Wednesday, 27 June 2012

Agama Buddha dan Gender


Agama Buddha dan Gender
Oleh:
Nok Sriyanti (07.1.148)

Pengertian Gender
Gender adalah pembagian peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pembagian peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang dalam berbagai sendi kehidupan, menimbulkan perdebatan diantara para pemikir, terutama para feminis.
Diskriminasi Gender
Diskriminasi gender adalah pembedaan, penyingkiran atau pembatasan yang dilakukan berdasarkan alasan gender, sehingga mengakibatkan penolakan pengakuan hak asasi, dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta hak dasarnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya (Priastana (ed), 2004: 7). Sedangkan Lin Chew (dalam Tsomo, 2004:42) mengatakan bahawa perempuan sering diberi ruang dan aturan khusus; perempuan dikeluarkan dari esensi atau posisi sentral dan otoritas. Kedua pendapat memiliki esensi yang sama yaitu adanya suatu sikap yang sengaja dilakukan oleh masyarakat maupun budaya untuk menyisihkan gender yang lain. Permasalah diskriminasi gender telah diserukan oleh para feminis berabad-abad yang lalu hingga saat ini pun masih berlangsung. Pada zaman Brahmanisme kuno kedudukan perempuan dalam masyarakat sangat rendah setara rendahnya dengan kasta Sudra. Kelahiran sebagai perempuan dianggap kutukan dan menjadi celaan masayarakat. Pada zaman ini, pembunuhan terhadap bayi perempuan menjadi wajar. Jika bayi perempuan dibesarkan  orang tuanya maka perempuan harus menikah dan akan mendapat kehormatan jika melahirkan keturunan laki-laki. Hidup melajang atau menjanda juga dianggap tidak pantas. Perempuan juga tidak mendapat tempat dalam kegiatan religious karena permpuan dianggap tidak suci. Anggapan ketidaksucian perempuan adalah secara biologis perempuan harus mengalami menstruasi, mengandung dan melahirkan anak. Dalam kitab Therigatha, perempuan-perempuan memberikan kesaksian akan pentingnya kelahiran anak laki-laki seperti yang dikisahkan oleh Kisa Gotami. Kematian anak laki-laki bagi Kisa Gotami akan menyebabkan dirinya tidak dihargai oleh keluarga. Dalam kisah lain, Raja Pasenadi merasakan kesedihan karena istrinya melahirkan bayi perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan dalam tradisi Brahmanisme telah dikultuskan dalam kitab Manusmrti. Oleh karena kitab suci memiliki otoritas penuh, maka perempuan selama berabad-abad dibiarkan dalam kondisi tertekan dan menjadi masyarakat lapisan kedua setelah laki-laki.
Tetapi Tsomo (2004:5) kurang sependapat dengan Priastana maupun dalam kitab Manusmrti karena diskriminasi sepetinya sengaja dilakukan. Padahal kenyataanya, tanpa disadari diskriminasi gender juga dapat terjadi.  Menurut Tsomo banyak keluarga Buddhis di Asia tanpa sadar telah melakukan diskriminasi terhadap anak-anak dalam keluarga. Banyak orang tua yang menyatakan telah memberikan perlakuan yang sama terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Tetapi pada prakteknya, para orang tua memberikan pembedaan dalam memperlakukan anak-anak. Setelah dewasa, pada umunya anak perempuan akan menikah, melahirkan anak dan hidup tergantung pada suami, sehingga banyak orang tua yang merasa tidak perlu memberikan pendidikan tinggi pada anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki dianggap memikul tanggung jawab yang besar dalam keluarga sehingga anak laki-laki lebih diprioritaskan dalampendidikan. Oleh sebab itu Tsomo menggunakan istilah “imbalance gender
Banyak orang tua yang mengatakan bahwa mereka memberikan perlakuan yang sama terhadap anak perempuan dan laki-laki. Tetapi banyak orang tua yang secara tidak sadar telah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki. Sebagai seorang perempuan yang memiliki kodrat sebagai ibu dan melahirkan anak, banyak orang tua di negara-negara Buddhis yang menomorduakan pendidikan bagi anak perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki dianggap memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarga sehingga anak laki-laki mendapatkan kesempatan belajar yang lebih tinggi.
