Agama
Buddha dan Gender
Oleh:
Nok Sriyanti (07.1.148)
Pengertian Gender
Gender adalah pembagian peran dan tanggung-jawab
laki-laki dan perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Peran dan
tanggung jawab perempuan dan laki-laki meliputi berbagai aspek kehidupan,
seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pembagian peran dan tanggung
jawab antara perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang dalam berbagai sendi
kehidupan, menimbulkan perdebatan diantara para pemikir, terutama para feminis.
Diskriminasi Gender
Diskriminasi
gender adalah pembedaan, penyingkiran atau pembatasan yang dilakukan
berdasarkan alasan gender, sehingga mengakibatkan penolakan pengakuan hak
asasi, dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta hak dasarnya dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya (Priastana (ed), 2004: 7). Sedangkan
Lin Chew (dalam Tsomo, 2004:42) mengatakan bahawa perempuan sering diberi ruang
dan aturan khusus; perempuan dikeluarkan dari esensi atau posisi sentral dan
otoritas. Kedua pendapat memiliki esensi yang sama yaitu adanya suatu sikap
yang sengaja dilakukan oleh masyarakat maupun budaya untuk menyisihkan gender
yang lain. Permasalah diskriminasi gender telah diserukan oleh para feminis
berabad-abad yang lalu hingga saat ini pun masih berlangsung. Pada zaman
Brahmanisme kuno kedudukan perempuan dalam masyarakat sangat rendah setara
rendahnya dengan kasta Sudra. Kelahiran sebagai perempuan dianggap kutukan dan
menjadi celaan masayarakat. Pada zaman ini, pembunuhan terhadap bayi perempuan
menjadi wajar. Jika bayi perempuan dibesarkan
orang tuanya maka perempuan harus menikah dan akan mendapat kehormatan
jika melahirkan keturunan laki-laki. Hidup melajang atau menjanda juga dianggap
tidak pantas. Perempuan juga tidak mendapat tempat dalam kegiatan religious
karena permpuan dianggap tidak suci. Anggapan ketidaksucian perempuan adalah
secara biologis perempuan harus mengalami menstruasi, mengandung dan melahirkan
anak. Dalam kitab Therigatha, perempuan-perempuan memberikan kesaksian akan
pentingnya kelahiran anak laki-laki seperti yang dikisahkan oleh Kisa Gotami.
Kematian anak laki-laki bagi Kisa Gotami akan menyebabkan dirinya tidak
dihargai oleh keluarga. Dalam kisah lain, Raja Pasenadi merasakan kesedihan
karena istrinya melahirkan bayi perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan
dalam tradisi Brahmanisme telah dikultuskan dalam kitab Manusmrti. Oleh karena kitab suci memiliki otoritas penuh, maka
perempuan selama berabad-abad dibiarkan dalam kondisi tertekan dan menjadi
masyarakat lapisan kedua setelah laki-laki.
Tetapi
Tsomo (2004:5) kurang sependapat dengan Priastana maupun dalam kitab Manusmrti
karena diskriminasi sepetinya sengaja dilakukan. Padahal kenyataanya, tanpa disadari
diskriminasi gender juga dapat terjadi.
Menurut Tsomo banyak keluarga Buddhis di Asia tanpa sadar telah
melakukan diskriminasi terhadap anak-anak dalam keluarga. Banyak orang tua yang
menyatakan telah memberikan perlakuan yang sama terhadap anak perempuan dan
laki-lakinya. Tetapi pada prakteknya, para orang tua memberikan pembedaan dalam
memperlakukan anak-anak. Setelah dewasa, pada umunya anak perempuan akan
menikah, melahirkan anak dan hidup tergantung pada suami, sehingga banyak orang
tua yang merasa tidak perlu memberikan pendidikan tinggi pada anak perempuan.
Sedangkan anak laki-laki dianggap memikul tanggung jawab yang besar dalam
keluarga sehingga anak laki-laki lebih diprioritaskan dalampendidikan. Oleh
sebab itu Tsomo menggunakan istilah “imbalance
gender”
Banyak
orang tua yang mengatakan bahwa mereka memberikan perlakuan yang sama terhadap
anak perempuan dan laki-laki. Tetapi banyak orang tua yang secara tidak sadar
telah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki.
