Wednesday, 23 November 2016

Sektarian dalam Agama Buddha


Pengantar
Seperti halnya sistem religi yang lain, Buddhisme ditafsirkan berbeda-beda oleh para pengikutnya. Setelah Sang Buddha Parinibbāna, agama Buddha terpecah menjadi beberapa aliran. Aliran Sthaviravada dan Mahasangika merupakan dua aliran besar yang mengawali sektarian dalam Buddhisme. Kedua aliran ini masing-masing terpecah kembali ke dalam delapan belas aliran, sepuluh aliran dari Sthaviravada dan delapan aliran dari Mahasangika. Dari golongan Sthaviravada dan golongan Mahasangika beserta aliranya kemudian sering disebut-sebut menjadi empat mazhab utama yaitu: Sthaviravada dan Mahasangika serta dua mazhab lainnya yaitu Sarvastivada dan Sammitiya yang merupakan pecahan dari aliran Sthaviravada. Aliran Mahasangika dan Sarvastivada merupakan aliran yang melahirkan aliran Mahayana, sedangkan aliran Sthaviravada sendiri merupakan aliran yang melahirkan aliran Theravada. Dalam perkembangannya masing-masing aliran memiliki Canon yang lengkap yang terdiri dari Sutta Piţaka, Vinaya Piţaka dan Abhidhamma Piţaka.

Tiap aliran memiliki penekanan yang berbeda dalam melaksanakan Buddha Dhamma. Masing-masing agama juga mengklaim kitab suci yang mereka miliki adalah yang paling otentik diantara kitab suci yang dimiliki oleh mazhab lain. Dalam Mazhab Mahayana penekanannya terdapat pada pencapaian Bodhisatta sedangkan pada Theravada menekankan pada pencapian kearahatan.

