Pengantar
Seperti halnya sistem religi
yang lain, Buddhisme ditafsirkan berbeda-beda oleh para pengikutnya. Setelah
Sang Buddha Parinibbāna, agama Buddha terpecah menjadi beberapa aliran.
Aliran Sthaviravada dan Mahasangika merupakan dua aliran besar
yang mengawali sektarian dalam Buddhisme. Kedua aliran ini masing-masing
terpecah kembali ke dalam delapan belas aliran, sepuluh aliran dari Sthaviravada
dan delapan aliran dari Mahasangika. Dari golongan Sthaviravada dan
golongan Mahasangika beserta aliranya kemudian sering disebut-sebut
menjadi empat mazhab utama yaitu: Sthaviravada dan Mahasangika
serta dua mazhab lainnya yaitu Sarvastivada dan Sammitiya yang
merupakan pecahan dari aliran Sthaviravada. Aliran Mahasangika
dan Sarvastivada merupakan aliran yang melahirkan aliran Mahayana,
sedangkan aliran Sthaviravada sendiri merupakan aliran yang melahirkan
aliran Theravada. Dalam perkembangannya masing-masing aliran memiliki
Canon yang lengkap yang terdiri dari Sutta Piţaka, Vinaya Piţaka dan Abhidhamma
Piţaka.
Tiap aliran memiliki penekanan
yang berbeda dalam melaksanakan Buddha Dhamma. Masing-masing agama juga
mengklaim kitab suci yang mereka miliki adalah yang paling otentik diantara
kitab suci yang dimiliki oleh mazhab lain. Dalam Mazhab Mahayana
penekanannya terdapat pada pencapaian Bodhisatta sedangkan pada Theravada
menekankan pada pencapian kearahatan.
Pembahasan
Cara yang dapat dilakukan
untuk mengidentifikasi ajaran Buddha awal dengan ajaran Buddha setelah
sektarian adalah dengan cara membandingkan isi kitab suci yang dimiliki oleh
tiap-tiap aliran. Cara tersebut dapat membandingkan ajaran Buddhisme awal dengan Buddhisme
setelah sektarian. Para sarjana mengungkapkan ciri-ciri ajaran Buddha pra
sektarian, yaitu:
1. Bersifat non-otoritas yaitu menganjurkan
agar siswa-siswa Buddha tidak tergantung pada otoritas atau wewenang tertentu,
seperti dalam Kalama Sutta:
”...Janganlah mempercayai
sesuatu dari kabar-kabar angin; janganlah mempercayai sesuatu karena tradisi
atau karena sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun; janganlah mempercayai
sesuatu dari desas-desus atau semata-mata karena diperlihatkan kepadamu
tulisan-tulisan orang-orang suci di zaman kuno; janganlah mempercayai sesuatu
karena persangkaan-persangkaan atau kebiasaan bertahun-tahun, mendorongmu untuk
menganggapnya benar; janganlah mempercayai sesuatu semata-mata karena gurumu.
Akan tetapi, appu juga menurut pengalamanmu sendiri atau setelah diselidiki
secara mendalam sesuai dengan akan pikiranmu, dan bermanfaat bagi dirimu serta
sesama makhluk hidup yang lain, maka terimalah itu sebagai kebenaran dan
jalankanlah dalam hidupmu...”
2. Bersifat non-spekulatif yaitu agar tidak
terjebak pada hal-hal yang tidak berguna dalam membawa kebahagiaan, maka
hal-hal yang bersifat metafisika tidak dibahas seperti dalam Culamalunkyaputta
Sutta. Diceritakan bahwa Bhikkhu Malunkyaputta menanyakan hal yang bersifat
metafisik kepada Sang Buddha dan mengancam akan keluar dari Sangha jika Sang
Buddha tidak menjelaskannya. Sang Buddha menjawab sebagai berikut:
”...Kehidupan beragama itu,
Malunkyaputta, tidak bergantung pada ajaran bahwa alam itu abadi; sebaliknya
kehidupan beragama itu, hai Malunkyaputta, tidak tergantung pada ajaran bahwa
alam itu tidak abadi. Sekalipun ajaran serupa itu ada, Malunkyaputta, bahwa
alam itu abadiatau alam itu tidak abadi, tetapi disituada kelahiran, usia,
maut, duka, ratapan, derita, kemalangan dan kekecewaan, yang peniadaan
seluruhnya di dalamkehidupan, sengaja kami uraikan. Karena itu hai Malunkyaputta,
tanamkan ke dalam ingatan akan apa yang akan kami jelaskan, dan akan apa yang
tidak kami jelaskan. Dan apakah hai Malunkyaputta yang tidak kami jelaskan?
Kami tidak menjelaskan, hai
Malunkyaputta, bahwa alam itu kekal, kami tidak menjelaskan bahwa alam itu
tidak kekal; kami tidak menjelaskan bahwa alam itu terbatas atau tidak tidak
terbatas; jiwa adalah sama dengan tubuh; jiwa adalah satu hal dan tubuh adalah
hal lain; setelah kematian, Tathāgata ada atau setelah kematian Tathāgata tidak
ada; setelah kematian Tathāgata ada atau tidak ada; setelah kematian Tathāgata
bukan ada pun bukan tidak ada. Sebabnya Malunkyaputta, hal itu tidak
menguntungkan, bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan hal-hal paling asasi
dalam agama, malah tidak mengarah kepada pencegahan dan peniadaan nafsu,
penghentian, ketenangan, pembebasan, hikmat tinggi dan Nibbāna...”