Masalah kesenjangan pendidikan anak perempuan dan laki-laki Buddhis juga dialami oleh para perempuan Buddhis dalam lingkup kehidupan keviharaan. Di Thailand, perempuan yang menjalani kehidupan sebagai Mae Chii kurang mendapat dukungan dan penghormatan.permepuan dinomor duakan setelah laki-laki. Meskipun sama-sama belum ditahbiskan penuh oleh Sangha, samanera lebih dihormati dan didukung oleh umat. Para Mae Chii sekalipun bias melaksanakan hidup selibat, tetapi mereka tidak akan menadapat kesempatan untuk ditahbisakan penuh layaknya samanera. Ketika seorang samanera atau bhikkhu dating ke Vihara, umat biasanya antusias untuk melayani. Sedangkan perlakuan demikian tidak akan ditemukan bagi para samaneri. Umat pad umunya masih berpandangan bahwa para samanera dan bhikkhu adalah lading yang subur untuk menanamkan kebajikan. Umat menganggap sila yang dijalankan para bhikkhu dan samanera lebih banyak di bandingkan para Mae Chii. Padahal banyak sedikitnya sila yang dijalankan belum tentu menjamin kualitas kebajikan seseorang.
Mengapa Mae Chii Tidak Dapat Ditahbiskan Menjadi Bhikkhuni?
Meskipun Vinaya Bhikkhuni dari enam aliran Buddhisme masih bertahan, hingga saat ini satu-satunya aliran Buddhisme yang masih memiliki silsilah bhikkhuni hanya dari aliran Darmagupta. Patimokha Bhikkhuni dari Darmagupta hingga saat ini masih dipraktekan di China, Korea, Tiwan dan Vietnam. Biarawati Barat juga mengambil silsilah Darmagupta untuk dipraktekan. Setelah lenyapnya Sangha Bhikkhuni di Sri Lanka abad ke-11, maka perempuan tidak mendapat porsi yang setara dengan laki-laki untuk belajar dan mempraktekan Dhamma. Dengan lenyapnya Sangha Bhikkhuni Theravada maka garis silsilah bhikkhuni oleh kelompok tradisionalis konservatid Theravada dianggap terputus sehingga Sangha Bhikkhuni di Negara-negara Theravada tidak mungkin dibangkitkan kembali. Sesuai dengan prosedur Vinaya, seorang bhikkhuni harus melalui dua kali upasampada dari Sangha Bhikkhuni terlebih dahulu, kemudian upasampada Sangha Bhikkhu, maka untuk mendapatkan garis silsislah dari Theravada dianggap tidak mungkin (Tsomo, 2004: 53).  Sedangkan kelompok modern progresif Theravada berpandangan bahwa Sangha Bhikkhuni Theravada dapat dibangkitkan kembali melalui Sanghakamma. Tetapi untuk saat ini, masih banyak yang kontra terhadap pemunculan kembali Sangha bhikkhuni. Akibatnya bhikkhuni yang mengatasnamakan dirinya sebagai bhikkhuni dari silsilah Theravadda dianggap tidak sah seperti yang dialami oleh Bhikkhuni Dhammananda. Mereka yang telah menjadi bhikkhuni, pada umumnya mengambil silsilah dari Dharmagupta,tetapi Theraavada tidak mau mengakuinya.
Mengapa Buddha Menetapkan Atthagarudhamma?
Delapan aturan keras (atthagarudhamma) yang ditetapkan Buddha banyak menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok pro, aturan itu ditetapkan Buddha dengan pertimbangan situasi politik, keamanan, social dan  budaya masyarakat India. Bhikkhuni pertama yang di upasampada adalah dari kasata ksatria,sddangkan bhikkhu-bhikkhu berasal dari berbagai kasta. Sehingga untuk menghindari sikap tidak hormat para bhikkhuni terhdap para bhikkhu, maka Buddha menetapkan aturan pertama. Alas an laina adalah para bhikkhu lebih dahulu diupasampada sehingga menjadi wajar ketika bhikkhuni harus menghormat bhikkhu meskipun telah ditahbiskan selama seratus tahun. Pada zaman Buddha, bhikkhuni yang tinggal dihutan sarat dengan keamanan, para bhikkhuni dapat menjadi sasaran pemerkosaan sehingga Buddha menetapkan aturan bahwa seorang bhikkhuni tidak boleh vassa tanpa ada bhikkhu.   Sehingga agar Sangha Bhikkhuni dapat diterima dengan baik, maka Buddha menetapkan delan aturan itu.
