Sunday, 26 October 2014

Berdana dengan Pengertian Benar

MENGAPA BERDANA
Petunjuk untuk Berdana
dengan Pengertian Benar
Terjemahan dari buku berjudul : Dana The Practise of Giving
Kumpulan tulisan yang disunting oleh Bhikkhu Bodhi
Alih Bahasa Inggris ke Indonesia:
Dra. Lanny Anggawati, Dra. Wena Cintiawati
Editor : Rudy Ananda Limiadi, S.Si, M.M.
Juru ketik dan tata letak : Vidya Upatthaka – Team
Penerbit : Wisma Sambodhi Klaten
Kathina 2547/2003
Pendahuluan
Bhikkhu Bodhi

Secara universal, praktek memberi (berdana) dikenal sebagai salah satu keluhuran manusia yang paling mendasar, sesuatu yang membuktikan kedalaman sifat manusiawi dan kemampuan seseorang untuk transenden-diri. Di dalam ajaran Sang Buddha pun, praktek berdana memiliki tempat dan pengertian khusus, yaitu sebagai fondasi dan benih perkembangan spiritual. Di dalam sutta-sutta Pali, berulang kali kita membaca bahwa ‘pembicaraan mengenai berdana’ (danakatha) selalu merupakan topik pertama Dhamma yang dibahas Sang Buddha dalam ‘penjelasan bertingkat’. Setiap kali Sang Buddha berkotbah kepada orang-orang yang belum menganggap Beliau sebabai guru, Sang Buddha akan memulai dengan menekankan nilai berdana. Baru setelah pendengarnya menghargai kebajikan ini, Sang Buddha akan memperkenalkan aspek-aspek ajaran lain, seperti misalnya moralitas, hukum Karma dan manfaat-manfaat meninggalkan keduniawian. Setelah semua prinsip ini memberikan dampak di pikiran pendengarnya, barulah Sang Buddha menjelaskan tentang penemuan unik para Manusia Yang Tercerahkan, yaitu Empat Kebenaran Mulia.
Memang, berdana tidak dibahas tersendiri pada faktor-faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan juga tidak terdapat diantara prinsip-prinsip lain tentang pencerahan spiritual (bodhipakkhiya dhamma). Kemungkinan besar, berdana tidak dicakupkan di dalam pengelompokan ini karena praktek berdana tidak langsung dan tidak segera menghasilkan munculnya kebijaksanaan dan realisasi Empat Kebenaran Mulia. Di dalam disiplin Buddhis, fungsi berdana itu berbeda. Berdana tidak muncul di puncak Sang Jalan sebagai unsur pokok dari proses pencerahan. Berdana lebih berfungsi sebagai landasan dan persiapan yang memberi penekanan dan secara diam-diam menopang segenap daya upaya untuk membebaskan pikiran dari kekotoran-kekotoran batin.
Memang berdana tidak secara langsung dianggap sebagai faktor Sang Jalan. Namun, kontribusinya di sepanjang Jalan Pembebasan tidak boleh diabaikan atau dipandang rendah. Pentingnya kontribusi ini digaris-bawahi Sang Buddha. Praktek berdana ini terdapat di berbagai rangkaian praktek yang ditentukan Sang Buddha bagi para siswa Beliau. Selain muncul sebagai topik pertama pada penjelasan Dhamma yang bertingkat, praktek berdana juga merupakan unsur pertama dari 3 dasar tindakan bermanfaat. (puñña-kiriyavatthu), sebagai unsur pertama dari 4 sarana yang memberikan manfaat bagi mahluk lain (sangaha-vatthu), dan sebagai unsur pertama dari 10 parami atau ‘kesempurnaan’. Parami merupakan keluhuran tingkat tinggi yang harus dikembangkan oleh semua yang berniat mencapai pencerahan spritual, dan disempurnakan sampai ke tingkat tertinggi oleh mereka yang mengikuti jalan Bodhisatta, untuk mencapai pencerahan spiritual tertinggi, yaitu Ke-Buddha-an sempurna.
Dipandang dari sudut lain, berdana dapat juga diidentifikasikan dengan sifat kedermawanan (caga). Sudut pandang ini menyoroti praktek berdana bukan sebagai tindakan perwujudan luar, di mana suatu objek dipindahkan dari diri sendiri untuk diberikan kepada yang lain. Praktek berdana merupakan kecenderungan dari dalam diri untuk memberi. Lewat tindakan nyata, kecenderungan ini dikuatkan di dalam bentuk berdana, yang memungkinkan adanya berbagai tindakan yang lebih menuntut pengorbanan diri.
Kedermawanan terdapat di antara sifat-sifat penting dari sappurisa, manusia yang baik dan agung, bersama dengan sifat-sifat lain seperti keyakinan, moralitas, keinginan belajar dan kebijaksanaan. Dipandang sebagai sifat kedermawanan, berdana memiliki hubungan yang amat dekat dengan gerak Jalan Sang Buddha. Tujuan Sang Jalan adalah hancurnya keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, sedangkan pengembangan kedermawanan secara langsung akan melemahkan keserakahan dan kebencian, serta membantu keuletan pikiran yang memungkinkan hapusnya kegelapan batin.
Buku ini disusun untuk secara mendalam menjelajahi luasnya kebajikan Buddhis, yaitu pratek berdana ini. Di dalam karya-karya tertulis mengenai Buddhisme terapan, praktek berdana seringkali dianggap sudah diketahui sehingga jarang diketahui sehingga jarang dijelaskan. Buku kecil ini berisikan karya empat siswa sang Buddha yang masih mempratekkan Ajaran, semuanya menggabungkan pengetahuan teks Ajaran Sang Buddha dengan komitmen pribadi pada Sang Jalan. Di sini diuraikan pemahaman mereka mengenai berbagai aspek berdana yang dibahas sehubungan dengan lingkup praktek Dhamma yang lebih luas.
Diakhir buku ini terdapat terjemahaan dokumen yang lebih tua –diskripsi praktek berdana Bodhisatta yang ditulis oleh komentator abad pertengahan, yaitu Acariya Dhammapala. Tulisan ini disarikan dari Risalah Mengenai Parami, yang terdapat di dalam komentar Acariya Dhammapala tentang Cariyapitaka.
I PRAKTEK BERDANA*

Susan Elbaum Jootla

Perbuatan memberi (Pali: dana) merupakan satu langkah awal yang penting di dalam praktek Buddhis. Jika dipraktekkan tersendiri, perbuatan berdana ini merupakan landasan jasa kebajikan atau karma baik. Jika dibarengi moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan, dana akhirnya menghasilkan pembebasan darisamsara – lingkaran tumimbal lahir. Bahkan mereka yang sudah mantap di jalan pembebasan pun tetap selalu mempraktekan dana, karena perbuatan ini membuahkan kekayaan, keelokan dan kegembiraan di dalam sisa hidup mereka. Para Bodhisatta melengkapi danaparami (kesempurnaan dana) sampai tingkat tertinggi, rela memberikan anggota tubuh dan bahkan kehidupan mereka, untuk membantu mahluk-mahluk lain.
Seperti halnya semua perbuatan baik, berdana akan memberikan kebahagiaan pada kita di masa depan, sesuai dengan Hukum Karma tentang sebab-akibat yang diajarkan oleh Sang Buddha. Berdana menghasilkan manfaat di dalam kehidupan sekarang dan dalam kehidupan-kehidupan yang akan datang, tak peduli apakah kita sadar akan kenyataan ini atau tidak. Tetapi jika niat itu dibarengi dengan pemahaman, kita dapat dengan pesat meningkatkan jasa kebajikan yang diperoleh lewat pemberian kita.
Ada 3 faktor yang menentukan besarnya jasa kebajikan yang diperoleh, yaitu: sifat dari motif pendana, kemurnian spiritual si penerima, dan jenis serta ukuran yang didanakan. Karena kita harus mengalami akibat dari perbuatan kita –perbuatan baik membawa akibat baik sedangkan perbuatan buruk membawa akibat buruk– maka masuk akallah bila kita mencoba menciptakan karma baik sebanyak mungkin. Di dalam praktek berdana, hal ini berarti: menjaga agar pikiran tetap murni di dalam berdana, dengan cara memilih penerima yang paling pantas, serta memilih dana yang paling sesuai dan paling menyiratkan kedermawanan yang dapat diupayakan seseorangan.
Faktor Niat (Kehendak)
Niat si pemberi sebelum, selama dan setelah tindakan kedermawanan itulah yang terpenting dari 3 faktor yang terlibat dalam praktek berdana: “Jika kita tidak memiliki kontrol terhadap pikiran, kita tidak memilih dana yang pantas dan penerima yang paling baik. Juga, kita tidak akan mungkin menyiapkan dana itu dengan benar. Mungkin kita malahan cukup tolol untuk merasa menyesal setelah memberikan dana itu.”1Ajaran Buddhis memberikan perhatian khusus terhadap landasan psikologis berdana, dengan membedakan berbagai keadaan pikiran yang membarengi tindakan berdana. Terdapat perbedaan mendasar antara tindakan berdana yang kurang bijaksana dan tindakan berdana yang dibarengi kebijaksanaan. Yang belakangan itu lebih tinggi daripada yang pertama. Satu contoh jenis tindakan berdana sederhana adalah anak yang menaruh bunga di altar rumah hanya karena disuruh ibunya, sementara dia tidak mengetahui makna dari tindakannya itu.
Kedermawanan yang dihubungkan dengan kebijaksanaan sebelum, selama, dan sesudah berdana merupakan jenis berdana tertinggi. Tiga contoh tindakan berdana yang bijaksana adalah : 1) berdana dengan pemahaman yang jelas bahwa menurut Hukum Karma tentang sebab-akibat, tindakan kedermawanan akan memberikan hasil-hasil yang bermanfaat di masa depan; 2) berdana dengan kesadaran bahwa yang didanakan, si penerima, dan si pemberi, semuanya tidak kekal; dan 3) berdana dengan tujuan meningkatkan usaha agar menjadi tercerahkan. Karena tindakan berdana membutuhkan waktu, satu tindakan berdana dapat mengandung salah satu dari 3 jenis pemahaman ini pada setiap tahap proses berdana.
Motif terbaik di dalam berdana adalah niat bahwa tindakan berdana itu memperkuat usaha seseorang untuk mencapai Nibbana. Kebebasan dicapai dengan cara menghapuskan semua kekotoran mental (kilesa) yang berakar pada pandangan keliru tentang adanya ‘aku’ yang mengontrol dan abadi. Jika ilusi ini sudah terhapus, pikiran-pikiran egois tidak lagi dapat muncul. Jika kita bersemangat untuk mencapai kedamaian dan kemurnian tertinggi dengan mempraktekkan kedermawanan, kita akan mengembangkan dana parami– kesempurnaan berdana – yang membangun gudang jasa, dan hasilnya akan berpuncak pada pencapaian pencerahan spriritual. Sementara kita terus maju ke tujuan, niat yang terlibat di dalam tindakan berdana akan membantu kita, dengan membuat pikiran menjadi ulet. Pikiran yang liat merupakan aset penting untuk mengembangkan konsentrasi dan kebijaksanaan, yang merupakan syarat-syarat utama pembebasan.
Para Ariya -orang-orang suci yang telah mencapai salah satu dari 4 tahap kesucian- selalu berdana dengan niat yang murni karena pikiran mereka berfungsi dengan dasar kebijaksanaan. Mereka yang masih berada di bawah tingkat ini kadang-kadang berdana secara sembarangan, tanpa rasa hormat, dengan keadaan pikiran yang tidak baik. Sang Buddha mengajarkan bahwa di dalam praktek berdana, seperti halnya di dalam semua perilaku lewat tubuh dan ucapan, niat yang membarengi perbuatan itulah yang menentukan kualitas moralnya. Jika seseorang mempersembahkan sesuatu pada bhikkhu, tidaklah pantas bila dia melakukannya tanpa sikap penuh hormat. Melemparkan uang kepada pengemis agar terbebas darinya juga dapat dianggap kekotoran dari tindakan berdana. Agar memperoleh hasil yang paling baik, kita harus berpikir dengan seksama tentang relevansi berdana dan penentuan waktunya. Dana yang diberikan melalui perantara -menyuruh pembantu memberikan makanan kepada bhikkhu, bukan memberikan dengan tangan sendiri- juga mengurangi nilai pemberian. Bila orang berdana tanpa menyadari bahwa dia harus mengalami akibat-akibat dari tindakannya, tindakan berdana itu juga berkurang potensinya di dalam memberikan jasa.
Jika orang hanya merencanakan akan berdana tetapi tidak melaksanakan rencananya, jasa yang diperolehnya amatlah kecil. Jadi, orang harus selalu menindaklanjuti niat kedermawanannya dengan segera, kecuali memang ada penghalang. Jika setelah memberikan dana kita merasa kecewa pada tindakan itu, sebagian besar jasa kebajikan dari tindakan itu akan hilang.
Orang yang bermoral akan berdana secara sopan dan penuh hormat. Apakah pemberian itu dilakukan secara spontan atau direncanakan, dia akan memastikan bahwa pilihan waktu dan isi pemberian itu cocok bagi si penerima. Banyak ibu rumah tangga di negara Buddhis mengundang beberapa bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan di pagi hari. Sebelum menyiapkan makanan untuk keluarganya, para wanita ini selalu mempersembahkan makanan kepada para bhikkhu dengan tangan mereka sendiri.