Sebagai seorang perempuan yang memiliki kodrat sebagai ibu dan melahirkan anak,
banyak orang tua di negara-negara Buddhis yang menomorduakan pendidikan bagi
anak perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki dianggap memiliki tugas dan tanggung
jawab yang lebih besar terhadap keluarga sehingga anak laki-laki mendapatkan
kesempatan belajar yang lebih tinggi.
Masalah
kesenjangan pendidikan anak perempuan dan laki-laki Buddhis juga dialami oleh
para perempuan Buddhis dalam lingkup kehidupan keviharaan. Di Thailand,
perempuan yang menjalani kehidupan sebagai Mae Chii kurang mendapat dukungan
dan penghormatan.permepuan dinomor duakan setelah laki-laki. Meskipun sama-sama
belum ditahbiskan penuh oleh Sangha, samanera
lebih dihormati dan didukung oleh umat. Para Mae Chii sekalipun bias
melaksanakan hidup selibat, tetapi mereka tidak akan menadapat kesempatan untuk
ditahbisakan penuh layaknya samanera. Ketika seorang samanera atau bhikkhu
dating ke Vihara, umat biasanya antusias untuk melayani. Sedangkan perlakuan
demikian tidak akan ditemukan bagi para samaneri. Umat pad umunya masih
berpandangan bahwa para samanera dan bhikkhu adalah lading yang subur untuk
menanamkan kebajikan. Umat menganggap sila yang dijalankan para bhikkhu dan
samanera lebih banyak di bandingkan para Mae Chii. Padahal banyak sedikitnya
sila yang dijalankan belum tentu menjamin kualitas kebajikan seseorang.
Mengapa Mae Chii Tidak
Dapat Ditahbiskan Menjadi Bhikkhuni?
Meskipun Vinaya
Bhikkhuni dari enam aliran Buddhisme masih bertahan, hingga saat ini
satu-satunya aliran Buddhisme yang masih memiliki silsilah bhikkhuni hanya dari aliran Darmagupta. Patimokha
Bhikkhuni dari Darmagupta hingga saat ini masih dipraktekan di China, Korea, Tiwan
dan Vietnam. Biarawati Barat juga mengambil silsilah Darmagupta untuk dipraktekan. Setelah lenyapnya Sangha Bhikkhuni di
Sri Lanka abad ke-11, maka perempuan tidak mendapat porsi yang setara dengan
laki-laki untuk belajar dan mempraktekan Dhamma. Dengan lenyapnya Sangha
Bhikkhuni Theravada maka garis silsilah bhikkhuni oleh kelompok tradisionalis
konservatid Theravada dianggap terputus sehingga Sangha Bhikkhuni di
Negara-negara Theravada tidak mungkin dibangkitkan kembali. Sesuai dengan
prosedur Vinaya, seorang bhikkhuni harus melalui dua kali upasampada dari
Sangha Bhikkhuni terlebih dahulu, kemudian upasampada Sangha Bhikkhu, maka
untuk mendapatkan garis silsislah dari Theravada dianggap tidak mungkin (Tsomo, 2004: 53). Sedangkan kelompok modern progresif Theravada
berpandangan bahwa Sangha Bhikkhuni Theravada dapat dibangkitkan kembali
melalui Sanghakamma. Tetapi untuk saat ini, masih banyak yang kontra terhadap
pemunculan kembali Sangha bhikkhuni. Akibatnya bhikkhuni yang mengatasnamakan
dirinya sebagai bhikkhuni dari silsilah Theravadda dianggap tidak sah seperti
yang dialami oleh Bhikkhuni Dhammananda. Mereka yang telah menjadi bhikkhuni, pada
umumnya mengambil silsilah dari Dharmagupta,tetapi Theraavada tidak mau
mengakuinya.
Mengapa Buddha Menetapkan Atthagarudhamma?
Delapan aturan keras (atthagarudhamma) yang
ditetapkan Buddha banyak menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok pro,
aturan itu ditetapkan Buddha dengan pertimbangan situasi politik, keamanan,
social dan budaya masyarakat India.