3. Cenderung pragmatis, yaitu ajaran
Buddhisme awal menekankan pada praktek moralitas daripada pengembangan
intelektualitas. Seperti yang dijelaskan dalam Malunkyaputta Sutta, Sang
Buddha menolak untuk menjelaskan mengenai pengetahuan metafisis karena tidak
membawa seseorang kepada kemajuan batin. Itu sebabnya semasa hidup Sang Buddha Tipiṭaka belum dituliskan. Sedangkan ajaran Budhisme paska
sektarian lebih menekankan pada pemahaman intelektual. Setelah Sang Buddha Parinibbāna
maka timbulah perpecahan diantara para bhikkhu. Aliran-aliran Buddhime
masing-masing mengembangkan pemahaman intelektual terhadap ajaran Buddha. Tokoh
Buddhis yang terkenal dan mampu menanamkan paham yang dianutnya adalah Nāgarjuna
dengan paham Suñata.
4. Non-absolutisme, yaitu ajaran Buddhisme
awal tidak mendorong pemeluknya terjebak kepada hal-hal yang absolut, mencegah
pemeluknya terjerumus pada hal-hal yang bersifat hakiki. Seperti yang Buddha
Gotama ajarkan bahwa seseorang tidak diajarkan untuk memegang Dhamma sebagai
sesuatu yang absolut.
”...Duhai
para Bhikkhu kami mengajarkan dhamma untuk dipergunakan sebagai rakit untuk
menyeberang dan bukan untuk disimpan atau digantung terus-menerus...”
Seseorang dicegah untuk
mengabsolutkan upacara-upacara yang dianggap membawa seeorang pada kesucian (silabataparama).
Bukan upacara yang dapat membawa seseorang pada kesucian, akan tetapi latihan
kemoralan dengan menghapus lobha, dosa dan moha itulah
yang dapat membawa seseorang pada kesucian.
Buddhisme paska sektarian
cenderung absolutis kemudian setelah sektarian mulai timbul kecenderungan
absolutisme. Contohnya perkembangan selanjutnya setelah sektarian ajaran dalam Abhidhamma
dianggap sebagai ajaran yang tinggi, inilah awal kecenderungan absolitisme.
Beberapa hal yang dapat
menimbulkan seseorang terjebak ke dalam absolutisme adalah iman (sadha),
kesukaan (ruci), tradisi/wahyu (anusava), dan pandangan sekilas.
Ketika seseorang sudah memiliki iman terhadap sesuatu tapi tidak memiliki mata
kebijaksanaan maka dapat menimbulkan seseorang terjerumus pada hal-hal yang
salah. Seseorang yang sangat yakin pada suatu doktrin tetapi tidak tau kalo itu
salah, maka orang tersebut akan terjerumus dalam pandangan salah seumur
hidupnya. Orang yang suda melekat pada kesukaan (ruci) akan buta mata
hatinya, tidak dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya, tidak mengetahui
kebenaran sejati. Ketika orang meyakini pada pandangan sekilas, tanpa
mengetahui kebenaran yang sesungguhnya maka dapat menimbulkan subyektifitas.
Sedangkan wahyu (anusava) dapat menjebak seseorang pada pandangan salah
(miccadithi) karena wahyu belum tentu memiliki kebanaran.
Kesimpulan
Ajaran Buddhisme awal
menekankan pada pencarian kedamaian (santa gavesi) bukan kebenaran (sacca
gavesi). Pembahasanya tidak menekankan dibahasnya hal-hal yang bersifat
metafisika seperti munculnya dunia, ketuhanan ataupun wujud dari Nibhana. Buddhisme
awal lebih mengutamakan ajaran yang bersifat aktif (praktek), bukan sekedar
teori. Bisa dilihat dari kisah Buddha Gotama dalam menemukan jalan keluar dari
dukkha, dengan berangkat dari dukkha Sang Buddha mengajarkan bagaimana suatu
makhluk dapat terbebas dari dukkha untuk
mencapai kedamaian. Dengan demikian Buddhisme awal lebih memprioritaskan pada
praktik (pati-pati Dhamma) moralitas ke arah pencapaian pencerahan batin,
tetapi setelah sektarian interpretasi ajaran Sang Buddha lebih bersifat
teoritis (pariati Dhamma).
Referensi:
Cittagutto.
1986. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis Historis. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
U Ko Lay. 2000. Panduan
Tipitaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Wahyono,
Mulyadi. 2002. Pokok-pokok
Dasar Agama Buddha. Jakarta: Depag RI.
Tim
Penerjemah. 2008. Majjhima Nikāya: Kitab Suci Agama Buddha. Klaten Vihara Bodhivaṁsa.
YANG MAU DOWNLOAD FERSI MICROSOFT WORD: SEKTARIAN DALAM AGAMA BUDDHA
No comments:
Post a Comment