Bisa saja orang berdana karena takut tidak disukai teman-temannya jika dia tidak memberi. Berdana sebagai respon pada tekanan sosial seperti ini akan membuahkan hasil yang lemah walaupun masih bermanfaat. Tindakan-tindakan kedermawanan yang dijalankan untuk memperoleh nama baik juga bersifat ego, sehingga bukan jenis tindakan berdana yang bernilai tinggi. Juga bukan merupakan tindakan terpuji jika orang hanya memberi untuk membalas jasa atau mengharapkan ganjaran. Yang pertama itu bagaikan membayar hutang, sedangkan yang terakhir sama dengan memberi suap.
Si Penerima Dana
Kemurnian si penerima merupakan faktor lain yang membantu menentukan sifat dari buah karma. Makin mulia si penerima, makin besar pula manfaat yang akan datang pada si pemberi. Jadi, baik sekali bila berdana kepada orang-orang tersuci yang ada. Sang Buddha mengajarkan bahwa penerima yang paling pantas adalah para Ariya, orang-orang suci, seperti misalnya Sang Buddha sendiri dan siswa-siswa Beliau yang telah mencapai Jalan dan Hasil di luar duniawi. Kemurnian pikiran mereka -yang dicapai lewat kebijaksanaan- itulah yang mampu menghasilkan manfaat yang melimpah. Oleh karena itu, untuk mencari jasa maksimum, kita harus berdana sebanyak yang kita mampu, dan sesering mungkin, kepada para suci. Berdana kepada bhikkhu yang berusaha mencapai kesucian, atau kepada meditator Buddhis yang hidup menjalankan 5 sila (peraturan moralitas), juga akan memberikan hasil yang amat besar.
Ketika para Ariya menerima persembahan, mereka menerima untuk memberikan kesempatan pada si pemberi untuk mengumpulkan jasa kebajikan. Anagami (Yang-Tidak-Kembali-Lagi) dan Arahat khususnya – yang telah mencapai 2 tahap kesucian tertinggi – telah menghilangkan nafsu terhadap objek indera, sehingga ketika mereka diberi dana, pikiran mereka tetap tidak melekati objek yang diberikan dan penuh dengan kasih sayang kepada si pemberi.
Kisah tentang Sivali di dalam Kitab Komentar Dhammapada2 merupakan contoh tentang jasa kebajikan besar yang bahkan dapat dihasilkan dari dana yang kecil jika dipersembahkan kepada Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha. Pada zaman Buddha Vipassi, penduduk suatu negeri bersaing dengan raja mereka untuk melihat siapa yang dapat memberikan pemberian terbesar pada Sang Buddha dan Sangha. Segala kebutuhan untuk persembahan sudah diperoleh, kecuali madu segar. Maka mereka pun mengirimkan banyak pesuruh yang berbekal banyak uang untuk membeli bahan yang masih kurang itu. Salah satu dari pesuruh ini bertemu dengan seorang penduduk desa yang kebetulan sedang membawa sarang lebah yang baru saja diambil untuk dijual ke kota. Untuk bisa memperoleh madu itu, dia menawarkan seluruh uangnya yang berjumlah 1000 keping (yang nilainya tentu saja jauh melebihi harga sarang lebah itu). Tentu saja orang desa itu terkejut: “Apakah Anda gila? … Harga madu ini amat murah, tetapi Anda menawarkan 1000 keping uang. Mengapa? Coba jelaskan.” Maka pesuruh itu pun menerangkan bahwa madu itu amat berharga karena merupakan bahan terakhir yang dibutuhkan untuk membuat persembahan bagi Sang Buddha yang akan dipersembahkan rakyat. Secara spontan, orang desa itupun menjawab. “Kalau begitu, saya tidak akan menjual sarang lebah ini walaupun dibayar berapa pun. Jika saya memang bisa menerima jasa kebajikan dari persembahan ini, madu ini akan saya danakan saja.” Para penduduk amat terkesan mengetahui keyakinan orang ini, yang dengan amat rela menolak rejeki nomplok seperti itu dan lebih memilih menerima jasa persembahan.
Karena hadiah sederhana pada zaman Buddha Vipassi ini, orang desa itu berkali-kali terlahir di alam surga dan kemudian menjadi pangeran yang mewarisi tahta kerajaan Benares. Di dalam kehidupan terakhirnya, dia menjadi Sivali Thera dan mencapai tingkat Arahat sebagai siswa Buddha Gotama. Bahkan setelah menjadi siswa Sang Buddha pun, hadiah sarang lebah itu masih terus memberikan buah. Untuk menghormati orang yang mempersembahkan hadiah manis berkalpa-kalpa sebelumnya, para dewa menyediakan tempat tinggal dan makanan bagi Sang Buddha dan 500 bhikkhu, termasuk Sivali, ketika berhari-hari mereka berjalan di jalan yang tidak ada penduduknya.
Praktek berdana juga bermanfaat walaupun diarahkan pada orang yang belum maju secara spiritual. Jika niat si pemberi itu baik, maka walaupun si penerima tidak bermoral, si pemberi akan memperoleh jasa kebajikan. Lalu, lewat tindakan berdana ini dia akan memperkuat tekad di dalam dirinya sendiri untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Dana yang dipersembahkan secara mental kepada Ariya Sangha tetapi secara fisik diberikan pada seorang bhikkhu yang moralitasnya buruk pun masih memberikan buah yang besar. Tentu saja, kita tidak boleh berpura-pura menganggap orang yang jelek itu baik. Namun ketika berdana, kita harus amat berhati-hati terhadap sikap kita sendiri, karena sikap kita merupakan faktor yang paling dapat kita kendalikan.
Objek yang Diberikan
Faktor ketiga yang terlibat di dalam tindakan berdana adalah dana itu sendiri, yang dapat berupa materi atau non-materi. Oleh Sang Buddha dikatakan bahwa Dhammadana -dana Ajaran Mulia- melebihi semua dana lain (Dhammmapada 345). Mereka yang membabarkan ajaran-ajaran Beliau -para bhikkhu yang mengulang ajaran dari Tipitaka, para guru meditasi- sering membagikan Kebenaran ini, dan dengan demikian mempraktekkan jenis dana tertinggi. Bila tidak memenuhi syarat untuk mengajarkan Dhamma, kita dapat berdana Dhamma dengan cara lain. Kita dapat mendanakan buku-buku Dhamma atau membiayai terjemahan atau mencetak naskah baru atau naskah langka yang membabarkan Sabda Sang Buddha. Kita dapat membahas Dhamma secara tidak formal dan mendorong orang lain untuk menjalanisila (peraturan moralitas) atau ikut meditasi. Kita bisa menulis penjelasan mengenai beberapa aspek Dhamma demi manfaat orang lain. Memberikan uang atau tenaga di pusat meditasi atau membantu menopang guru meditasi dapat juga dianggap dana Dhamma, karena tujuan dari pusat meditasi dan guru itu adalah penyampaian ajaran-ajaran Sang Buddha.
Jenis pemberian yang paling umum adalah benda materi. Objek materi tidak perlu memiliki nilai uang yang besar untuk bisa menghasilkan hasil yang besar. Kisah tentang Sivali dan sarang lebahnya merupakan contoh. Jika seorang yang miskin memberikan kepada seorang bhikkhu semangkuk nasi yang merupakan makanan satu-satunya untuk hari itu, orang itu melakukan persembahan besar yang bisa membuahkan hasil yang melimpah. Sebaliknya, jika seorang pedagang kaya -yang sudah tahu bahwa akan ada bhikkhu yang datang untuk mengumpulkan dana makanan- memberikan semangkuk nasi, dia akan menuai buah yang kecil. Kita harus berusaha memberikan benda yang kualitasnya setidak-tidaknya sama bagusnya dengan yang kita gunakan sendiri. Di Burma misalnya, orang-orang membeli buah-buahan terbaik di pasar untuk para bhikkhu walaupun buah-buahan ini terlalu mahal untuk mereka makan sendiri.
Pemberian kepada Sangha bisa berupa makanan, jubah, obat-obatan atau vihara, yang bisa beraneka ragam. Batasnya ditentukan oleh peraturan-peraturan Vinaya yang diberikan Sang Buddha ketika dan bila dibutuhkan, untuk menjaga kemurnian dan kekuatan bhikkhu Sangha. Umat awam yang memahami peraturan-peraturan bhikkhu ini dapat memperoleh jasa kebajikan yang besar dengan memberikan benda-benda yang sesuai pada waktu yang sesuai pada Sangha bhikkhu dan bhikkhuni.
Kisah tentang Visakha –umat awam wanita utama Sang Buddha– merupakan contoh yang luar biasa tentang hasil kedermawanan berskala besar3. Ketika Visakha akan dinikahkan, persiapan dan hadiah yang melimpah diatur oleh ayahandanya. Visakha diberi uang, emas, bejana perak dan tembaga, pakaian sutera, ghee dan beras, peralatan pertanian, masing-masing sejumlah 500 kereta. Kemudian ayahnya memutuskan bahwa Visakha juga harus membawa ternak. Maka dia memerintahkan orang-orangnya untuk mengeluarkan binatang dari kandangnya sampai memenuhi suatu kawasan tertentu. Ketika sapi-sapi sudah keluar dan memenuhi kawasan berbatas itu, sang ayah memerintahkan agar gerbang batas kawasan ditutup. “Ternak-ternak di luar kawasan ini cukup untuk putriku.” Tetapi, setelah gerbang digerendel dengan kokoh, banyak sapi jantan dan sapi perah melompati penghalang untuk bergabung dengan ternak yang akan diberikan pada Visakha. Para pembantu tidak dapat memaksa binatang-binatang itu kembali ke kawasan, betapa pun kerasnya mereka berupaya.
Semua ternak itu mengikuti Visakha karena, dalam kehidupan lampaunya pada zaman Buddha Kassapa, Visakha pernah memberikan persembahan secara dermawan berupa 5 jenis produk susu kepada kelompok 20.000 bhikkhu dan samanera. Pada waktu itu, sebagai putri bungsu dari 7 putri Raja Kiki dari Kerajaan Benares, dia terus mendesak para bhikkhu untuk mengambil lebih banyak susu, dadih, ghee dll, sekalipun mereka mengatakan sudah kenyang. Hadiah itu memberinya jasa kebajikan memiliki jumlah ternak yang amat banyak ketika dia terlahir sebagai Visakha dan tak seorang pun dapat mencegah Visakha menuai buahnya.
Dana materi yang bersifat religius termasuk sumbangan membangun vihara atau candi baru, lembar-lembar emas untuk menyepuh payung altar, atau pembelian patung Buddha untuk vihara. Penerima dana-dana seperti itu adalah masyarakat umum – siapa pun yang datang ke vihara atau yang memuja Sang Buddha di hadapan patung Buddha.
Dana duniawi kepada masyarakat termasuk sumbangan ke berbagai organisasi social, sumbangan ke rumah sakit atau perpustakaan umum, menjaga kerapian dan kebersihan taman di lingkungan. Jika orang tidak hanya berdana untuk proyek-proyek semacam itu tetapi juga memberikan tenaga fisik, hasil karmanya bahkan jauh lebih besar. Dana-dana semacam ini dapat sangat berjasa jika didahului, dibarengi dan diikuti oleh niat mental yang murni.
Penyempurnaan Dana
Ada cara berdana yang sama sekali tidak mempedulikan sifat-sifat si penerima, dan bahkan tidak mempedulikan hasil duniawi perbuatan jasa yang diperoleh lewat dana. Kedermawanan ini muncul dari motif meninggalkan keduniawian, dari pikiran untuk menghancurkan kemelekatan terhadap harta milik mereka, dan dengan demikian bertujuan untuk memberikan apa yang paling dicintai dan paling sulit. Bilamana ada kesempatan, para Bodhisatta memberi dengan cara ini, semata-mata hanya untuk memenuhi danaparami, ‘penyempurnaan dana’. Danaparami merupakan yang pertama dari 10 kesempurnaan yang harus mereka kembangkan sampai tingkat tertinggi untuk mencapai ke-Buddha-an. Apa yang dilakukan Boddhisatta untuk melengkapi kesempurnaan dana menuntut jauh lebih banyak daripada yang dapat dilakukan makhluk-makhluk lain. Banyak cerita Jataka yang mengisahkan bagaimana Bodhisatta -sebelum menjadi Buddha Gotama- memberikan barang-barang tanpa sedikit pun memikirkan dirinya sendiri, tanpa memikirkan manfaat-manfaat duniawi yang diakibatkan. Satu-satunya perhatian bagi Bodhisatta di dalam mempraktekkan kedermawanan adalah memenuhi persyaratan ke-Buddha-an.