Pembahasan
Cara yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi ajaran Buddha awal dengan ajaran Buddha setelah sektarian adalah dengan cara membandingkan isi kitab suci yang dimiliki oleh tiap-tiap aliran. Cara tersebut dapat membandingkan  ajaran Buddhisme awal dengan Buddhisme setelah sektarian. Para sarjana mengungkapkan ciri-ciri ajaran Buddha pra sektarian, yaitu:
1.      Bersifat non-otoritas yaitu menganjurkan agar siswa-siswa Buddha tidak tergantung pada otoritas atau wewenang tertentu, seperti dalam Kalama Sutta:
”...Janganlah mempercayai sesuatu dari kabar-kabar angin; janganlah mempercayai sesuatu karena tradisi atau karena sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun; janganlah mempercayai sesuatu dari desas-desus atau semata-mata karena diperlihatkan kepadamu tulisan-tulisan orang-orang suci di zaman kuno; janganlah mempercayai sesuatu karena persangkaan-persangkaan atau kebiasaan bertahun-tahun, mendorongmu untuk menganggapnya benar; janganlah mempercayai sesuatu semata-mata karena gurumu. Akan tetapi, appu juga menurut pengalamanmu sendiri atau setelah diselidiki secara mendalam sesuai dengan akan pikiranmu, dan bermanfaat bagi dirimu serta sesama makhluk hidup yang lain, maka terimalah itu sebagai kebenaran dan jalankanlah dalam hidupmu...”
2.      Bersifat non-spekulatif yaitu agar tidak terjebak pada hal-hal yang tidak berguna dalam membawa kebahagiaan, maka hal-hal yang bersifat metafisika tidak dibahas seperti dalam Culamalunkyaputta Sutta. Diceritakan bahwa Bhikkhu Malunkyaputta menanyakan hal yang bersifat metafisik kepada Sang Buddha dan mengancam akan keluar dari Sangha jika Sang Buddha tidak menjelaskannya. Sang Buddha menjawab sebagai berikut:
”...Kehidupan beragama itu, Malunkyaputta, tidak bergantung pada ajaran bahwa alam itu abadi; sebaliknya kehidupan beragama itu, hai Malunkyaputta, tidak tergantung pada ajaran bahwa alam itu tidak abadi. Sekalipun ajaran serupa itu ada, Malunkyaputta, bahwa alam itu abadiatau alam itu tidak abadi, tetapi disituada kelahiran, usia, maut, duka, ratapan, derita, kemalangan dan kekecewaan, yang peniadaan seluruhnya di dalamkehidupan, sengaja kami uraikan. Karena itu hai Malunkyaputta, tanamkan ke dalam ingatan akan apa yang akan kami jelaskan, dan akan apa yang tidak kami jelaskan. Dan apakah hai Malunkyaputta yang tidak kami jelaskan?
Kami tidak menjelaskan, hai Malunkyaputta, bahwa alam itu kekal, kami tidak menjelaskan bahwa alam itu tidak kekal; kami tidak menjelaskan bahwa alam itu terbatas atau tidak tidak terbatas; jiwa adalah sama dengan tubuh; jiwa adalah satu hal dan tubuh adalah hal lain; setelah kematian, Tathāgata ada atau setelah kematian Tathāgata tidak ada; setelah kematian Tathāgata ada atau tidak ada; setelah kematian Tathāgata bukan ada pun bukan tidak ada. Sebabnya Malunkyaputta, hal itu tidak menguntungkan, bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan hal-hal paling asasi dalam agama, malah tidak mengarah kepada pencegahan dan peniadaan nafsu, penghentian, ketenangan, pembebasan, hikmat tinggi dan Nibbāna...”
3.      Cenderung pragmatis, yaitu ajaran Buddhisme awal menekankan pada praktek moralitas daripada pengembangan intelektualitas. Seperti yang dijelaskan dalam Malunkyaputta Sutta, Sang Buddha menolak untuk menjelaskan mengenai pengetahuan metafisis karena tidak membawa seseorang kepada kemajuan batin. Itu sebabnya semasa hidup Sang Buddha Tipiaka belum dituliskan. Sedangkan ajaran Budhisme paska sektarian lebih menekankan pada pemahaman intelektual. Setelah Sang Buddha Parinibbāna maka timbulah perpecahan diantara para bhikkhu. Aliran-aliran Buddhime masing-masing mengembangkan pemahaman intelektual terhadap ajaran Buddha. Tokoh Buddhis yang terkenal dan mampu menanamkan paham yang dianutnya adalah Nāgarjuna dengan paham Suñata.
4.      Non-absolutisme, yaitu ajaran Buddhisme awal tidak mendorong pemeluknya terjebak kepada hal-hal yang absolut, mencegah pemeluknya terjerumus pada hal-hal yang bersifat hakiki. Seperti yang Buddha Gotama ajarkan bahwa seseorang tidak diajarkan untuk memegang Dhamma sebagai sesuatu yang absolut.
”...Duhai para Bhikkhu kami mengajarkan dhamma untuk dipergunakan sebagai rakit untuk menyeberang dan bukan untuk disimpan atau digantung terus-menerus...”
Seseorang dicegah untuk mengabsolutkan upacara-upacara yang dianggap membawa seeorang pada kesucian (silabataparama). Bukan upacara yang dapat membawa seseorang pada kesucian, akan tetapi latihan kemoralan dengan menghapus lobha, dosa dan moha itulah yang dapat membawa seseorang pada kesucian.
Buddhisme paska sektarian cenderung absolutis kemudian setelah sektarian mulai timbul kecenderungan absolutisme. Contohnya perkembangan selanjutnya setelah sektarian ajaran dalam Abhidhamma dianggap sebagai ajaran yang tinggi, inilah awal kecenderungan absolitisme.
Beberapa hal yang dapat menimbulkan seseorang terjebak ke dalam absolutisme adalah iman (sadha), kesukaan (ruci), tradisi/wahyu (anusava), dan pandangan sekilas. Ketika seseorang sudah memiliki iman terhadap sesuatu tapi tidak memiliki mata kebijaksanaan maka dapat menimbulkan seseorang terjerumus pada hal-hal yang salah. Seseorang yang sangat yakin pada suatu doktrin tetapi tidak tau kalo itu salah, maka orang tersebut akan terjerumus dalam pandangan salah seumur hidupnya. Orang yang suda melekat pada kesukaan (ruci) akan buta mata hatinya, tidak dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya, tidak mengetahui kebenaran sejati. Ketika orang meyakini pada pandangan sekilas, tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya maka dapat menimbulkan subyektifitas. Sedangkan wahyu (anusava) dapat menjebak seseorang pada pandangan salah (miccadithi) karena wahyu belum tentu memiliki kebanaran.

Kesimpulan
Ajaran Buddhisme awal menekankan pada pencarian kedamaian (santa gavesi) bukan kebenaran (sacca gavesi). Pembahasanya tidak menekankan dibahasnya hal-hal yang bersifat metafisika seperti munculnya dunia, ketuhanan ataupun wujud dari Nibhana. Buddhisme awal lebih mengutamakan ajaran yang bersifat aktif (praktek), bukan sekedar teori. Bisa dilihat dari kisah Buddha Gotama dalam menemukan jalan keluar dari dukkha, dengan berangkat dari dukkha Sang Buddha mengajarkan bagaimana suatu makhluk dapat terbebas dari  dukkha untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian Buddhisme awal lebih memprioritaskan pada praktik (pati-pati Dhamma) moralitas ke arah pencapaian pencerahan batin, tetapi setelah sektarian interpretasi ajaran Sang Buddha lebih bersifat teoritis (pariati Dhamma).


Referensi:
Cittagutto. 1986. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis Historis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
U Ko Lay. 2000. Panduan Tipitaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Wahyono, Mulyadi. 2002. Pokok-pokok Dasar Agama Buddha. Jakarta: Depag RI.
Tim Penerjemah. 2008. Majjhima Nikāya: Kitab Suci Agama Buddha. Klaten Vihara Bodhivasa.


YANG MAU DOWNLOAD FERSI MICROSOFT WORD: SEKTARIAN DALAM AGAMA BUDDHA

No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”