Bhikkhuni pertama yang di upasampada adalah dari kasata ksatria,sddangkan
bhikkhu-bhikkhu berasal dari berbagai kasta. Sehingga untuk menghindari sikap
tidak hormat para bhikkhuni terhdap para bhikkhu, maka Buddha menetapkan aturan
pertama. Alas an laina adalah para bhikkhu lebih dahulu diupasampada sehingga
menjadi wajar ketika bhikkhuni harus menghormat bhikkhu meskipun telah
ditahbiskan selama seratus tahun. Pada zaman Buddha, bhikkhuni yang tinggal
dihutan sarat dengan keamanan, para bhikkhuni dapat menjadi sasaran pemerkosaan
sehingga Buddha menetapkan aturan bahwa seorang bhikkhuni tidak boleh vassa
tanpa ada bhikkhu. Sehingga agar Sangha
Bhikkhuni dapat diterima dengan baik, maka Buddha menetapkan delan aturan itu.
Sedangkan bagi kelompok kontra,
atthagarudhamma bukan sebagai kata-kata Buddha. Atthagarudhamma dianggap muncul
pada konsili pertama. Aturan-aturan yang ditetapkan dianggap tidak logis.
Vinaya ditetapkan setelah ada kasus, sedangkan penetapan aturan ini dilakukan
Buddha sebelum Sangha Bhikkhuni belum berdiri. Untuk aturan pertama, menjadi
tidak relevan jika didasarkan pada adalasan kualitas kebajikannya. Bagaimana
seorang bhikkhuni yang telah mencapai arahat harus menghormat seorang bhikkhu
yang baru ditahbiskan satu hari dan kebajikannya masih rendah? Aturan yang
berkenaan dengan pavarana juga dianggap ganjil. Mengapa bhikkhuni harus meminta
nasehat kepada bhikkhu. Padahal bhikkhupun belum tentu moralitasnya lebih baik
dari bhikkhuni. Sedangkan bhikkhuni tidak berhak menasehati bhikkhu. Berarti
sekalipun bhikkhu melakukan kesalahan, seorang bhikkhuni tidak boleh anagkat
bicara baik untuk menasehati sesuai dengan Dhamma. Seorang bhikkhuni juga tidak
boleh menghina seorang bhikkhu, apakah berarti bhikkhu dapat dengan bebas
menghina bhikkhuni. Jika alas an penetapa aturan ini, karena dikhawatirkan
adanya hubungan seks para bhikkhuni dan bhikkhu, maka tidak relevan. Tidak ada
Sangha Bhikkhunipun banyak bhikkhun yang lepas jubah karena tertarik pada umat.
Selain itu imajinasi seks bukan muncul karena perempuan, tetapi muncul karena
diri sendiri. Jika dengan masuknya perempuan ke dalam Sangha dianggap
memperpendek umur Dhamma, akan menajdi tidak relevan karena Mahayana yang mana
masih berdiri Sangha bhikkhuni, perkembanganya justru lebih baik daripada
Theravada.
Pandangan Negatif
Terhadap Perempuan
Meskipun Buddha mengakui egalitarianism, tetapi pada kotbah
tertentu Buddhisme menganggap bahwa kelahiran sebagai perempuan adalah buah kamma buruk. Derajat kelahiran perempuan
lebih rendah daripada kelahiran laki-laki. Perempuan dianggap memiliki
kecenderungan serakah dan malas seperti anak-anak mara. Dalam Sagatha vagga,
perempuan dipersonifikasikan sebagai mara penggoda yang menghalangi pembebasan
agung. Personifikasi sebagai mara juga ditemukan dalam Soma sutta. Perempuan dianggap tidak punya pendirian, penuh nafsu
birahi, suka bertengkar, dan jahat. Dalam
Agañña sutta, perempuan
dipandang sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab atas jatuhnya moral yang
disebabkan oleh nafsu. Umur Dhamma akan
berkurang 500 tahun dengan masuknya Sangha Bhikkhuni. Hal ini tidak relevan
karena Mahayana justru lebih dapat
berkembang dibanding Theravada padahal Sangha Bhikkhuni dalam tradisi Mahayana
masih terpelihara. Dalam
Bahudhatuka sutta, Majjhima Nikaya, perempuan dikatakan memiliki lima hambatan
yaitu tidak akan mampu menjadi Raja
Brahma, Raja Sakka, Raja Mara, Raja Cakkavatti dan Buddha. Dalam sutta ini,
dinyatakan dengan jelas bahwa perempuan tidak mungkin dapat menjadi Buddha.