Keranjang Perilaku4 berisikan 10 kisah kehidupan lampau Bodhisatta itu. Di dalam salah satu kehidupan, dia adalah seorang brahmana bernama Sankha yang melihat seorang Paccekabuddha (seseorang yang sudah tercerahkan tetapi tidak mengajar), yang sedang berjalan tanpa alas kaki di gurun. Sankha berpikir, “Aku menginginkan jasa kebajikan, dan kalau kulihat seseorang yang jelas pantas menerima dana keyakinan, aku harus memberikan dana kepadanya. Kalau tidak, aku akan kekurangan jasa kebajikan.” Maka brahmana itu, yang keadaan jasmaninya sangat rapuh, mempersembahkan alas kakinya kepada Paccekabuddha itu walaupun dia jauh lebih membutuhkannya (Bagian I, Kisah 2)
Pada waktu lain, Bodhisatta itu adalah kaisar agung bernama Maha-Sudassana. Dia mempunyai pesuruh-pesuruh yang tugasnya mengumumkan beberapa kali sehari di ribuan tempat di seluruh kerajaan, bahwa siapa pun yang menginginkan sesuatu akan diberi jika dia datang ke istana dan meminta. “Baik siang maupun malam, jika ada petapa spiritual, dia akan mendapatkan segala yang diinginkannya dan pergi dengan tangan penuh. Maha-Sudassana memberi dengan kedermawanan yang sepenuhnya terbuka, tanpa kemelekatan, tanpa mengharapkan apapun sebagai imbalan, untuk pencapaian Kebangunan-Diri” (I,4).
Untuk mencapai bentuk tertinggi kesempurnaan kedermawanan, Bodhisatta harus mempraktekkan dana yang lebih sulit daripada hanya pemberian materi. Dia harus dengan ikhlas memberikan anggota tubuhnya, anaknya, istrinya, dan bahkan kehidupannya sendiri. Sebagai Raja Sivi, Bodhisatta kita mencongkel keluar kedua matanya dengan tangannya sendiri untuk diberikan kepada Sakka, raja para dewa. Sakka mendatangi Sivi dengan menyamar sebagai orang tua buta, hanya untuk memberinya kesempatan untuk melakukan persembahan yang luar biasa ini. Sivi melakukan hal ini tanpa keraguan sebelum bertindak, tanpa keengganan selama melakukan perbuatan itu, dan tanpa rasa sesal sesudahnya. Dia mengatakan bahwa pemberian ini dilakukan “demi Pencerahan itu sendiri. Dua mata itu bukannya tidak menyenangkan bagiku. Ke-mahatahuan itu berharga untukku, maka aku memberikan mataku” (I,8).
Sebagai Pangeran Vessantara, Bodhisatta memberikan gajah kerajaan yang kuat dan berharga pada penduduk kerajaan saingannya hanya karena mereka memintanya. Sebagai akibat kedermawanan ini, dia, isteri dan kedua anaknya dibuang ke sebuah gunung terpencil. Mereka hidup di hutan. Vessantara merawat anak lelaki dan perempuannya di gubuk mereka, sementara istrinya pergi mengumpulkan buah-buahan liar untuk makanan mereka. Suatu hari, seseorang datang pada Bodhisatta dan meminta ke dua anaknya. Tanpa keraguan, Vessantara memberikan mereka. Kemudian dia pun memberikan juga istrinya yang luhur itu. “Anak-anakku bukannya tidak menyenangkan bagiku, dan Putri Maddi bukannya tidak menyenangkan. Kemahatahuan amat berharga bagiku, maka aku memberikan mereka yang kusayangi” (I.9) Harus dicatat bahwa pada saat itu, istri dan anak dianggap sebagai harta kekayaan seorang laki-laki. Di banyak kehidupan sebelumnya. Putri Maddi telah terinspirasi untuk menjadi istri Bodhisatta dan untuk berbagi dengannya apa pun kesulitan yang harus dialami di sepanjang jalan ke ke-Buddha-an. Buah karma Putri Maddi cocok dengan niat Pangeran Vessantara, dan hal itu membuat dia diberikan pada orang lain. Anak-anak mereka pun pasti telah mengalami akibat dan perbuatan-perbuatan lampau mereka sendiri ketika mereka harus meninggalkan orang tuanya.
Pada kehidupan lain, Bodhisatta terlahir sebagai kelinci yang bijaksana. Kehidupannya berakhir ketika dengan gembira dia melompat ke dalam api setelah mengundang seorang brahmana kelaparan (yaitu Sakka yang menyamar) untuk makan kelinci panggang. Karena kemurnian pikiran Bodhisatta pada waktu melakukan persembahan tertinggi dengan seluruh tubuh dan kehidupannya itu, api yang membakarnya tidak menimbulkan rasa sakit walaupun dagingnya terbakar. Ketika menceritakan kisah itu, beliau mengatakan bahwa ternyata api itu telah menenangkan dan memberinya kedamaian bagaikan air dingin, karena dia telah sepenuhnya mencapai kesempurnaan dana.
Tujuan Tertinggi Berdana
Tujuan jalan Sang Buddha adalah pembebasan dari penderitaan karena tumimbal lahir di dalam samsara. Sang Buddha mengajarkan bahwa dengan mencabut akar-akar kebodohan dan kekotoran mental yang diakibatkannya, kita menuju Nibbana, berhentinya penderitaan secara total. Sebaliknya, berbagai kecenderungan mental yang tidak baik membuat kita melekati apa yang secara salah kita anggap ‘diri’. Kecendetungan ini membuat kita berjuang untuk memuaskan nafsu indera kita yang tak pernah terpuaskan, lewat objek-objek yang pada dasarnya hanyalah sementara sehingga sifatnya tidak memuaskan.
Sang Buddha mengatakan bahwa praktek berdana akan membantu usaha kita untuk memurnikan pikiran. Pemberian yang dermawan, dengan niat baik, akan membantu menghapus penderitaan dengan 3 cara. Pertama, bila kita memutuskan memberikan milik kita pada orang lain, sekaligus kita mengurangi kemelekatan kita pada objek itu. Maka, membiasakan perbuatan berdana akan melemahkan faktor mental keserakahan, yang merupakan salah satu penyebab utama ketidakbahagiaan. Kedua, berdana dengan niat baik akan membuat kita terlahir di alam bahagia di masa mendatang, di lingkungan yang cocok untuk bisa bertemu Buddha Dhamma murni dan mempraktekkannya. Ketiga -dan ini yang paling penting- bila berdana dipraktekkan dengan niat agar pikiran menjadi cukup ulet untuk pencapaian Nibbana, tindakan kedermawanan itu membantu kita mengembangkan moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan (sila, samadhi, pañña) langsung di masa kini. Ketiga tahap ini membentuk Jalan Mulia Berunsur Delapan yang diajarkan oleh Sang Buddha, dan penyempurnaan Sang Jalan mengakibatkan padamnya penderitaan.
Jika kita berdana dengan harapan memperoleh kehidupan berkelimpahan di masa mendatang, tujuan ini mungkin bisa tercapai, asalkan kita terus menyatu dengan prinsip-prinsip perilaku yang bermoral. Menurut Sang Buddha, motivasi berjuang untuk bisa terbebas adalah jauh lebih tinggi daripada motivasi untuk mengarah pada kebahagiaan duniawi di kelahiran yang akan datang. Karena, dana yang diberikan dengan menginginkan kesenangan masih diiringi akar psikologis berupa nafsu keinginan (tanha) yang tidak baik. Jasa kebajikan yang diperoleh lewat pemberian seperti itu habis di dalam kesenangan sementara, dan kebahagiaan duniawi itu membuat kita tetap berputar dalam lingkaran tumimbal lahir, yang pada dasarnya bersifat dukkha, mengandung benih penderitaan. Berdana yang diiringi nafsu keserakahan tidak dapat menghasilkan kebahagiaan yang langgeng, yang terbebas dari lingkaran tumimbal lahir sebagai akibat dari terhapusnya nafsu keserakahan secara total. Pemberian yang tidak ternoda oleh nafsu keserakahan dan kemelekatan hanya dapat dilakukan selama Buddha Sasana, periode ketika Ajaran Buddha masih ada. Maka, bila kita memberi sekarang ini, di mana Ajaran Buddha masih ada, kita harus melakukannya dengan tujuan menghentikan nafsu keserakahan. Dengan berakhirnya nafsu keserakahan, penderitaan pun berhenti, dan itulah pembebasan.

Semoga semua makhluk berbagi
jasa kebajikan
dari dana Dhamma ini

Catatan Kaki :
* Inspirasi dan materi dasar untuk penulisan ini datang dari The Perfection of Generosity (Dana Parami), oleh Saya U Chit Tin, diterbitkan sebagai Dhamma Series No 3 dari Sayagyi U Ba Khin Memorial Trust, U.K., Splatts House, Heddington dekat Calne, Wiltshire, England. Saya sangat berterima kasih pada Saya U Chit Tin dan pada semua guru lain yang berhubungan dengan International Meditation Centres di Heddington, U.K. dan Yangoon, Myanmar.
  1. U Chit Tin, The Perfection of Generosity, Introduction.
  2. E.W. Burlingame, trans. Buddhist Legends (london: Pali Text Society, 1969), 2:212-16
  3. Buddhist Legends, 2:67-68
  4. Cariyapitaka, diterjemahkan oleh I.B. Horner, termasuk dalam Minor Anthologies of the Pali Canon, Part III (London: Pali Text Society, 1975)
II BERDANA MENURUT KITAB PALI

Lily de Silva

Dana, atau perbuatan memberi (berdana), dalam Kitab Pali dipuji sebagai kebajikan yang besar. Memangdana merupakan titik mula pada jalan menuju Pembebasan. Bila berkotbah kepada orang baru, Sang Buddha memulai kotbah bertahap Beliau dengan penjelasan terperinci mengenai keluhuran berdana (danakatha Vin. 1, 15, 18). Dari 3 dasar untuk melakukan tindakan-tindakan berjasa (puññaki-nyavatthu), berdana merupakan unsur pertama. Dua lainnya adalah sila/moralitas dan pengembangan mental (A. iv, 241). Berdana juga merupakan yang pertama dari 10 paramita yang disempurnakan oleh seorang Buddha. Oleh karenanya, di dalam perjuangan menuju pembebasan sebagai Arahat atau Buddha, pada mulanya orang harus mempraktekkan dana.
Fungsi Berdana
Berdana memiliki nilai yang luar biasa pentingnya dalam skema Buddhis untuk pemurnian mental. Karena berdana merupakan senjata yang ampuh untuk melawan keserakahan (lobha). Keserakahan merupakan yang pertama dari 3 akar motivasi tak bajik (akusalamula). Keserakahan selalu diselubungi oleh egoisme dan sifat mementingkan diri sendiri, karena kita mengukuhi kepribadian kita dan kepemilikan kita sebagai ‘AKU’ dan ‘MILIKKU’. Berdana membantu mengikis egoisme. Berdana merupakan penangkal untuk menyembuhkan penyakit egoisme dan keserakahan. “Atasilah noda keserakahan dan praktekkan dana,” penjelasan Devatasamyutta (S. i, 18). Dhammapada mengingatkan kita untuk menaklukkan kekikiran dengan kedermawanan (jinekadariyam danena, Dhp 223).
Memang sulit melatih kebajikan berdana sesuai dengan intensitas keserakahan dan keegoisan seseorang. Di dalam Devatasamyutta, berdana diibaratkan pertempuran (danañ ca yuddhañ ca samanam ahu, S. i, 20). Orang harus memerangi kekuatan-kekuatan jahat yang terkandung di dalam keserakahan, sebelum dia dapat memutuskan untuk memberikan sesuatu yang disayangi dan berguna bagi dirinya sendiri. Latukikopama Sutta menggambarkan sebagaimana sulitnya bagi orang yang kekurangan kekuatan spiritual untuk menyerahkan benda yang sudah lama bersamanya (M. I, 449). Seekor burung puyuh kecil bisa mati jika terjerat tanaman rambat yang sudah busuk sekalipun. Walaupun lemah, tanaman rambat busuk sudah merupakan belenggu yang kuat bagi si burung kecil itu. Sebaliknya, bahkan rantai besi pun bukan merupakan belenggu yang terlalu besar bagi seekor gajah yang kuat. Demikian pula, bagi seseorang yang miskin dan menderita, yang lemah karakternya, sungguh sulit untuk berpisah dengan harta miliknya yang lusuh dan tak seberapa, sementara seorang raja yang kuat karakternya rela menyerahkan kerajaannya begitu dia menyadari bahaya-bahaya keserakahan.
Kekikiran bukanlah satu-satunya penghalang bagi perbuatan memberi. Kecerobohan serta ketidak-tahuan akan Hukum Karma dan kehidupan setelah mati juga merupakan penyebab yang sama sahnya (macchera ca pamada ca evam danam ca diyati, S. i, 18). Jika orang mengetahui manfaat-manfaat moral dari berdana, maka dia akan rajin menggunakan kesempatan yang ada untuk mempraktekkan kebajikan yang besar ini. Suatu saat Sang Buddha pernah mengatakan bahwa seandainya saja orang mengetahui nilai berdana sebagaimana Beliau mengetahuinya, mereka tidak akan makan tanpa berbagi makanan dengan yang lain (lt. hal.18).
Kualitas Pendana
Sutta-sutta (misalnya D. i, 137) menggunakan sejumlah istilah untuk menjelaskan sifat-sifat seorang pendana. Dia adalah orang yang memiliki keyakinan (saddha). Dia memiliki keyakinan dalam kemuliaan kehidupan yang sehat secara moral, keyakinan pada ajaran-ajaran karma dan kehidupan setelah mati. Dia percaya pada kemungkinan penyempurnaan moral dan spiritual manusia. Singkatnya, dia tidak materialistis, dia memiliki keyakinan pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Dia bukan hanya seorang pendana biasa (dayako). Dia adalah seorang pendana yang agung (danapati). Demikian kitab komentar menjelaskan konsep mengenai ‘pendana yang agung’: “Orang yang menikmati sendiri apa yang enak dan memberikan yang tidak enak pada orang lain adalah pendana yang seperti budak bagi pemberian yang dia serahkan. Orang yang mendanakan apa yang sama enaknya dengan yang dinikmatinya sendiri adalah orang yang seperti sahabat bagi pemberian itu. Orang yang berpuas diri dengan apa pun yang diperolehnya tetapi memberikan yang enak pada orang lain adalah pendana yang agung, seorang senior, seorang master bagi pemberian yang diserahkannya.”