Sedangkan bagi kelompok kontra, atthagarudhamma bukan sebagai kata-kata Buddha. Atthagarudhamma dianggap muncul pada konsili pertama. Aturan-aturan yang ditetapkan dianggap tidak logis. Vinaya ditetapkan setelah ada kasus, sedangkan penetapan aturan ini dilakukan Buddha sebelum Sangha Bhikkhuni belum berdiri. Untuk aturan pertama, menjadi tidak relevan jika didasarkan pada adalasan kualitas kebajikannya. Bagaimana seorang bhikkhuni yang telah mencapai arahat harus menghormat seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan satu hari dan kebajikannya masih rendah? Aturan yang berkenaan dengan pavarana juga dianggap ganjil. Mengapa bhikkhuni harus meminta nasehat kepada bhikkhu. Padahal bhikkhupun belum tentu moralitasnya lebih baik dari bhikkhuni. Sedangkan bhikkhuni tidak berhak menasehati bhikkhu. Berarti sekalipun bhikkhu melakukan kesalahan, seorang bhikkhuni tidak boleh anagkat bicara baik untuk menasehati sesuai dengan Dhamma. Seorang bhikkhuni juga tidak boleh menghina seorang bhikkhu, apakah berarti bhikkhu dapat dengan bebas menghina bhikkhuni. Jika alas an penetapa aturan ini, karena dikhawatirkan adanya hubungan seks para bhikkhuni dan bhikkhu, maka tidak relevan. Tidak ada Sangha Bhikkhunipun banyak bhikkhun yang lepas jubah karena tertarik pada umat. Selain itu imajinasi seks bukan muncul karena perempuan, tetapi muncul karena diri sendiri. Jika dengan masuknya perempuan ke dalam Sangha dianggap memperpendek umur Dhamma, akan menajdi tidak relevan karena Mahayana yang mana masih berdiri Sangha bhikkhuni, perkembanganya justru lebih baik daripada Theravada.
Pandangan Negatif Terhadap Perempuan
Meskipun Buddha mengakui egalitarianism, tetapi pada kotbah tertentu Buddhisme menganggap bahwa kelahiran sebagai perempuan adalah buah kamma buruk. Derajat kelahiran perempuan lebih rendah daripada kelahiran laki-laki. Perempuan dianggap memiliki kecenderungan serakah dan malas seperti anak-anak mara. Dalam Sagatha vagga, perempuan dipersonifikasikan sebagai mara penggoda yang menghalangi pembebasan agung. Personifikasi sebagai mara juga ditemukan dalam Soma sutta. Perempuan dianggap tidak punya pendirian, penuh nafsu birahi, suka bertengkar, dan jahat. Dalam  Agañña sutta, perempuan dipandang sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab atas jatuhnya moral yang disebabkan oleh nafsu. Umur Dhamma akan berkurang 500 tahun dengan masuknya Sangha Bhikkhuni. Hal ini tidak relevan karena  Mahayana justru lebih dapat berkembang dibanding Theravada padahal Sangha Bhikkhuni dalam tradisi Mahayana masih terpelihara. Dalam Bahudhatuka sutta, Majjhima Nikaya, perempuan dikatakan memiliki lima hambatan yaitu tidak akan mampu menjadi Raja Brahma, Raja Sakka, Raja Mara, Raja Cakkavatti dan Buddha. Dalam sutta ini, dinyatakan dengan jelas bahwa perempuan tidak mungkin dapat menjadi Buddha. Pandangan Mahayana juga menyatakan bahwa untuk mencapai kebudhaan, seseorang harus terlahir sebagai laki-laki. Perempuan disudutkan sebagai penghambat  kelestarian Dhamma seperti yang dituliskan dalam Vinaya, Buddha mengatakan bahwa masuknya perempuan ke dalam Sangha akan mengurangi lima ratus tahun umur Dhamma.dalam Cakkavattisihanada sutta, perempuan dianggap sebagai salah satu harta bagi Raja Cakkavatti. Dalam sutta yang sama, salah satu tanda manusia agung juga merujuk pada laki-laki (purusa) bukan perempuan. Dalam Dhammapada dikatakan bahwa kelakuan buruk adalah noda bagi perempuan. Permepuan dianggapsebagai makhlukyang suka berseingkuh dengan mengibaratkan seperti sungai, jalan, toko minuman, rumah singgah, pot air dipinggir jalan dan berhubungan dengan semua orang.
