Saturday 10 December 2016

BAGAIMANA OTAK BELAJAR MENURUT PANDANGAN BUDDHISME


Sothi hotu,…

Kali ini saya mencoba menterjemahkan artikel menarik tentang proses otak belajar menurut buddhisme dipadukan dengan ilmu pengetahuan moderen. Pengetahuan ini penting untuk kita sebagai pendidik ataupun peserta didik. Hal ini akan membantu menemukan kepercayaan diri bagi kita untuk mematahkan anggapan sempit seperti pelebelan seorang anak dengan kata “bakat” atau “tidak bakat” dan “pintar” atau “bodoh”.


Meskipun dibagi oleh jurang lebih dari dua ribu tahun, Buddhisme kuno dan ilmu saraf modern yang telah mencapai kesimpulan yang sangat mirip tentang cara pikiran manusia beroperasi.


Salah satu doktrin inti dari agama Buddha kuno adalah konsep bahwa tidak ada yang permanen, dan alam semesta adalah keadaan yang selalu berubah terus-menerus.

Ini termasuk pikiran manusia itu sendiri, yang menurut ajaran Buddha berada dalam keadaan fluks konstan dan dengan demikian tanpa diri permanen.

Penelitian terbaru dari bidang neuroscience telah menguatkan penjelasan pengetahuan yang dicapai oleh Buddha sekitar dua ribu lima ratus tahun yang lalu.

hasil penelitian neuroscience baru-baru ini yang diterbitkan dalam Tren Cognitive Science menunjukkan pada afinitas antara doktrin Buddha dan apa yang ilmu pengetahuan tunjukkan kepada kita tentang otak manusia. Dalam penelitian tersebut menurut penulis menyatakan:
  
“self-processing in the brain is not instantiated in a particular region or network, but rather extends to a broad range of fluctuating neutral processes that do not appear to be self specific.”

("Pemrosesan data diri di otak tidak dipakai di daerah tertentu atau jaringan, melainkan meluas ke berbagai berfluktuasi proses netral yang tidak muncul untuk bisa lebih spesifik disebut diri.")

Konsep lain neuroscience yang juga sependapat dengan gagasan Buddha perubahan konstan neuroplastisitas, yang menegaskan bahwa fungsi kognitif sangat dapat diubah, dalam beberapa kasus bahkan juga termasuk pada orang dewasa.

Kesimpulan ini tentang sifat berubah dari otak memiliki implikasi yang mendalam untuk memahami bagaimana orang memperoleh pengetahuan dan kemampuan baru, serta cara mengajar terbaik atau melatih mereka.

Jika Buddhisme dan neuroscience benar dalam menyatakan pikiran adalah dalam keadaan fluks konstan, pelatih dan pelatih harus menyadari bahwa ketika mengajar siswa mereka tidak hanya menanamkan keterampilan baru, mereka juga secara fundamental mengubah cara otak mereka beroperasi.

Dari artikel ini menunjukan kita agar yakin terhadap proses perubahan pikiran kita yang bisa terus berkembang. Tidak seharusnya kita memberi lebel pada diri kita ataupun orang lain dengan kata “berbakat” atau “tidak bakat” dan “pintar” atau “bodoh”. Hal itu akan membatasi kita. Contohnya adalah seekor anjing yang bisa menuruti perintah kita walaupun binatang. Semua hanya butuh proses, dan dalam prosesnya kita perlu menyempurnakan pembelajaran kita dengan cara yang tepat. Semoga bermanfaat dan maaf jika ada kekeliruan dalam penterjemahaan ataupun berpendapat.

Sothi hotu,…
   

No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”