Pendana juga digambarkan sebagai pemilik rumah yang terbuka bagi siapa yang memerlukan (anavatadvaro). Dia bagaikan mata air (opanabhuto) bagi para petapa, brahmana, orang miskin, musafir, kelana dan pengemis. Menjadi orang demikian berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang berjasa. Dia banyak memberi (muttacago) dan selalu membagikan berkah-berkahnya kepada yang lain (danasamvibhagarato). Dia adalah dermawan yang memahami kesulitan-kesulitan orang miskin (vadaññu). Dia bersifat lapang hati dan siap menuruti permintaan (payatapani). Dia seorang yang cocok untuk dimintai (yacayogo). Dia bergembira dalam memberikan dana kepada yang membutuhkan (vossaggarato), dan hatinya cenderung memberi (cagaparibhavitacitto). Demikianlah istilah-istilah yang digunakan di dalam sutta-sutta untuk menjelaskan berbagai kualitas pikiran yang dermawan.
Seorang pendana yang mulia adalah orang yang berbahagia sebelum, selama, dan sesudah berdana (A. iii, 336). Sebelum berdana, dia bahagia menanti-nantikan kesempatan untuk melatih kedermawanannya. Selama berdana, dia bahagia karena membuat orang lain bahagia dengan memenuhi kebutuhannya. Setelah berdana, dia puas karena telah melakukan perbuatan yang baik. Sutta-sutta mencatat kedermawanan sebagai salah satu sifat penting yang akan membuat orang menjadi lembut hati (A. iv, 220). Oleh Sang Buddha, orang yang secara benar mencari nafkah kemudian memberikan sebagian kekayaannya kepada yang membutuhkan diumpamakan sebagai orang yang mempunyai dua mata, sedangkan orang yang hanya mengumpulkan kekayaan tetapi tidak melakukan perbuatan jasa diumpamakan sebagai orang bermata satu (A. i, 129-30). Orang kaya yang menikmati hartanya sendiri tanpa berbagi dengan orang lain disebut bagaikan orang yang menggali liang kuburnya sendiri (Sn. 102).
Yang Didanakan
Apa pun yang berguna, praktis dapat diberikan sebagai dana. Niddesa (Nd. 2, 523) mendaftar 14 butir yang cocok untuk diberikan sebagai sumbangan, yaitu jubah, persembahan makanan, tempat berdiam, obat-obatan dan kebutuhan lain bagi yang sakit, makanan, minuman, kain, kendaraan, bunga-bungaan, parfum, minyak, tempat tidur, rumah dan lampu. Untuk mempraktekkan kedermawanan, tidak banyak yang perlu dimiliki, karena orang dapat memberi sesuai dengan sarana yang dimilikinya. Dana yang diberikan dari penghasilan seseorang yang kecil dianggap amat berharga (appasma dakkhina dinna sahasssena samam mita, S. i, 18; dajjappasmim pi yacito, Dhp. 224). Jika di dalam menjalani kehidupan yang benar seseorang hidup dengan amat sederhana, menopang keluarganya sesuai sarananya, tetapi dia tetap menganggap penting berdana walaupun sumbernya terbatas, kedermawanannya berharga lebih dari seribu pengorbanan (S. i, 19-20). Dana yang diberikan dari kekayaan yang diperoleh dengan benar sangat dipuji oleh Sang Buddha (A. iii, 354; lt. hal. 66; A. iii, 45-46). Perumah tangga yang melakukan hal ini disebut sebagai orang yang beruntung di sini dan di kehidupan yang akan datang. Di dalam Magga Sutta dari Sutta Nipata (Sn. hal. 87) Sang Buddha sangat menghargai Magga yang mengatakan bahwa dia mencari nafkah dengan cara yang benar dan kemudian secara dermawan memberikannya kepada yang membutuhkan.
Sekalipun seseorang memberikan sejumlah kecil, namun jika hatinya dipenuhi keyakinan dia dapat memperoleh kebahagiaan di kemudian hari. Vimanavattha memberikan banyak contoh. Menurut Acamadayika-vimanavatthu, dana yang diberikan memang hanya dari kerak nasi, namun karena diberikan dengan bakti yang besar kepada Arahat luar biasa, pahalanya adalah terlahir di istana surgawi yang megah. Dakkhinavibhanga Sutta menyatakan bahwa suatu persembahan menjadi murni karena pemberinya bila si pemberi itu luhur, menjadi murni karena penerimanya bila si penerima itu luhur, menjadi murni karena pemberi dan penerimanya bila ke dua-duanya luhur, dan tidak murni bila keduanya tidak luhur.Dhammadana, pembabaran pengetahuan Dhamma, dikatakan melebihi semua dana lainnya. (sabbadanam dhammadanam jinati, Dhp. 345)
Anguttara Nikaya menyebutkan 5 dana besar yang dipandang tinggi oleh manusia-manusia yang berpikiran luhur sejak dahulu kala (A. iv, 246). Nilainya tidak diragukan di masa lalu, tidak diragukan di masa kini, dan tidak diragukan di masa depan. Para pertapa dan brahmana bijaksana memberikan penghormatan yang amat tinggi pada 5 pemberian ini. Dana yang besar ini terdiri atas praktek Lima Sila yang dijalankan dengan sangat seksama. Dengan melakukan praktek ini, orang memberikan keberanian, cinta kasih dan ketenangan kepada semua mahluk. Jika lewat prilakunya, seseorang dapat memberikan keamanan dan kebebasan dari rasa takut kepada yang lain, itulah bentuk dana tertinggi yang dapat diberikan seseorang, tidak hanya bagi umat manusia, tetapi juga bagi semua mahluk hidup.
Penerima Dana
Sutta-sutta juga menjelaskan tentang orang-orang yang pantas diberi dana (A. iii, 41). Para tamu, kelana, dan yang sakit harus diperlakukan dengan ramah dan pertimbangan yang sesuai. Selama masa kelaparan, orang yang membutuhkan harus dijamu dengan baik. Yang pertama, orang-orang luhur harus dijamu dengan hasil panen pertama yang masih segar. Ada kata-kata yang muncul berulang kali di sutta-sutta (D. i, 137; ii, 345; iii, 76) yang menjelaskan tentang orang-orang yang khususnya membutuhkan kedermawanan umum. Mereka adalah para pertapa (samana), brahmana, kaum miskin (kapana), musafir (addikha), kelana (vanibbaka), dan pengemis (yacaka). Petapa dan brahmana adalah orang saleh yang tidak bekerja mencari uang. Mereka memberikan bimbingan spiritual kepada umat awam, maka sudah sewajarnya bila umat awam menopang mereka. Orang miskin membutuhkan bantuan dari yang kaya agar bisa bertahan hidup, sedangkan yang kaya menjadi makin kaya secara spiritual dengan cara membantu yang miskin. Pada saat fasilitas transportasi sangat sedikit dan fasilitas bagi para kelana tidak cukup terorganisir, publik berkewajiban membantu mereka. Ajaran Buddhis menganggap bahwa orang memiliki kewajiban moral untuk memberikan bantuan kepada semua jenis manusia.
Di dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha menjelaskan –dalam istilah upacara korban- 3 jenis api yang harus diperlakukan dengan hati-hati dan dengan hormat (A. iv, 44). Tiga jenis itu adalah ahuneyyaggi, gahapataggi, dakkhineyyaggi. Sang Buddha menjelaskan bahwa ahuneyyaggi berarti ayah dan ibu, yang harus dihormati dan dirawat. Gahapataggi berarti istri dan anak-anaknya, karyawan dan mereka yang tergantung padanya. Dakkhineyyaggi mewakili orang-orang religius yang telah mencapai tingkat Arahat atau telah masuk ke dalam arus pelatihan untuk melenyapkan noda-noda mental. Ketiganya ini harus dirawat dan dipelihara bagaikan menjaga api korban. Menurut Mahamangala Sutta, memberikan keramahtamahan pada sanak saudara merupakan salah satu dari perbuatan besar yang menjanjikan keberhasilan, yang dapat dilakukan oleh orang awam (Sn. 262-63).
Raja Kosala pernah bertanya kepada Sang Buddha, pada siapa dana harus diberikan (S. i, 98). Sang Buddha menjawab bahwa dana harus diberikan kepada orang-orang yang membuat si pendana bahagia karena memberikan dana itu. Kemudian raja mengajukan pertanyaan lain : kepada siapakah dana itu harus diserahkan agar mendapat buah yang besar? Sang Buddha menganggap 2 pertanyaan itu berbeda, dan menjawab bahwa dana yang diberikan kepada yang luhur akan memberikan buah yang besar. Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa persembahan memberikan buah yang besar jika diberikan kepada petapa-petapa luhur yang telah menghilangkan 5 rintangan mental (nivarana) dan telah mengembangkan kebiasaan-kebiasaan bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, serta pengetahuan dan visi kebebasan (sila, samadhi, pañña, vimutti-ñanadassana).
Di dalam Sakkasamyutta (S. i, 233), Sakka mengajukan pertanyaan yang sama kepada Sang Buddha: dana yang diberikan kepada siapa yang memberikan hasil yang paling besar? Sang Buddha menjawab bahwa apa yang diberikan kepada Sangha memberikan hasil yang besar. Secara khusus Sang Buddha menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘Sangha’ adalah komunitas individu yang suci dan lurus, yang telah masuk pada Sang Jalan dan telah mantap dalam buah kesucian, yang memiliki moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan. Perlu dicatat bahwa menurut Vinaya, ‘Sangha’ berarti sekelompok bhikkhu yang cukup untuk mewakili Ordo bhikkhu dengan berbagai tujuan kerohanian (Vin. i, 319). Tetapi di dalam sutta-sutta, ‘Sangha’ berarti 4 pasang mahluk suci atau delapan individu khusus (cattari purisayugani, attha purisapuggala) yaitu mereka yang berada di jalan menuju Pemasuk-Arus, Yang-Kembali-Sekali-Lagi, Yang-Tidak-Kembali-Lagi, dan Arahat, serta mereka yang telah memperoleh buah-buah darinya.
Magga Sutta (Sn. hal. 86) memberikan penjelasan rinci mengenai keluhuran-keluhuran Arahat untuk menunjukkan kepada siapa dana harus dipersembahkan oleh orang yang menginginkan jasa. Brahmanasamyuta (S. i, 175) menegaskan bahwa dana memberikan hasil terbesar jika dilakukan pada mereka yang mengetahui kehidupan lampau mereka, yang telah melihat surga dan neraka, yang telah mengakhiri kelahiran dan yang telah mewujudkan pengetahuan tertinggi. Maka, Sangha yang terdiri dari manusia-manusia mulia yang sempurna secara moral, sebagaimana dijelaskan di sutta-sutta, merupakan ladang perbuatan jasa (puññakkhetta, M. i, 447). Sebagaimana benih yang ditaburkan di ladang-ladang yang baik dan subur memberikan panen yang melimpah, demikian pula dana yang diberikan kepada orang suci yang sudah mantap di Jalan Mulia Berunsur Delapan memberikan hasil-hasil yang besar (A. iv, 238; i, 162). Dhammapada menegaskan bahwa ladang-ladang memiliki rumput liar sebagai noda; sedangkan noda manusia adalah nafsu keinginan, kebencian, kebodohan batin, dan nafsu jasmani. Karena itu, apa yang diberikan kepada mereka yang telah menghilangkan noda-noda itu akan memberikan hasil yang besar (Dhp. 356-59). Hasil kedermawanan lebih diukur lewat kualitas jasa kebajikan yang diwakili oleh si penerima daripada pleh jumlah dan nilai dari dana yang diberikan.
Anguttara Nikaya (A. iv, 392-95) mencatat pemberian dana yang luar biasa, yang dilakukan oleh Bodhisatta ketika terlahir sebagai seorang brahmana yang bernama Velama. Dana yang melimpah, yang berupa perak, emas, gajah, sapi, kereta, dll. -selain makanan, minuman dan pakaian- dibagikan kepada setiap orang yang datang untuk menerimanya. Tetapi kemurahan hati yang amat besar ini tidaklah amat berharga dilihat dari jasa kebajikannya, karena tidak ada penerima yang mulia. Dikatakan bahwa jasa kebajikannya akan lebih besar bila memberi makan pada satu orang dengan pandangan benar, yaitu Pemasuk-Arus (sotapanna), daripada memberikan dana yang melimpah seperti yang dilakukan oleh Vemala. Jasa kebajikan yang lebih besar lagi adalah bila memberi makan Yang-Kembali-Sekali-Lagi dibandingkan dengan 100 Pemasuk-Arus. Demikian urutan untuk yang tidak-kembali-lagi, Arahat, Paccekabuddha dan Sammasambuddha. Memberi makan Sang Buddha dan Sangha lebih besar jasa kebajikannya dibandingkan dengan memberi makan Sang Buddha sendiri. Jasa kebajikan bahkan bisa lebih besar lagi bila membangun vihara untuk dipakai Sangha dari empat penjuru sepanjang waktu. Berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha masih lebih baik lagi. Menjalankan Lima Peraturan masih lebih berharga lagi. Tetapi masih lebih baik mengembangkan metta, cinta kasih. Dan yang terbaik dari semuanya, adalah kebijaksanaan pemahaman tentang ketidak-kekalan, yang membawa menuju Nibbana.