Pandangan Positif Agama Buddha Terhadap Perempuan
Dalam Buddhisme, persamaan gender telah diawali sejak terbentuknya Sangha Bhikkhuni pada tahun kelima Pangeran Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Diterimanya perempuan ke dalam Sangha, perempuan menjadi leluasa untuk belajar dan mempraktekkan Dhamma seperti halnya laki-laki yang lebih awal ditahbiskan. Beberapa teks Buddhisme telah menunjukkan dan memberikan citra yang baik terhadap perempuan. Usaha yang dilakukan Mahapajapati Gotami serta lima ratus perempuan yang suaminya telah menjadi bhikkhu tidak sis-sia. Banyak diantara perempuan-perempuan seperjuangan Mahapajapati Gotami dapat mencapai tingkat kesucian.  Kisah-kisah pencapian kesucian para perempuan ditunjukan dalam kitab-kitab seperti Therigatha, Bhikkhuni Samyutta dan Theripadana. Berdasarkan kisah-kisah yang ada, banyak perempuan yang merasakan manfaat hadirnya Buddha dalam kehidupan perempuan. Para perempuan yang pada awalnya dianggap sebagai masayarakat kelas kedua setelah laki-laki oleh tradisi Brahmanisme telah merasakan kebebasan luar biasa, baik segi sosial maupun spiritual. Perempuan yang dianggap tidak memiliki kebijaksaan lebih rendah dari laki-laki terbukti mampu mencapai tingkat kesucian seperti kisah Soma. Perempuan tidak lagi mendapat tekanan-tekanan sosial karena tidak menikah atau melahirkan anak laki-laki seperti kisah Gotami. Kisah-kisah yang diceritakan para Theri menunjukkan bahwa dalam tradisi Brahmansime kelahiran anak laki-lak jauh lebih penting daripada anak perempuan. Menjadi tidak mengherankan ketika Kisagotami yang berasal dari kasta rendah menikah dengan saudagar kaya dan anak laki-lakinya meningga, dia sangat takut akan direndahkan keluarga suaminya. Perempua dalam tradisi Brahamansme dihargai jika mampu memberikan keturunan laki-laki. Dengan hadirnya Buddha, perempuan tidak terkat untuk memikul kewajiban melahirkan anak laki-laki. Pada suatu kesempatan Buddha memberikan nasehat kepada Raja Pasenadi yang bersedih atas kelahiran anak perempuannya dengan mengatakan perempuan bisa lebih mulia daripada anak laki-laki. Buddha juga mengatakan bahwa kemualiaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau kastanya, akan tetapi ditentukan oleh moralitasnya. Dalam Dhammapada, Buddha mengatakan bahwa seseorang menajdi mulia bukan karena ras, jenis kelamin dan kastanya, tetapai karena moralitasnya. Buddha menegaskan bahwaasetiap orang berhak untuk mencapai pemebebasan. Pencapaian kearahatan adalah universal.
Referensi:
Cambel, Joseph (Ed). 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kabilsingh, Chatsumara. 1991. Thai Women in Buddhism. California:Parralax Press
Tsomo, K.L. 2004. Buddhist Woman and Social Justice: Ideal, Challenges and Achievement. New York: State University of New York Press.

No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”