Pengertian Gender
Gender
adalah pembagian peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan yang
ditetapkan masyarakat maupun budaya. Peran dan tanggung jawab perempuan dan
laki-laki meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi,
dan budaya. Pembagian peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki
yang tidak seimbang dalam berbagai sendi kehidupan, menimbulkan perdebatan
diantara para pemikir, terutama para feminis.
Diskriminasi Gender
Diskriminasi
gender adalah pembedaan, penyingkiran atau pembatasan yang dilakukan
berdasarkan alasan gender, sehingga mengakibatkan penolakan pengakuan hak
asasi, dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta hak dasarnya dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya (Priastana (ed), 2004: 7). Sedangkan
Lin Chew (dalam Tsomo, 2004:42) mengatakan bahawa perempuan sering diberi ruang
dan aturan khusus; perempuan dikeluarkan dari esensi atau posisi sentral dan
otoritas. Kedua pendapat memiliki esensi yang sama yaitu adanya suatu sikap
yang sengaja dilakukan oleh masyarakat maupun budaya untuk menyisihkan gender
yang lain. Permasalah diskriminasi gender telah diserukan oleh para feminis
berabad-abad yang lalu hingga saat ini pun masih berlangsung. Pada zaman
Brahmanisme kuno kedudukan perempuan dalam masyarakat sangat rendah setara
rendahnya dengan kasta Sudra. Kelahiran sebagai perempuan dianggap kutukan dan
menjadi celaan masayarakat. Pada zaman ini, pembunuhan terhadap bayi perempuan
menjadi wajar. Jika bayi perempuan dibesarkan
orang tuanya maka perempuan harus menikah dan akan mendapat kehormatan
jika melahirkan keturunan laki-laki. Hidup melajang atau menjanda juga dianggap
tidak pantas. Perempuan juga tidak mendapat tempat dalam kegiatan religious
karena permpuan dianggap tidak suci. Anggapan ketidaksucian perempuan adalah
secara biologis perempuan harus mengalami menstruasi, mengandung dan melahirkan
anak. Dalam kitab Therigatha, perempuan-perempuan memberikan kesaksian akan
pentingnya kelahiran anak laki-laki seperti yang dikisahkan oleh Kisa Gotami.
Kematian anak laki-laki bagi Kisa Gotami akan menyebabkan dirinya tidak
dihargai oleh keluarga. Dalam kisah lain, Raja Pasenadi merasakan kesedihan
karena istrinya melahirkan bayi perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan
dalam tradisi Brahmanisme telah dikultuskan dalam kitab Manusmrti. Oleh karena kitab suci memiliki otoritas penuh, maka
perempuan selama berabad-abad dibiarkan dalam kondisi tertekan dan menjadi
masyarakat lapisan kedua setelah laki-laki.
Tetapi
Tsomo (2004:5) kurang sependapat dengan Priastana maupun dalam kitab Manusmrti
karena diskriminasi sepetinya sengaja dilakukan. Padahal kenyataanya, tanpa
disadari diskriminasi gender juga dapat terjadi. Menurut Tsomo banyak keluarga Buddhis di Asia
tanpa sadar telah melakukan diskriminasi terhadap anak-anak dalam keluarga.
Banyak orang tua yang menyatakan telah memberikan perlakuan yang sama terhadap
anak perempuan dan laki-lakinya. Tetapi pada prakteknya, para orang tua
memberikan pembedaan dalam memperlakukan anak-anak. Setelah dewasa, pada umunya
anak perempuan akan menikah, melahirkan anak dan hidup tergantung pada suami,
sehingga banyak orang tua yang merasa tidak perlu memberikan pendidikan tinggi
pada anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki dianggap memikul tanggung jawab
yang besar dalam keluarga sehingga anak laki-laki lebih diprioritaskan
dalampendidikan. Oleh sebab itu Tsomo menggunakan istilah “imbalance gender”
Banyak
orang tua yang mengatakan bahwa mereka memberikan perlakuan yang sama terhadap
anak perempuan dan laki-laki. Tetapi banyak orang tua yang secara tidak sadar
telah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki.