Motivasi Berdana
Sutta-sutta mencatat berbagai motivasi untuk mempraktekkan kedermawanan. Kitab Anguttara Nikaya (A. iv, 236) merinci 8 motif berikut:
  1. Asajja danam deti: orang yang memberi dengan kejengkelan, atau sebagai cara untuk menyinggung si penerima, atau dengan ide menghina dia1
  2. Bhaya danam deti: rasa takut juga dapat memotivasi seseorang untuk berdana.
  3. Adasi me ti danam deti: orang berdana sebagai balasan terhadap kebaikan yang dilakukan kepada dirinya di masa lalu.
  4. Dassati me ti danam deti: orang juga mungkin berdana dengan harapan dirinya mendapatkan bantuan serupa di masa mendatang.
  5. Sadhu danan ti danam deti: orang berdana karena perbuatan berdana dianggap baik.
  6. Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti: “Aku memasak, sedangkan mereka tidak. Tidaklah pantas bila aku yang memasak tidak memberi mereka yang tidak memasak.” Beberapa orang berdana dengan dorongan motif-motif altruisik semacam ini.
  7. Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbuggachati ti danam deti: beberapa orang memberikan dana untuk mendapatkan reputasi yang baik.
  8. Cittalankara-cittaparikkharattham danam deti: ada orang yang memberikan dana untuk menghiasi dan memperindah pikiran.
Favoritisme (chanda), niat jahat (dosa) dan kegelapan batin (moha) juga tercatat sebagai motif untuk berdana. Kadang-kadang dana diberikan untuk mempertahankan tradisi keluarga yang sudah bertahan lama. Keinginan untuk terlahir kembali di surga setelah kematian merupakan motif dominan lainnya. Bagi beberapa orang, berdana itu menyenangkan sehingga mereka berdana dengan tujuan memperoleh keadaan pikiran yang bahagia (A. iv, 236).
Tetapi dinyatakan di dalam sutta-sutta (A. iv, 62) bahwa dana seharusnya diberikan tanpa pengharapan apapun (na sapekho danam deti). Demikian juga dana seharusnya tidak diberikan dengan kemelekatan terhadap si penerima. Jika orang berdana dengan tujuan menimbun benda-benda untuk digunakan besok, itu merupakan tindakan berdana yang rendah. Jika orang berdana dengan harapan menikmati hasil setelah kematian, itu pun masih merupakan tindakan berdana yang rendah. Motif satu-satunya yang absah untuk berdana haruslah motif untuk memperindah pikiran, untuk membebaskan pikiran dari buruknya keserakahan dan keegoisan.
Cara Berdana
Banyak sutta (misalnya A. iii, 172) yang memberikan penekanan pada cara berdana. Sikap pendana dalam tindakan berdana membuat perbedaan yang sangat besar, yaitu dalam hal niat baik yang ada di antara si pendana dan si penerima tanpa mempedulikan apakah benda yang didanakan itu besar atau kecil.Sakkacam danam deti: dana seharusnya diberikan dengan cara sedemikian sehingga yang diberi tidak merasa dihina, dikecilkan atau tersinggung. Orang yang membutuhkan biasanya meminta sesuatu dengan rasa malu, dan adalah tugas pendana untuk tidak membuatnya merasa lebih malu dan menyebabkan bebannya yang sudah berat menjadi semakin berat. Cittikatva danam deti: dana seharusnya diberikan dengan pertimbangan yang sesuai dan dengan rasa hormat. Si penerima harus dibuat merasa diterima. Hanya bila sesuatu diberikan dengan kehangatan seperti itulah maka muncul keramahan yang saling memperkaya, yang menyatukan si pendana dan yang diberi. Sahattha deti: orang seharusnya memberi dengan tangannya sendiri. Keterlibatan pribadi dalam berdana sangatlah bermanfaat. Ini meningkatkan hubungan antara si pemberi dan si penerima, dan hal ini merupakan nilai sosial berdana. Masyarakat dipersatukan oleh perhatian dan kasih sayang satu sama lain saat kedermawanan dilakukan dengan rasa keterlibatan pribadi yang hangat. Na apavidham deti: orang seharusnya tidak memberikan dana apa yang hanya cocok untuk dibuang. Orang harus berhati-hati untuk memberikan hanya apa yang berguna dan sesuai. Na anagamanaditthiko deti: orang seharusnya tidak memberikan dengan cara yang amat sembarangan sehingga membuat si penerima merasa tidak ingin datang lagi.
Berdana dengan keyakinan (saddhaya deti) banyak dipuji dalam sutta (A. iii, 172). Terutama jika persembahan dana diberikan kepada rohaniwan, orang seharusnya melakukannya dengan rasa hormat dan menghargai, bergembira dalam kesempatan yang diperolehnya untuk melayani mereka yang membutuhkan. Orang seharusnya memberi pada saat yang tepat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak (kalena deti). Pemberian-pemberian yang tepat waktulah yang paling berharga, karena pemberian itu membantu membebaskan penerima dari kecemasan dan tekanan. Orang seharusnya memberi dengan perhatian altruistik, dengan niat tunggal membantu makhluk lain yang sedang berada di dalam kesulitan (anug-gahacitto danam deti). Di dalam berdana orang harus hati-hati untuk tidak menyakiti dirinya sendiri atau yang lain (attanañ ca parañ ca anupahacca danam deti). Berdana dengan pemahaman dan pemilihan yang tepat dipuji oleh Sang Buddha (viceyyadanam sugatappasattham). Berdana merupakan hal yang bijaksana bila pemberian itu menopang kesejahteraan si penerima. Tetapi jika bisa merusak kesejahteraan penerima, orang harus amat berhati-hati. Berdana seperti yang dijelaskan di atas sangat dipuji sebagai dana yang agung (sapurisa-dana). Lebih penting daripada apa yang diberikan adalah cara berdana yang membuat pemberian itu berharga. Orang mungkin tidak mampu memberikan suatu hadiah yang melimpah, tetapi dia selalu dapat membuat si penerima merasa diperhatikan dengan cara berdananya.
Nilai Berdana
Banyak sutta merinci berbagai manfaat berdana. Berdana meningkatkan persatuan sosial dan solidaritas. Berdana merupakan sarana terbaik untuk menjembatani kesenjangan psikologis yang jauh lebih sulit daripada kesenjangan ekonomi materi, yang ada di antara yang mampu dan yang tidak mampu. Magha Sutta menyatakan bahwa kebencian menjadi hilang jika orang-orang sudah mantap dalam kedermawanan (Sn. 506). Orang yang memiliki hati dermawan dicintai oleh orang-orang lain dan oleh banyak orang yang bergaul dengannya (A. iii, 40). Berdana juga mengokohkan persahabatan (Sn. 187).
Dinyatakan bahwa jika seseorang membuat tekad untuk terlahir di alam tertentu setelah memberikan dana, tekad itu akan terpenuhi hanya jika dia luhur, bukan sebaliknya (A. iv, 239). Menurut suatu sutta (A.iv,241-243), jika orang mempraktekkan berdana dan moralitas sampai tingkat yang sangat terbatas dan tidak tahu mengenai meditasi, dia memperoleh kelahiran yang tidak menguntungkan di dalam dunia manusia. Orang yang mempraktekkan perbuatan-perbuatan jasa seperti berdana dan moralitas sampai tingkat yang cukup, tetapi tidak tahu apa pun tentang meditasi, akan terlahir sebagai manusia yang beruntung. Tetapi mereka yang mempraktekkan berdana dan moralitas sampai suatu batas yang tinggi tanpa pengetahuan meditasi apa pun menemukan kelahiran ulang di salah satu alam surga. Mereka melebihi dewa-dewa lain di dalam masa kehidupan, keelokan, kesenangan, kemashuran dan 5 arus kesenangan indera.
Anguttara Nikaya (A. iv, 79) merinci sejumlah manfaat duniawi dari berdana. Orang yang dermawan, bukan yang kikir, mendapatkan simpati dari yang lain. Para Arahat mendekati dia, menerima dana dan berkotbah kepadanya terlebih dahulu. Reputasi baiknya menyebar. Dia dapat menghadiri perkumpulan apa pun dengan percaya diri dan harga diri. Setelah kematian, dia terlahir lagi di keadaan yang membahagiakan. Sutta lain (A. iii, 41) menambahkan bahwa orang yang dermawan akan mendapatkan popularitas; orang-orang dengan karakter yang agung berkumpul dengan dia, bergaul dengan dia, dan dia memiliki kepuasan karena telah memenuhi tugas seorang umat awam (gihidhamma anapeto hoti).
Dikatakan bahwa seorang pemberi dana memberikan kepada orang lain kehidupan, keelokan, kebahagiaan, kekuatan dan kepandaian. Setelah memberikan hal-hal itu kepada yang lain, dia menjadi pewaris dari hal-hal itu sendiri (A. iii, 42). Ide yang sama dicetuskan lewat pernyataan yang tajam bahwa orang menuai apa yang ditanamnya (yadisam vapate bijam tadisam harate phalam, S. i, 227).
Berdana dengan keyakinan menghasilkan tercapainya kekayaan dan keelokan ketika buah pemberian itu muncul. Dengan memberikan dana disertai pemilihan yang tepat, orang juga memperoleh anak, istri, pegawai dan pelayan yang patuh, tahu tugas dan penuh pengertian. Dengan memberikan dana pada saat yang sesuai, orang tidak hanya memperoleh kekayaan yang besar tetapi juga terpenuhinya kebutuhan pada waktunya. Dengan memberikan dana bersama keinginan murni untuk membantu orang lain, orang memperoleh kekayaan yang besar dan kecenderungan untuk menikmati kesenangan-kesenangan indera yang terbaik. Dengan memberikan dana tanpa menyakiti diri sendiri dan orang lain, orang memperoleh keamanan dari bahaya seperti api, banjir, pencuri, raja dan pewaris-pewaris yang tidak disukai (A. iii, 172).
Dana yang diberikan kepada para petapa dan brahmana yang mengikuti Jalan Mulia Berunsur Delapan akan memberikan hasil luar biasa, seperti halnya benih yang ditanam di ladang yang subur, disiapkan dengan baik dan diairi dengan baik akan menghasilkan panen yang berlimpah (A. iv, 238). Dana yang diberikan tanpa pengharapan apa pun dapat membawa seseorang lahir di alam Brahma, dan di akhir alam itu dia bisa menjadi Yang-Tidak-Kembali-Lagi (A. iv, 62).
Dakkhinavibhanga Sutta merinci daftar orang-orang yang dapat diberi persembahan dana serta jasa kebajikan yang dihasilkannya dalam urutan naik. Benda yang diberikan pada binatang memberikan hasil 100 kali lipat. Dana yang diberikan kepada orang biasa yang memiliki kebiasaan moral buruk memberikan ganjaran 1.000 kali lipat. Dana yang diberikan kepada orang yang luhur memberikan ganjaran 100.000 kali lipat. Jika suatu dana diberikan kepada orang di luar sasana Buddhis yang tidak memiliki kemelekatan terhadap kesenangan indera, hasilnya adalah 100.000 kali 10 juta. Jika suatu dana diberikan kepada orang yang berada di jalan Pemasuk-Arus, hasilnya tidak dapat dihitung dan tak dapat diukur. Jadi apa yang dapat dikatakan mengenai dana yang diberikan kepada seorang Pemasuk-Arus (Sotapanna), Yang-Kembali-Sekali-Lagi (Sakadagami), Yang-Tidak-Kembali-Lagi (Anagami), Arahat, Paccekabuddha dan Buddha Yang Telah Sepenuhnya Tercerahkan (Samma Sambuddha).
Sutta yang sama menekankan bahwa dana yang diberikan kepada Sangha sebagai kelompok adalah lebih berharga daripada dana yang dipersembahkan kepada 1 bhikkhu tunggal dalam kapasitas individunya. Dikatakan bahwa jauh di masa depan akan ada bhikkhu-bhikkhu Buddhis –yang hanya memakai kerah kuning sebagai tanda kerohanian yang membedakan- yang tidak bermoral dan berwatak jahat. Jika suatu dana diberikan bahkan kepada bhikkhu-bhikkhu semacam itu atas nama Sangha, pemberian itu memberikan lebih banyak jasa daripada hadiah yang diberikan kepada satu orang bhikkhu dalam kapasitas individunya. Tetapi harus diperhatikan bahwa pernyataan ini saling berlawanan dengan ide yang dicetuskan di tempat lain, bahwa apa yang diberikan kepada seorang yang luhur sangat bermanfaat, sedangkan apa yang diberikan kepada orang yang tidak luhur tidak bermanfaat. Maka di sini jelas bahwa penambahan di atas tidak dapat sama sekali dikesampingkan.
Sang Buddha pernah menjelaskan bahwa membuang air setelah mencuci piring sudah merupakan tindakan yang berjasa asalkan diiringi dengan pikiran yang dermawan: “Semoga partikel-partikel makanan di dalam air cucian ini menjadi makanan bagi makhluk-makhluk di tanah.” Jika demikian halnya, berapa jauh lebih berjasanya memberi makan manusia! Tetapi sutta itu segera menambahkan bahwa adalah lebih berjasa memberi makan seorang yang luhur (A. i, 161).
