Sothi hotu,…
Kali ini saya akan berbagi perasaan tentang sesuatu yang wajar, sering
terjadi & ada di sekitar kita tetapi hal itu tetap saja membuat kita takut
dan sedih. Hal itu juga saya alami belum lama ini, dan saya menulis ini juga
untuk mengenang almarhum ayah saya yang 49 hari lalu telah meninggal. Peristiwa
itu mengingatkan saya kitika kita dalam kesibukan hidup melihat atau mendengar
orang tua seseorang meninggal, kita seolah hanya bisa mengucap “oh meninggal”, “saya
turut berduka”, tapi tanpa menyadari itu adalah pengingat bagi kita. Jujur saya
sempat membayangkan jika suatu saat orang tua kita meninggal seperti apa,
tetapi sering kali saya berusaha menolak pikiran-pikiran itu untuk muncul. Hal itu
saya lakukan agar saya tidak menderita & sedih, tetapi ternyata itu salah.
Kesibukan memenuhi keinginan untuk menikmati hidup adalah sebab kita
tidak sadar & siap menghadapi raja kematian. Kesibukan itu bisa diartikan
saat kita menderita bertubi-tubi menyibukan kita ataupun saat kebahagiaan
membuai kita. Untuk siap menghadapi raja kematian kita sebagai umat Buddha
sangat beruntung Karena telah diwarisi ilmu luar biasa oleh Buddha. Apakah itu
jaminan? Jawabannya “TIDAK”. Saya sendiri adalah guru agama Buddha, tetapi saya
tidak munafik untuk mengatakan saya tidak sedih & menangis saat ayah saya
meninggal. Kesedihan itu akan semakin komplit jika ditengah kesibukan melalui
penderitaan hidup. Hemmmmm rasanya MANTAP! Tapi kamu tak harus menjobanya,
walaupun bisa saja tak diminta tiba-tiba menghampirimu. Kapan itu? Kapanpun bisa!
Sehingga kita harus selalu siap, karna kita bukan seekor ayam, kita manusia
yang sudah diberitahu oleh Buddha.
YM. Ajahn Chah memberikan perumpamaan bahwa kita hidup seperti seekor
ayam yang tidak tahu apa yang sedang terjadi. Di pagi hari, ayam akan membawa
anakanaknya keluar untuk mengais mencari makanan. Pada malam hari, mereka
kembali untuk tidur di kandang. Keesokan paginya, mereka akan keluar untuk mencari
makanan lagi. Si pemilik akan menaburkan beras untuk mereka makan setiap hari,
tetapi ayam-ayam tersebut tidak mengetahui mengapa si pemilik memberi mereka
makan. Si ayam dan sang pemilik berpikir dalam cara yang berbeda.
Pemilik berpikir, “Berapa berat ayam ini?” Si ayam, pikirannya,
terpikat pada makanan. Ketika sang pemilik mengangkatnya untuk ditimbang, ia
berpikir sang pemilik sedang menunjukkan kasih sayang.
Kita juga, tidak mengetahui apa yang sedang terjadi: darimana kita
berasal, berapa tahun lagi kita akan hidup, kemana kita akan pergi, siapa yang
akan mengantar kita ke sana. Kita tidak mengetahui ini semua sama sekali.
Raja kematian adalah seperti sang pemilik ayam.
Kita tidak mengetahui kapan dia akan menangkap kita, karena kita terpikat pada
penglihatan, suara, penciuman, rasa, sensasi indra peraba, dan buah-buah
pikiran. Kita tidak sadar bahwa kita semakin bertambah tua. Kita tidak punya
kesadaran untuk merasa cukup.
Dari pengalaman saya, perasaan sedih itu masih bisa
saya toleransi asalkan tidak berlarut-larut. Sedih yang berlarut-larut sama
halnya seperti ketika jatuh tersandung batu kemudian kamu marah dan menendang
batu itu. Kesedihan bisa berlipat ganda jika kita tidak segera sadar. Setelah sadar
seperti halnya ketika kita sadar adanya raja kematian, sadar Ia datang dan itu
akan berlalu.
Sothi hotu,..
No comments:
Post a Comment