Pandangan Mahayana juga menyatakan bahwa untuk mencapai kebudhaan, seseorang
harus terlahir sebagai laki-laki. Perempuan disudutkan sebagai penghambat
kelestarian Dhamma seperti yang dituliskan dalam Vinaya, Buddha
mengatakan bahwa masuknya perempuan ke dalam Sangha akan mengurangi lima ratus
tahun umur Dhamma.dalam
Cakkavattisihanada sutta, perempuan dianggap sebagai salah satu harta bagi Raja
Cakkavatti. Dalam sutta yang sama, salah satu tanda manusia agung juga merujuk
pada laki-laki (purusa) bukan perempuan. Dalam Dhammapada dikatakan bahwa kelakuan
buruk adalah noda bagi perempuan. Permepuan dianggapsebagai makhlukyang suka
berseingkuh dengan mengibaratkan seperti sungai, jalan, toko minuman, rumah
singgah, pot air dipinggir jalan dan berhubungan dengan semua orang.
Pandangan Positif Agama
Buddha Terhadap Perempuan
Dalam
Buddhisme, persamaan gender telah diawali sejak terbentuknya Sangha Bhikkhuni
pada tahun kelima Pangeran Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Diterimanya
perempuan ke dalam Sangha, perempuan menjadi leluasa untuk belajar dan
mempraktekkan Dhamma seperti halnya laki-laki yang lebih awal ditahbiskan.
Beberapa teks Buddhisme telah menunjukkan dan memberikan citra yang baik
terhadap perempuan. Usaha yang dilakukan Mahapajapati Gotami serta lima ratus
perempuan yang suaminya telah menjadi bhikkhu tidak sis-sia. Banyak diantara
perempuan-perempuan seperjuangan Mahapajapati Gotami dapat mencapai tingkat
kesucian. Kisah-kisah pencapian kesucian
para perempuan ditunjukan dalam kitab-kitab seperti Therigatha, Bhikkhuni
Samyutta dan Theripadana. Berdasarkan kisah-kisah yang ada, banyak perempuan
yang merasakan manfaat hadirnya Buddha dalam kehidupan perempuan. Para
perempuan yang pada awalnya dianggap sebagai masayarakat kelas kedua setelah
laki-laki oleh tradisi Brahmanisme telah merasakan kebebasan luar biasa, baik
segi sosial maupun spiritual. Perempuan yang dianggap tidak memiliki
kebijaksaan lebih rendah dari laki-laki terbukti mampu mencapai tingkat kesucian
seperti kisah Soma. Perempuan tidak lagi mendapat tekanan-tekanan sosial karena
tidak menikah atau melahirkan anak laki-laki seperti kisah Gotami. Kisah-kisah
yang diceritakan para Theri menunjukkan bahwa dalam tradisi Brahmansime
kelahiran anak laki-lak jauh lebih penting daripada anak perempuan. Menjadi tidak
mengherankan ketika Kisagotami yang berasal dari kasta rendah menikah dengan
saudagar kaya dan anak laki-lakinya meningga, dia sangat takut akan direndahkan
keluarga suaminya. Perempua dalam tradisi Brahamansme dihargai jika mampu
memberikan keturunan laki-laki. Dengan hadirnya Buddha, perempuan tidak terkat
untuk memikul kewajiban melahirkan anak laki-laki. Pada suatu kesempatan Buddha
memberikan nasehat kepada Raja Pasenadi yang bersedih atas kelahiran anak
perempuannya dengan mengatakan perempuan bisa lebih mulia daripada anak
laki-laki. Buddha juga mengatakan bahwa kemualiaan seseorang tidak ditentukan
oleh jenis kelamin atau kastanya, akan tetapi ditentukan oleh moralitasnya. Dalam
Dhammapada, Buddha mengatakan bahwa seseorang menajdi mulia bukan karena ras,
jenis kelamin dan kastanya, tetapai karena moralitasnya. Buddha menegaskan
bahwaasetiap orang berhak untuk mencapai pemebebasan. Pencapaian kearahatan
adalah universal.
Referensi:
Cambel, Joseph (Ed). 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kabilsingh, Chatsumara. 1991. Thai Women in Buddhism. California:Parralax Press
Tsomo,
K.L. 2004. Buddhist Woman and Social
Justice: Ideal, Challenges and Achievement. New York: State University of
New York Press.
No comments:
Post a Comment