Sebagai seorang perempuan yang memiliki kodrat sebagai ibu dan melahirkan anak,
banyak orang tua di negara-negara Buddhis yang menomorduakan pendidikan bagi
anak perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki dianggap memiliki tugas dan tanggung
jawab yang lebih besar terhadap keluarga sehingga anak laki-laki mendapatkan
kesempatan belajar yang lebih tinggi.
Masalah
kesenjangan pendidikan anak perempuan dan laki-laki Buddhis juga dialami oleh
para perempuan Buddhis dalam lingkup kehidupan keviharaan. Di Thailand,
perempuan yang menjalani kehidupan sebagai Mae Chii kurang mendapat dukungan
dan penghormatan. Permepuan dinomor duakan setelah laki-laki. Meskipun sama-sama
belum ditahbiskan penuh oleh Sangha, samanera
lebih dihormati dan didukung oleh umat. Para Mae Chii sekalipun bisa melaksanakan hidup selibat, tetapi mereka tidak akan menadapat kesempatan untuk
ditahbisakan penuh layaknya samanera. Ketika seorang samanera atau bhikkhu
datang ke Vihara, umat biasanya antusias untuk melayani. Sedangkan perlakuan
demikian tidak akan ditemukan bagi para samaneri. Umat pad umunya masih
berpandangan bahwa para samanera dan bhikkhu adalah ladang yang subur untuk
menanamkan kebajikan. Umat menganggap sila yang dijalankan para bhikkhu dan
samanera lebih banyak dibandingkan para Mae Chii. Padahal banyak sedikitnya
sila yang dijalankan belum tentu menjamin kualitas kebajikan seseorang.
Mengapa Mae Chii Tidak Dapat Ditahbiskan
Menjadi Bhikkhuni?
Meskipun Vinaya Bhikkhuni dari enam aliran Buddhisme masih bertahan, hingga saat ini satu-satunya aliran Buddhisme yang masih memiliki silsilah bhikkhuni hanya dari aliran Darmagupta. Patimokha
Bhikkhuni dari Darmagupta
hingga saat ini masih dipraktekan di China, Korea, Tiwan dan Vietnam. Biarawati
Barat juga mengambil silsilah Darmagupta
untuk dipraktekan. Setelah lenyapnya Sangha Bhikkhuni di Sri Lanka abad ke-11,
maka perempuan tidak mendapat porsi yang setara dengan laki-laki untuk belajar
dan mempraktekan Dhamma. Dengan lenyapnya Sangha Bhikkhuni Theravada maka garis
silsilah bhikkhuni oleh kelompok tradisionalis konservatif Theravada dianggap
terputus sehingga Sangha Bhikkhuni di Negara-negara Theravada tidak mungkin
dibangkitkan kembali. Sesuai dengan prosedur Vinaya, seorang bhikkhuni harus
melalui dua kali upasampada dari Sangha Bhikkhuni terlebih dahulu, kemudian
upasampada Sangha Bhikkhu, maka untuk mendapatkan garis silsislah dari
Theravada dianggap tidak mungkin (Tsomo,
2004: 53). Sedangkan
kelompok modern progresif Theravada berpandangan bahwa Sangha Bhikkhuni
Theravada dapat dibangkitkan kembali melalui Sanghakamma. Tetapi untuk saat
ini, masih banyak yang kontra terhadap pemunculan kembali Sangha bhikkhuni.
Akibatnya bhikkhuni yang mengatasnamakan dirinya sebagai bhikkhuni dari
silsilah Theravadda dianggap tidak sah seperti yang dialami oleh Bhikkhuni
Dhammananda. Mereka yang telah menjadi bhikkhuni, pada umumnya mengambil
silsilah dari Dharmagupta,tetapi Theraavada tidak mau mengakuinya.
Mengapa
Buddha Menetapkan Atthagarudhamma?
Delapan aturan keras (atthagarudhamma) yang
ditetapkan Buddha banyak menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok pro,
aturan itu ditetapkan Buddha dengan pertimbangan situasi politik, keamanan,
sosial dan budaya masyarakat India.