Sutta yang lain (A. iii, 336) menyatakan bahwa tidaklah mungkin mengukur jumlah jasa kebajikan yang terkumpul jika suatu persembahan diberikan dengan 6 sifat khusus. Tiga dari sifat itu milik si pemberi, sedangkan 3 lainnya milik yang diberi. Si pemberi harus bahagia dengan pikiran berdana sebelum membuat persembahan itu. Dia harus bergembira pada saat memberikan pemberian itu, dan dia harus merasa puas setelah pemberian itu dilakukan. Jadi keluhuran pikiran –tanpa noda keserakahan sebelum, selama, dan setelah persembahan- membuat pemberian itu benar-benar bernilai besar. Si penerima juga harus bebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, atau dia harus sudah mulai berlatih untuk menghilangkan kekotoran mental ini. Jika suatu dana diberikan dengan kualitas-kualitas si pemberi dan si penerima seperti ini, dikatakan bahwa jasa kebajikannya tidak terukur bagaikan air di samudera.
Suatu saat Vesakha memberikan penjelasan yang tinggi mengenai manfaat-manfaat yang diharapkan dari kemurahan hatinya ketika Sang Buddha bertanya kepadanya tentang apa yang dia lihat sebagai keuntungan-keuntungan kedermawanannya yang luar biasa (Vin. i, 293-294). Vesakha mengatakan bahwa ketika dia mendengar bahwa seorang bhikkhu atau bhikkhuni telah mencapai salah satu dari buah kehidupan bertapa, maka jika bhikkhu atau bhikkhuni itu telah mengunjungi Savatthi, dia akan memastikan bahwa bhikkhu atau bhikkhuni itu telah ikut mengambil bagian dalam persembahan yang selalu dilakukannya. Ketika dia mengingat telah sedikit banyak ikut menopang pencapaian spiritualitas bhikkhu atau bhikkhuni itu, kegembiraan yang besar (pamujja) muncul di dalam dirinya. Suka cita (piti) muncul di pikiran yang bergembira. Ketika pikiran bersuka cita, tubuh akan rileks (kayo passambhissati). Ketika tubuh rileks, rasa nyaman (sukha) dialami, dan ini membantu pikiran untuk terkonsentrasi (cittam samadhiyissati). Hal itu akan membantu perkembangan kemampuan spiritual (indriyabhavana), kekuatan-kekuatan spiritual (balabhavana), dan faktor-faktor pencerahan (bojjhangabhavana). Inilah keuntungan-keuntungan yang diharapkan Vesakha dari kedermawanannya. Sang Buddha amat senang mendengar jawaban Vesakha yang bagus itu sehingga Beliau mengatakan “Sadhu, sadhu, sadhu” tanda setuju.
Maka, jelas bahwa orang tidak cukup hanya berdana bila ingin mengakhiri penderitaannya. Anathapindika, yang disebut Sang Buddha sebagai pendana yang paling utama, hanya menjadi Pemasuk-Arus. Secara khusus dikatakan bahwa dana harus dibarengi oleh sila, moralitas, jika dana itu diharapkan memberi hasil yang baik. Walaupun Anathapindika mempraktekkan sila yang tidak ternoda, tidak dinyatakan di mana pun bahwa dia mempraktekkan pengembangan mental atau meditasi (bhavana). Karena itu, walaupun kedermawanannya luar biasa, dia tetap hanya menjadi Pemasuk-Arus.
Ghatikara Sutta (M. ii, 52) mencatat dana unik di mana bahkan si pendana tidak hadir. Ghitikara si pembuat tembikar adalah penyokong utama Buddha Kassapa. Meskipun seorang Yang-Tidak-Kembali-Lagi, dia tidak ingin memasuki Sangha karena dia merawat orang tuanya yang sudah tua dan buta. Dia amat dipercaya Buddha Kassapa karena keluhuran perilaku dan baktinya. Suatu hari Buddha Kassapa pergi ke rumah Ghatikara ketika mengumpulkan makanan, tetapi Ghatikara tidak ada. Sang Buddha menanyai orang tua buta itu di mana si pembuat tembikar. Mereka menjawab bahwa dia sedang keluar, tetapi mengundang Sang Buddha untuk mengambil sendiri dari panci dan wadah makanan dan kemudian makan. Sang Buddha melakukannya. Ketika Ghatikara kembali dan bertanya siapa yang telah mengambil makanan itu, kedua orang tuanya memberitahukan bahwa Sang Buddha datang dan mereka telah meminta Beliau untuk mengambil makanan sendiri. Ghatikara merasa amat gembira mendengar berita ini karena dia merasa bahwa Sang Buddha menaruh kepercayaan yang amat besar kepada dirinya. Dikatakan bahwa suka cita dan kebahagiaan (pitisukha) yang dialaminya tidak hilang selama dua minggu, dan suka cita orang tua dan kebahagiaan mereka tidak luntur selama seminggu penuh.
Sutta yang sama mencatat bahwa pada kesempatan lain atap vihara Buddha Kassapa mulai bocor. Beliau mengirim para bhikkhu ke rumah Ghatikara untuk mengambil jerami, tetapi pada saat itu Ghatikara sedang pergi. Para bhikkhu kembali dan mengatakan bahwa tidak ada jerami yang tersedia di sana kecuali yang ada di atas atap. Sang Buddha menyuruh para bhikkhu itu untuk mengambil jerami dari atap di sana. Para bhikkhu mulai mengambil dari atap dan orang tua Ghatikara yang sudah tua bertanya siapa yang mengambil jerami. Para bhikkhu menjelaskan persoalannya dan orang tua Ghatikara berkata “Ambillah semua jerami”. Ketika Ghatikara mendengar tentang ini, dia sangat tersentuh oleh kepercayaan Sang Buddha yang diberikan kepadanya. Suka cita dan kebahagiaan yang muncul di dalam dirinya tidak hilang selama dua minggu dan suka cita dan kebahagiaan orang tuanya tidak berkurang selama seminggu. Selama tiga bulan rumah Ghatikara tetap tidak beratap, hanya beratapkan langit, namun dikatakan bahwa hujan tidak membasahi rumahnya. Sedemikian besar keluhuran dan kedermawanan Ghatikara.
Seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, dana merupakan perbuatan jasa yang pertama. Dana juga merupakan salah satu dari 4 cara yang baik dalam memperlakukan orang lain (cattari sangahavatthuni, A. iv, 219). Tetapi perlu dicatat bahwa di dalam daftar keluhuran yang dibutuhkan untuk pembebasan, seperti misalnya keluhuran yang terdapat di antara 37 syarat pencerahan (bodhipakkhiya dhamma), dana tidak pernah muncul sebagai keluhuran yang dibutuhkan. Sebagai ganti dana, caga atau kedermawanan dicakupkan di dalam beberapa daftar, seperti misalnya 5 sifat –keyakinan, sila, keinginan belajar, kedermawanan dan kebijaksanaan. Mungkin ada sedikit perbedaan di antara dana dan caga jika dianggap sebagai keluhuran yang tertanam di pikiran. Dana merupakan tindakan memberi yang sangat praktis, sedangkan caga merupakan sikap dermawan yang tercatat di pikiran lewat praktek dana yang berulang-ulang. Secara harfiah, kata caga berarti melepaskan atau meninggalkan, dan ini merupakan indikasi bahwa genggaman erat yang egois yang dimiliki seseorang atas harta bendanya akan dilonggarkan lewat caga. Memberikan dana tetap dapat dilakukan sekalipun motifnya negatif, seperti misalnya pilih kasih (chanda), niat buruk (dosa), rasa takut (bhaya), kegelapan batin (moha), nafsu untuk reputasi yang baik, dsb. Tetapicaga merupakan keluhuran yang positif dari watak yang dermawan.
Ajaran Buddhis mengajarkan proses bertingkat dalam mengosongkan diri sendiri. Proses ini bermula dengan memberikan harta benda eksternal seseorang. Ketika tanda-tanda kecenderungan kedermawanan itu sudah merasuk dan dikokohkan dengan pandangan terang yang semakin dalam mengenai sifat hal-hal sebagaimana adanya, dia menjadi tidak berminat pada kesenangan-kesenangan indera (nibbindati). Pada tahap ini, dia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan mencari penahbisan. Kemudian muncul pengosongan masukan indera dengan cara menjaga pintu indria. Melalui meditasi (bhavana), dia mengosongkan dirinya dari kekotoran batin yang berakar dalam dan mengisi dirinya dengan sifat-sifat luhur yang positif. Tetapi seluruh proses mencabut keluar hal-hal negatif ini bermula dengan dana, praktek memberi.
Catatan Kaki :
  1. Meskipun terjemahan PTS adalah “seseorang memberi dana tanpa diminta,” ketepatan terjemahan ini dipertanyakan. Sutta itu tampaknya mencatat motivasi berdana dalam urutan yang makin halus. Jika terjemahan PTS ini diterima, susunannya terganggu. Lagipula, asajja adalah kata benda dariasadeti, yang berarti memukul, menyerang, menyerbu, menghina.
III BERDANA DARI HATI

M.O’C. Walshe

Berdana muncul dengan sangat alami pada diri beberapa orang –mereka suka berdana dan tidak merasa bahagia jika tidak dapat melakukannya. Walaupun jelas orang dapat berdana secara tolol, pada umumnya berdana merupakan perbuatan yang sangat baik dan memberikan jasa. Berdana dikenal, mungkin, di semua agama. Di dalam ajaran Kristiani dikatakan bahwa perbuatan memberi lebih diberkati daripada menerima, dan di dalam ajaran Islam ada perintah yang positif untuk memberi sebagian dari kekayaan seseorang kepada fakir miskin.
Mungkin kita bisa mulai dengan secara objektif menghadapi pokok persoalan yang membingungkan sementara orang, yaitu pertanyaan mengenai berdana kepada Sangha. Di dalam apa yang sering di dengar umat Buddha lewat pembacaan paritta, atau bahkan yang mereka ucapkan sendiri, Sangha digambarkan sebagai anuttaram puññakkhettam lokassa, ‘ladang perbuatan jasa yang tiada taranya bagi dunia.’ Ini berarti bahwa jasa yang diperoleh dengan memberi kepada Sangha sungguh tidak ada bandingnya. Tentu saja, tidak semua umat yang mendengar atau ikut membaca paritta ini tahu apa arti kata-kata itu. Tetapi mereka yang tahu, orang Barat yang beragama Buddha atau para simpatisan Buddhis, kadang-kadang bereaksi dengan kejengkelan, karena menganggap kata-kata itu tidak bijaksana atau apalah! Bagi beberapa orang yang latar-belakangnya agak terpengaruh tradisi Kristen Lutheran, hal ini mengingatkan pada pelecehan yang ditolak oleh Martin Luther di Gereja pada zamannya. Ketika itu, ‘tindakan-tindakan yang baik’ sangat dihubungkan dengan pandangan umum yang mendukung para pendeta dan rohaniwan. Padahal, sering kali mereka sangat malas dan banyak korupsi, dengan gaya yang sudah terbiasa.
Kekuatiran semacam itu mungkin dapat dipahami, tetapi penjelasan yang benar dapat meluruskannya. Dan hal itu tidak akan mengakar asalkan Sangha secara jelas dilihat berperilaku baik (supatipanno). Komunitas Buddhis tradisional terdiri dari 4 kelompok: bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria dan umat awam wanita. Walaupun Sangha Bhikkhuni asli telah lenyap, masih ada wanita-wanita yang menjalani kehidupan suci dan praktis hidup sebagai bhikkhuni. Dan ada indikasi yang jelas bahwa jumlah mereka akan tumbuh. Hubungan antara 2 kelompok yang pertama dan 2 yang terakhir adalah hubungan simbiosis. Bagaimanapun juga, Sangha memiliki pemberian yang tak terukur nilainya, yaitu dana Dhamma.Sabbadanam dhammadanam jinati: “Dana Dhamma melebihi segala dana lain” (Dhp. 354). Anggota Sangha juga memiliki tugas yang tidak dapat dihindari, yaitu hidup sesuai dangan Vinaya dan senantiasa berusaha untuk mencapai pencerahan spiritual. Sebenarnya hanya dengan melakukan itulah mereka dapat menyatakan sebagai ‘ladang perbuatan jasa yang tiada taranya’. Jika mereka gagal dalam tugas ini, tidak saja mereka mengecewakan diri mereka sendiri, mereka juga mengecewakan umat awam yang menopang mereka. Seorang bhikkhu atau bhikkhuni yang tidak dapat menjalankan peraturan sebaiknya, dan di dalam kasus-kasus tertentu harus meninggalkan Sangha. Paling tidak, itulah sebagian dari harga yang harus dibayar karena melecehkan kedermawanan para pendukung awam.
