncul untuk bisa lebih
spesifik disebut diri.")
Konsep
lain neuroscience yang juga
sependapat dengan gagasan Buddha perubahan konstan neuroplastisitas, yang menegaskan bahwa fungsi kognitif sangat
dapat diubah, dalam beberapa kasus bahkan juga termasuk pada orang dewasa.
Kesimpulan
ini tentang sifat berubah dari otak memiliki implikasi yang mendalam untuk
memahami bagaimana orang memperoleh pengetahuan dan kemampuan baru, serta cara
mengajar terbaik atau melatih mereka.
Jika
Buddhisme dan neuroscience benar dalam menyatakan pikiran adalah dalam keadaan
fluks konstan, pelatih dan pelatih harus menyadari bahwa ketika mengajar siswa
mereka tidak hanya menanamkan keterampilan baru, mereka juga secara fundamental
mengubah cara otak mereka beroperasi.
Dari
artikel ini menunjukan kita agar yakin terhadap proses perubahan pikiran kita
yang bisa terus berkembang. Tidak seharusnya kita memberi lebel pada diri kita
ataupun orang lain dengan kata “berbakat” atau “tidak bakat” dan “pintar” atau “bodoh”.
Hal itu akan membatasi kita. Contohnya adalah seekor anjing yang bisa menuruti
perintah kita walaupun binatang. Semua hanya butuh proses, dan dalam prosesnya
kita perlu menyempurnakan pembelajaran kita dengan cara yang tepat. Semoga bermanfaat
dan maaf jika ada kekeliruan dalam penterjemahaan ataupun berpendapat.
Sothi
hotu,…
No comments:
Post a Comment