Bhikkhuni pertama yang di upasampada adalah dari kasata ksatria, sedangkan
bhikkhu-bhikkhu berasal dari berbagai kasta. Sehingga untuk menghindari sikap
tidak hormat para bhikkhuni terhdap para bhikkhu, maka Buddha menetapkan aturan
pertama. Alasan laina adalah para bhikkhu lebih dahulu diupasampada sehingga
menjadi wajar ketika bhikkhuni harus menghormat bhikkhu meskipun telah
ditahbiskan selama seratus tahun. Pada zaman Buddha, bhikkhuni yang tinggal
dihutan sarat dengan keamanan, para bhikkhuni dapat menjadi sasaran pemerkosaan
sehingga Buddha menetapkan aturan bahwa seorang bhikkhuni tidak boleh vassa
tanpa ada bhikkhu. Sehingga agar Sangha
Bhikkhuni dapat diterima dengan baik, maka Buddha menetapkan delapan aturan itu.
Sedangkan bagi kelompok kontra,
atthagarudhamma bukan sebagai kata-kata Buddha. Atthagarudhamma dianggap muncul
pada konsili pertama. Aturan-aturan yang ditetapkan dianggap tidak logis.
Vinaya ditetapkan setelah ada kasus, sedangkan penetapan aturan ini dilakukan
Buddha sebelum Sangha Bhikkhuni belum berdiri. Untuk aturan pertama, menjadi
tidak relevan jika didasarkan pada alasan kualitas kebajikannya. Bagaimana
seorang bhikkhuni yang telah mencapai arahat harus menghormat seorang bhikkhu
yang baru ditahbiskan satu hari dan kebajikannya masih rendah? Aturan yang
berkenaan dengan pavarana juga dianggap ganjil. Mengapa bhikkhuni harus meminta
nasehat kepada bhikkhu. Padahal bhikkhupun belum tentu moralitasnya lebih baik
dari bhikkhuni. Sedangkan bhikkhuni tidak berhak menasehati bhikkhu. Berarti
sekalipun bhikkhu melakukan kesalahan, seorang bhikkhuni tidak boleh anagkat
bicara baik untuk menasehati sesuai dengan Dhamma. Seorang bhikkhuni juga tidak
boleh menghina seorang bhikkhu, apakah berarti bhikkhu dapat dengan bebas
menghina bhikkhuni. Jika alasan penetapan aturan ini karena dikhawatirkan
adanya hubungan seks para bhikkhuni dan bhikkhu, maka tidak relevan. Tidak ada
Sangha Bhikkhunipun tetap banyak bhikkhu yang lepas jubah karena tertarik pada umat.
Selain itu imajinasi seks bukan muncul karena perempuan, tetapi muncul karena
diri sendiri. Jika dengan masuknya perempuan ke dalam Sangha dianggap
memperpendek umur Dhamma, akan menajdi tidak relevan karena Mahayana yang mana
masih berdiri Sangha bhikkhuni, perkembanganya justru lebih baik daripada
Theravada.
Pandangan Negatif Terhadap
Perempuan
Meskipun Buddha mengakui egalitarianism, tetapi pada kotbah tertentu Buddhisme menganggap bahwa kelahiran sebagai perempuan adalah buah kamma buruk. Derajat kelahiran perempuan lebih rendah daripada kelahiran laki-laki. Perempuan dianggap memiliki kecenderungan serakah dan malas seperti anak-anak mara. Dalam Sagatha vagga, perempuan dipersonifikasikan sebagai mara penggoda yang menghalangi pembebasan agung. Personifikasi sebagai mara juga ditemukan dalam Soma sutta. Perempuan dianggap tidak punya pendirian, penuh nafsu birahi, suka bertengkar, dan jahat. Dalam Agañña sutta, perempuan dipandang sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab atas jatuhnya moral yang disebabkan oleh nafsu. Umur Dhamma akan berkurang 500
tahun dengan masuknya Sangha Bhikkhuni. Hal ini tidak relevan karena Mahayana justru lebih dapat berkembang
dibanding Theravada padahal Sangha Bhikkhuni dalam tradisi Mahayana masih terpelihara. Dalam Bahudhatuka sutta, Majjhima Nikaya, perempuan dikatakan memiliki lima hambatan yaitu tidak akan mampu menjadi Raja Brahma, Raja Sakka, Raja Mara, Raja Cakkavatti dan Buddha. Dalam sutta ini, dinyatakan dengan jelas bahwa perempuan tidak mungkin dapat menjadi Buddha. Pandangan Mahayana juga menyatakan bahwa untuk mencapai kebudhaan, seseorang harus terlahir sebagai laki-laki. Perempuan disudutkan sebagai penghambat kelestarian Dhamma seperti yang dituliskan dalam Vinaya, Buddha mengatakan bahwa masuknya perempuan ke dalam Sangha akan mengurangi lima ratus tahun umur Dhamma. Dalam Cakkavattisihanada sutta,
perempuan dianggap sebagai salah satu harta bagi Raja Cakkavatti. Dalam sutta
yang sama, salah satu tanda manusia agung juga merujuk pada laki-laki (purusa)
bukan perempuan. Dalam Dhammapada dikatakan bahwa kelakuan buruk adalah noda
bagi perempuan. Permepuan dianggap sebagai makhluk yang suka berseingkuh dengan
mengibaratkan seperti sungai, jalan, toko minuman, rumah singgah, pot air
dipinggir jalan dan berhubungan dengan semua orang.