Disebutkan di atas bahwa menurut Alkitab Kristiani, memberi adalah lebih baik daripada menerima. Menarik untuk dicatat bahwa, seperti halnya di dalam praktek metta-bhavana, meditasi cinta kasih universal, ada metode aktual untuk memenuhi perintah Kristen-Judaeo yang sulit, yaitu “cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri.” Demikian pula Ajaran Buddhis dapat memberikan arti teknis yang tepat untuk pernyataan Alkitab ini. Jika kita menerima sesuatu yang menyenangkan, di dalam Ajaran Buddhis hal itu dianggap sepagai vipaka (buah), hasil dari perilaku sebelumnya yang memberikan jasa. Pengalaman itu menyenangkan sementara masih berlangsung, tetapi jika sudah berakhir, kebajikan itu pun hilang. Sedangkan berdana adalah kusala kamma, tindakan terampil, yang akan memberikan buah atau hasil yang menyenangkan bagi si pemberi. Dengan demikian, dapat dengan jelas dikatakan bahwa memberi memang lebih ‘diberkahi’ daripada menerima. Benar, ‘berkah’ ini tetap saja masih bersifat duniawi dan terbatas, karena merupakan ‘perbuatan jasa bagi dunia’ (lokassa). Tetapi karena semua tindakan kita merupakan bentukan dari kebiasaan, berdana satu kali mendorong kita untuk berdana lagi, sehingga hasilnya cenderung kumulatif. Tentu saja jenis kusala kamma ini juga dapat menuju ke hal-hal lain, sehingga tidak heran bila dana didaftar sebagai yang pertama di antara 10 parami, atau ‘kesempurnaan’, yang muncul bahkan sebelum sila atau moralitas. Memang, seseorang yang tidak bermoral pun tetap mungkin bisa dermawan!
Almarhun Dr. I.B. Horner memilih 10 cerita Jataka untuk melukiskan 10 kesempurnaan, di dalam sebuah buku kecil yang secata luas digunakan sebagai pengantar bacaan Pali, dan dia menggunakan cerita yang indah mengenai pengorbanan diri seekor kelinci (No. 316) untuk melukiskan kesempurnaan berdana. Namun cukup aneh bahwa setidak-tidaknya bagi pikiran Barat, cerita Jataka yang paling populer mengenai tema ini adalah yang terakhir, yaitu Vesantara Jataka (No. 547), dimana Bodhisatta memberikan segalanya termasuk, akhirnya, istri dan anaknya –suatu moral yang jelas meragukan, jika dipikir! Tetapi di Thailand, cerita ini dipilih dan secara teratur digunakan sebagai subjek bacaan dan khotbah khusus untuk kemajuan spiritual umat awam.
Berdana merupakan sesuatu yang muncul dari hati, dan seperti yang sudah saya katakan, ada orang-orang yang suka berdana hanya untuk berdana –dan ini bagus asalkan berdana itu diimbangi dengan kebijaksanaan. Tentu saja ada orang-orang yang enggan memberi, dan sering kali mereka ini juga ternyata sulit mengatakan “tolong”, “terima kasih”, “saya minta maaf”, dan sebagainya. Untuk jenis manusia ini, meditasi brahmavihara mengenai cinta kasih dan kasih sayang akan sangat bermanfaat, untuk membuat hati mereka terbuka.
Akhir-akhir ini di Inggris ada contoh yang luar biasa mengenai kekuatan berdana dari hati, dan bagi banyak orang tampaknya itu merupakan suatu sumber yang tidak terduga. Tersentuh oleh situasi orang-orang kelaparan di Ethiopia, bintang rock Bob Geldof mengorganisir konser internasional fantastis untuk mengumpulkan dana bantuan, dan ternyata jutaan poundsterling terkumpul. Dengan cara ini, dan dengan bantuan teknologi modern, terjadi tindakan kedermawanan yang paling spektakuler dalam sejarah. Kedermawanan ini menyentuh hati berjuta-juta orang dan meninggalkan bukan saja batasan politik dan agama, tetapi juga perbedaan yang ada di antara mereka yang kecanduan bentuk hiburan ini dan mereka yang tidak menyukainya.
Mungkin hampir tidak perlu ditunjukan bahwa dana harus dipraktekkan dengan bijaksana, dan seperti banyak hal lain, juga terkena peraturan jalan tengah. Misalnya, membesarkan anak dengan memberinya segala yang diinginkannya –atau yang dia pikir diinginkannya. Berlawanan dengan pendapat beberapa teori modern akhir-akhir ini, sebenarnya tidak ada jeleknya kalau anak manja kadang-kadang dibuat frustasi! Begitu juga, bukan merupakan jenis berdana tertinggi jika orang mengharapkan sesuatu sebagai imbalannya –termasuk kelahiran yang nyaman di alam surgawi! Dana seperti itu pada dasarnya berakar pada kemelekatan, sehingga hanya memiliki nilai karma yang terbatas.
Sebenarnya, salah satu manfaat sejati bagi si pemberi tepatnya adalah bahwa tindakan berdana spontan itu merupakan cara yang sangat halus untuk membantu menanggulangi kemelekatan. Dan itulah yang menjadi tujuan dari cerita Vessantara. Kami orang Barat berpikir tentang istri yang malang dan kelurga yang malang yang ‘dikorbankan’ oleh Bodhisatta (walaupun tentu saja kisah itu berakhir bahagia dan mereka dikembalikan kepadanya, di dalam cerita itu!). Sebenarnya, tujuannya adalah menganggap mereka sebagai objek kemelekatan, sehingga harus dilepaskan. Sesungguhnya, walaupun kisah ini populer, para sarjana modern menganggapnya sama sekali bukan cerita Buddhis, dan agak tidak tepat bila diambil untuk memberikan moral ‘Buddhis”.
Makin kita pertimbangkan pertanyaan dana, makin banyak aspek yang muncul, dan kita melihat bahwa ada banyak cara berdana, dengan benar atau sebaliknya. Kita bisa menutup dengan contoh lucu dari kitab Pali mengenai hasil-hasil berdana yang relatif tidak bermanfaat. Di dalam Payasi Sutta (No. 23 dari Digha Nikaya) kita dapati debat antara Pangeran Payasi yang skeptis, karena tidak percaya adanya kehidupan setelah kematian, dan Yang Mulia Kumara Kassapa. Setelah mendengarkan serangkaian parabel yang indah dari bhikkhu itu, Payasi menyatakan dirinya menjadi pengikutnya dan memutuskan untuk memberikan kedermawanan ‘bagi para pertapa dan brahmana, musafir, pengemis dan yang membutuhkan.’ Kemudian dia menunjuk brahmana muda Uttara untuk mengorganisir pembagian itu. (N.B. Ini adalah versi yang benar –ada kesalahan di dalam terjemahan Rhys Davids tentang hal ini.) Uttara mengeluh karena makanan dan pakaian yang harus dia bagikan memiliki kualitas yang sedemikian buruk sehingga Payasi sendiri tidak mau menyentuhnya. Maka akhirnya Payasi menyuruhnya untuk memberikan “makanan seperti yang saya makan dan pakaian seperti yang saya kenakan.” Di akhir sutta dijelaskan tentang ganjaran-ganjaran yang diterima kedua orang itu setelah kematian. Payasi, yang melakukan kedermawanan dengan enggan, memang terlahir lagi di alam surgawi, tetapi di alam dewa yang paling rendah, yaitu alam Empat Raja Agung, di mana dia bertempat tinggal di istana Serisaka yang kosong (vimana). Di sini dia dikunjungi Yang Mulia Gavampati, seorang arahat yang memiliki kebiasaan beristirahat siang di alam dewa tingkat rendah. Dan cerita itu dibawa kembali ke bumi. Tetapi Uttara, yang telah mengorganisir lagi dana itu, dan yang memberi dari hati, terlahir lagi di alam surga yang lebih tinggi, di antara Tiga Puluh Tiga Dewa.
Mungkin beberapa orang Barat akan berdana agar dilahirkan kembali di alam Tiga Puluh Tiga Dewa, dan mungkin satu-satunya ganjaran yang diharapkan oleh banyak orang adalah kelegaan hati nurani: sadar akan adanya kebutuhan tertentu. Kasus Ethiopia merupakan contoh yang sangat menonjol, di mana orang-orang merasa tidak dapat hidup dengan diri mereka sendiri jika mereka tidak memberi sesuatu. Ini tentu saja lebih baik daripada mengharapkan ganjaran surgawi, tetapi hati nurani yang bersih juga mungkin bisa kadang-kadang dibeli terlalu mudah. Yang paling baik adalah membiarkan berdana itu sendiri sudah sebagai ganjaran, dan berhenti di sana!
IV KEDERMAWANAN:

DIMENSI INTERNAL

Nina Van Gorkom

Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga, demikian pula banyak kebijakan harus dilakukan oleh yang terlahir sebagai makhluk hidup.
Dhammapada, 53
Memberikan benda-benda yang berguna dan menyenangkan memang merupakan kedermawanan. Tetapi jika kita hanya memperhatikan tindakan-tindakan keluar saja, kita tidak tahu apakah sebenarnya kita benar-benar dermawan secara tulus atau tidak. Maka kita harus lebih banyak belajar tentang pikiran yang memotivasi segala tindakan kita. Kedermawanan sejati memang sulit. Pada waktu kita memberi, mungkin buah-buah pikir kita tidak semuanya baik dan luhur. Motif-motif kita untuk berdana mungkin tidak semuanya murni. Kita bisa memberi dengan motif egois – mengharapkan sesuatu sebagai imbalan, mengharapkan disukai oleh si penerima, ingin dikenal sebagai orang yang dermawan, dll. Dapat kita lihat bahwa ada berbagai buah pikir yang berbeda pada momen-momen yang berbeda. Beberapa buah pikir benar-benar dermawan, beberapa memiliki motif lain pula.
Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada pikiran atau jiwa abadi yang mengalami berbagai pengalaman. Pengalaman-pengalaman kita sendiri merupakan monen-momen kesadaran yang berbeda, yang muncul pada satu saat dan kemudian segera lenyap. Masing-masing momen kesadaran yang muncul dan lenyap itu diikuti oleh momen kesadaran berikutnya. Jadi, kehidupan kita merupakan rangkaian momen kesadaran yang muncul secara berturutan. Lambat laun kita dapat belajar membedakan berbagai jenis kesadaran. Ada kesadaran yang tidak bajik atau tidak terampil, ada kesadaran yang bajik atau terampil, dan selain itu ada pula jenis kesadaran yang bukan bajik tetapi bukan pula tidak bajik. Hanya ada satu jenis kesadaran yang muncul setiap satu saat, tetapi masing-masing jenis diiringi beberapa faktor mental. Jenis-jenis kesadaran yang tidak bajik dibarengi dengan faktor-faktor mental yang tidak bajik, seperti misalnya kemelekatan, kekikiran, iri hati atau penolakan/kebencian. Jenis-jenis kesadaran yang bajik diiringi faktor-faktor mental yang indah, seperti misalnya kedermawanan, kebaikan hati atau kasih saying.
Tiga dari faktor-faktor mental yang tidak bajik itu adalah ‘akar kejahatan’1. Ketiganya –yang merupakan fondasi kuat bagi jenis-jenis kesadaran yang tidak bajik– adalah kemelekatan atau keserakahan (lobha), penolakan atau kemarahan (dosa), dan kebodohan (moha).
Masing-masing dari faktor yang tidak bajik ini memiliki banyak corak dan tingkat. Kita mungkin sadar akan adanya kemelekatan jika kita serakah akan makanan atau jika kita bernafsu memperoleh harta benda orang lain. Tetapi mungkin kita tidak sadar bahwa kemelekatan juga ada ketika kita menikmati pemandangan alam atau musik yang indah. Di masyarakat, kemelekatan yang halus dianggap baik, asalkan tidak merugikan yang lain. Yang tidak bajik ini lebih luas daripada yang biasa kita sebut ‘tidak bermoral’, mencakup keadaan-keadaan yang lebih lemah daripada yang tidak bermoral. Kita tidak dapat memaksakan diri sendiri untuk tidak menyukai hal-hal yang indah; ada kondisi-kondisi bagi munculnya kemelekatan. Tetapi kita dapat belajar mengetahui perbedaan antara momen-momen yang bajik dan momen-momen yang tidak bajik. Sebenarnya keegoisan tetap ada sekalipun pada momen kemelekatan yang halus.
Momen-momen kesadaran ini berbeda dari momen tanpa-diri yang diiringi kedermawanan, ketika kita tidak memikirkan kenikmatan diri sendiri. Kemelekatan tetap ada dari saat ke saat, ketika kita berdiri, bergerak ke sana kemari, meraih sesuatu, makan atau pergi tidur. Kita berpikir tentang diri sendiri dan ingin memperoleh hal-hal yang menyenangkan untuk diri sendiri. Kita berharapkan orang lain bersikap baik terhadap kita, dan ini pun merupakan bentuk kemelekatan.
Kita bisa bertanya-tanya di dalam hati apakah kemelekatan kepada sanak saudara itu bajik. Sebenarnya kemelekatan kepada sanak saudara pun tidak bajik; karena ini berbeda dari cinta kasih murni, yang bersifat bajik. Bila kita melekat pada perasaan menyenangkan yang diperoleh dari adanya sanak saudara atau teman-teman tersayang, berarti ada kemelekatan. Namun bila kita murni memikirkan orang lain, kita tidak memikirkan diri sendiri, maka pada saat itu ada kesadaran yang bajik. Sayangnya kita sudah amat terbiasa hidup bersama kemelekatan sehingga kita tidak pernah menyadari bedanya momen-momen kemelekatan dengan momen-momen cinta kasih yang tidak egois. Jenis-jenis kesadaran yang berbeda itu muncul satu setelah lainnya dengan kecepatan yang amat tinggi sehingga selama kita belum mengembangkan pemahaman akan hal ini, kita tidak akan melihat bahwa jenis kesadaran itu telah berubah.