Pandangan Positif Agama Buddha Terhadap Perempuan
Dalam Buddhisme, persamaan gender telah diawali sejak terbentuknya Sangha Bhikkhuni pada tahun kelima Pangeran Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Diterimanya perempuan ke dalam Sangha, perempuan menjadi leluasa untuk belajar dan mempraktekkan Dhamma seperti halnya laki-laki yang lebih awal ditahbiskan. Beberapa teks Buddhisme telah menunjukkan dan memberikan citra yang baik terhadap perempuan. Usaha yang dilakukan Mahapajapati Gotami serta lima ratus perempuan yang suaminya telah menjadi bhikkhu tidak sis-sia. Banyak diantara perempuan-perempuan seperjuangan Mahapajapati Gotami dapat mencapai tingkat kesucian. Kisah-kisah pencapian kesucian para perempuan ditunjukan dalam kitab-kitab seperti Therigatha, Bhikkhuni Samyutta dan Theripadana. Berdasarkan kisah-kisah yang ada, banyak perempuan yang merasakan manfaat hadirnya Buddha dalam kehidupan perempuan. Para perempuan yang pada awalnya dianggap sebagai masayarakat kelas kedua setelah laki-laki oleh tradisi Brahmanisme telah merasakan kebebasan luar biasa, baik segi sosial maupun spiritual. Perempuan yang dianggap tidak memiliki kebijaksaan lebih rendah dari laki-laki terbukti mampu mencapai tingkat kesucian seperti kisah Soma. Perempuan tidak lagi mendapat tekanan-tekanan sosial karena tidak menikah atau melahirkan anak laki-laki seperti kisah Gotami. Kisah-kisah yang diceritakan para Theri menunjukkan bahwa dalam tradisi Brahmansime kelahiran anak laki-lak jauh lebih penting daripada anak perempuan. Menjadi tidak mengherankan ketika Kisagotami yang berasal dari kasta rendah menikah dengan saudagar kaya dan anak laki-lakinya meninggal, dia sangat takut akan direndahkan keluarga suaminya. Perempuan dalam tradisi Brahamansme dihargai jika mampu memberikan keturunan laki-laki. Dengan hadirnya Buddha, perempuan tidak terikat untuk memikul kewajiban melahirkan anak laki-laki. Pada suatu kesempatan Buddha memberikan nasehat kepada Raja Pasenadi yang bersedih atas kelahiran anak perempuannya dengan mengatakan perempuan bisa lebih mulia daripada anak laki-laki. Buddha juga mengatakan bahwa kemualiaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau kastanya, akan tetapi ditentukan oleh moralitasnya. Dalam Dhammapada, Buddha mengatakan bahwa seseorang menajdi mulia bukan karena ras, jenis kelamin dan kastanya, tetapai karena moralitasnya. Buddha menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mencapai pembebasan. Pencapaian kearahatan adalah universal.
Referensi:
Cambel, Joseph (Ed). 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kabilsingh, Chatsumara. 1991. Thai Women in Buddhism. California:Parralax Press
Tsomo,
K.L. 2004. Buddhist Woman and Social
Justice: Ideal, Challenges and Achievement. New York: State University of
New York Press.
No comments:
Post a Comment