Akar penolakan yang tidak bajik juga memiliki banyak tingkat. Penolakan bisa berupa rasa tak-nyaman yang halus atau kemarahan atau kebencian yang kasar. Penolakan tidak muncul pada saat yang bersamaan dengan kemelekatan. Ketika ada kemelekatan, kesadaran menyukai objek yang dialaminya, dan ketika ada penolakan, kesadaran tidak menyukai objek itu. Kemelekatan muncul dengan jenis-jenis kesadaran tertentu, bukan dengan semua jenis. Demikian juga penolakan.
Kebodohan batin adalah akar tak-bajik yang muncul bersama dengan semua jenis kesadaran yang tidak bajik. Inilah akar dari semua kejahatan. Kebodohan tidak dapat membedakan apa yang bajik dan apa yang tidak bajik. Kebodohan sama sekali tidak tahu tentang apa yang nyata. Bilamana ada kemelekatan dan penolakan, pada saat itu juga sebenarnya kebodohan ada.
Tiga akar yang indah adalah: non-kemelekatan alias kedermawanan, non-penolakan alias kebaikan hati, dan pemahaman alias kebijaksanaan. Setiap jenis kesadaran yang bajik berakar pada non-kemelekatan dan non-penolakan, dan ia dapat juga berakar pada pemahaman. Setiap akar yang indah ini mempunyai banyak tingkat. Tanpa bantuan non-kemelekatan dan non-penolakan, kesadaran yang bajik tidak mungkin memunculkan tindakan yang bermotivasi kedermawanan. Kemelekatan tidak bisa berada pada saat yang sama dengan kedermawanan. Jika orang benar-benar dermawan, dia akan memberi tanpa pilih kasih dan tidak membatasi kedermawanannya hanya bagi orang yang dia suka atau bagi anggota keluarganya saja. Tujuan dari segala jenis kebajikan haruslah hanya untuk menghapus kekotoran batin, untuk membebaskan diri dari keegoisan. Sang Buddha memang mengajarkan kebijaksanaan yang dapat menghilangkan kemelekatan terhadap ide tentang diri. Tetapi jika orang tidak belajar untuk terbebas dari kekikiran dan jika dia tetap melekati harta bendanya, dia tidak akan dapat melepaskan kemelekatan terhadap diri.
Bila kita melihat bahwa kedermawanan sejati itu bermanfaat sedangkan keegoisan dan kekikiran merugikan, kita akan mau memiliki lebih banyak saat-saat kedermawanan. Tetapi walaupun ada keinginan demikian, kita lihat bahwa berbagai jenis kesadaran yang tidak bajik sering muncul. Kemudian kita menjadi kecewa dengan diri kita sendiri. Maka, kita harus memiliki pemahaman tentang apa yang mengkondisikan munculnya kesadaran yang tidak bajik itu. Kita pasti penuh dengan kemelekatan, penolakan serta kebodohan batin di masa lalu, bahkan di dalam kehidupan-kehidupan lampau. Berbagai kecenderungan semacam itu sudah mengakar dalam. Kecenderungan-kecenderungan itu telah menumpuk. Apa yang sudah lampau memang sudah lewat, tetapi kecenderungan-kecenderungan tak-bajik yang telah tertimbun dapat mengkondisikan munculnya kesadaran tak-bajik di masa kini.
Untungnya yang kita kumpulkan bukan hanya kecenderungan-kecenderungan terhadap kejahatan melainkan juga kecenderungan-kecenderungan ke arah yang bajik. Itulah sebabnya bisa juga ada saat-saat kedermawanan dan kebaikan hati pada saat ini. Ketika suatu jenis kesadaran yang tidak bajik muncul, kita menumpuk lebih banyak ketidak-bajikan; ketika suatu jenis kesadaran yang bajik muncul, kita menumpuk lebih banyak kebajikan.
Sang Buddha mengajarkan berbagai cara untuk mengembangkan berbagai kebaikan hati. Bila kita mempelajarinya, berarti terciptalah kondisi-kondisi untuk melakukan lebih banyak kebajikan. Kesempatan untuk kedermawanan tidak hanya ada pada waktu kita memberi, melainkan juga sebelum pemberian itu sendiri, ketika kita mencoba memperoleh benda-benda yang ingin kita berikan, dan juga sesudahnya ketika kita mengingat kembali pemberian kita. Jika kita jujur dengan diri sendiri, kita dapat melihat bahwa sebelum, selama, dan setelah memberi, kesempatan kedermawanan itu sering dirusak oleh kesadaran yang tidak bajik. Mungkin kita merasa lelah ketika harus membeli atau menyiapkan pemberian, lalu penolakan atau kebencian pun muncul. Sementara kita memberikan dana, si penerima mungkin tidak merasa berterima kasih dan tidak memberikan respon terhadap pemberian kita seperti yang kita harapkan, lalu mungkin kita merasa kecewa.
Tetapi jika kita memiliki pemahaman yang benar mengenai apa yang bajik, kita seharusnya memusatkan perhatian hanya untuk mengembangkan keadaan-keadaan pikiran yang bajik, dan tidak meladeni reaksi-reaksi orang lain. Kebajikan adalah kebajikan, dan tak ada orang lain yang dapat mengubah kesadaran bajik yang muncul. Sebelum kita mempelajari Ajaran Sang Buddha, kita tidak melihat kedermawanan dengan cara ini, kita tidak memperhatikan momen-momen kesadaran. Melalui Ajaran Sang Buddha-lah kita belajar tentang hal-hal sebagaimana adanya. Setelah berdana, kesempatan untuk mengingat kembali kedermawanan yang kita lakukan dengan kesadaran yang bajik bisa menjadi sia-sia karena kesadaran yang tidak bajik. Pertama-tama mungkin kita dermawan, tetapi setelah itu kita mungkin merasa bahwa pemberian itu terlalu mahal dan menyesal karena telah mengeluarkan yang sekian banyak.
Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada diri yang dapat memaksakan kekuasaannya pada berbagai jenis kesadaran yang muncul; kesadaran itu muncul karena kondisi-kondisi yang cocok. Melalui Ajaran-ajaran Sang Buddha kita dapat mempelajari berbagai jenis kesadaran dan kecenderungan-kecenderungan kita yang sudah menumpuk. Jadi akan muncul lebih banyak pemahaman mengenai apa yang nyata, dan hal ini pun bajik. Jika orang telah menumpuk kecenderungan ke arah kekikiran, maka dia sulit menjadi dermawan. Tetapi melalui pemahaman tentang apa yang diajarkan Sang Buddha, kecenderungan itu dapat diubah.
Kita membaca di dalam Kitab Komentar untuk Sudhabhojana Jataka (cerita mengenai kelahiran-kelahiran terdahulu Sang Buddha, Jataka, buku V, no. 535) tentang seorang bhikkhu di zaman Sang Buddha mempraktekkan kedermawanan tertinggi. Dia memberikan makanannya pada yang lain, dan jika dia menerima minuman yang cukup untuk mengisi cekungan tangannya, tetap saja dia akan memberikannya kepada yang lain, tanpa adanya keserakahan. Tetapi dulunya dia amat kikir sehingga “dia tidak akan memberikan bahkan setetes minyak seujung helai rambut pun”. Di dalam salah satu kehidupan lampaunya, sebagai Kosiya, dia amat kikir. Suatu hari dia amat ingin makan bubur beras. Ketika istrinya berkata bahwa dia akan memasak bubur bukan hanya untuk Kosiya saja tetapi juga untuk semua penduduk Benares, Kosiya merasa “seolah-olah kepalanya dihantam dengan tongkat.” Kemudian istrinya mengatakan akan memasak bagi penduduk di jalan mereka, lalu hanya untuk penghuni rumahnya, hanya untuk keluarga, hanya untuk mereka berdua, tetapi semua ide itu ditolak Kosiya. Kosiya ingin istrinya memasak bubur untuk dirinya sendiri saja, di hutan, sehingga tak ada orang lain yang dapat melihatnya. Sang Bodhisatta, yang pada saat itu adalah Dewa Sakka, ingin menyadarkan Kosiya. Dewa Sakka datang dengan empat pembantunya yang menyamar sebagai brahmana. Satu demi satu mereka mendekati si kikir itu untuk meminta sedikit bubur. Sakka lalu mengucapkan syair berikut ini, memuji kedermawanan (387):
Dari yang sedikit orang harus memberikan sedikit, dari yang sedang demikian pula,
Dari yang banyak pun diberikan banyak: tentang tidak memberikan apa-apa tak ada pertanyaan yang bisa muncul.
Kuberitahukan kepadamu, Kosiya, berikan dana yang menjadi milikmu:
Jangan makan sendiri saja, tidak ada kebahagiaan di dalam diri orang yang makan untuk dirinya sendiri.
Dengan kedermawanan engkau akan naik menuju jalan mulia yang agung.
Kosiya dengan enggan menawarkan sebagian dari buburnya. Kemudian salah satu brahmana itu berubah menjadi anjing. Anjing itu kencing dan setetes air kencingnya mengenai tangan Kosiya. Kosiya pergi ke sungai untuk membasuh, namun kemudian anjing itu kencing ke panci masak Kosiya. Ketika Kosiya mengancamnya, dia berubah menjadi ‘kuda darah’ dan mengejar Kosiya. Sakka dan pembantu-pembantunya lalu berdiri di udara, dan dengan kasih sayangnya Sakka berkhotbah kepada Kosiya untuk memperingatkan dia akan tumimbal lahir yang tidak bahagia. Kosiya pun menjadi paham akan bahaya kekikiran. Maka dia memberikan semua harta bendanya dan menjadi seorang petapa.
Kita mungkin sulit berpisah dengan harta kekayaan. Tetapi ketika mati, toh kita tidak dapat membawa serta harta itu. Kehidupan ini pendek: maka jika kita punya kesempatan untuk kedermawanan, kita harus menggunakannya untuk memerangi keegoisan. Setiap momen kedermawanan akan mengkondisikan munculnya kedermawanan di masa depan.
Tindakan-tindakan yang baik menimbulkan hasil-hasil yang menyenangkan, sedangkan tindakan-tindakan yang buruk menimbulkan hasil-hasil yang tidak menyenangkan. Inilah hukum karma dan buahnya, hukum sebab akibat.2 Suatu tindakan (karma) dapat menghasilkan akibat di dalam bentuk tumimbal lahir. Karma yang baik dapat menghasilkan tumimbal lahir yang bahagia sedangkan karma yang tidak baik dapat menghasilkan tumimbal lahir yang tidak bahagia. Selain alam kehidupan manusia, ada alam-alam kehidupan lain yang bahagia atau tidak bahagia. Kelahiran di alam manusia atau di alam surga adalah tumimbal lahir yang bahagia, yang dikondisikan oleh karma baik; sedangkan kelahiran di alam neraka, sebagai setan atau sebagai binatang merupakan tumimbal lahir yang tidak bahagia, yang dikondisikan oleh karma yang tidak baik. Karma dapat juga menghasilkan akibat dalam bentuk pengalaman-pengalaman indera yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang muncul di alur kehidupan. Melihat dan mendengar adalah jenis kesadaran yang merupakan akibat-akibat karma. Kita melihat dan mendengar objek-objek yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, sesuai dengan karma yang menghasilkan pengalaman-pengalaman ini.
Kekikiran dapat menimbulkan -bisa di dalam kehidupan ini atau di dalam kehidupan yang akan datang- akibat yang justru kita takuti: hilangnya harta milik kita. Kedermawanan dapat menimbulkan hasil-hasil yang menyenangkan, misalnya kesejahteraan. Tetapi ketika kita melakukan tindakan-tindakan kedermawanan, kita tidak boleh melekati hasil-hasil yang menyenangkan: kemelekatan itu sendiri sudah tidak baik. Karma akan menghasilkan akibatnya yang cocok, tak peduli apakah kita memikirkannya atau tidak. Ketika kita berdana, kita dapat memiliki pemahaman yang benar tentang karma dan hasilnya, tanpa kemelekatan. Kita bisa melakukan tindakan-tindakan yang baik dengan pemahaman tentang apakah kebajikan itu. Seperti yang telah kita lihat, pemahaman merupakan akar yang indah, yang mungkin mendampingi kesadaran yang bajik, tetapi mungkin juga tidak. Bila pemahaman mendampingi kesadaran yang bajik, pemahaman itu meningkatkan tingkat kebajikan. Kita tidak bisa memunculkan pemahaman sesuai keinginan: pemahaman muncul jika ada kondisi-kondisi yang cocok. Mempelajari Ajaran Sang Buddha merupakan suatu kondisi untuk pemahaman yang lebih besar.
Masih ada cara-cara untuk mempraktekkan kedermawanan, sekalipun jika kita tidak memiliki benda untuk diberikan. Memberikan penghargaaan pada tindakan-tindakan baik orang lain juga merupakan kedermawanan. Ketika kita melihat orang lain melakukan tindakan yang baik, kita dapat menghargai kebajikannya, dan kita bisa mengungkapkannya dengan kata-kata dan pujian. Kita mungkin kikir bukan hanya dengan harta melainkan juga dengan kata-kata pujian. Lambat laun kita dapat belajar menjadi dermawan di dalam menghargai kebajikan orang lain.
Di Thailang saya mendapat kesempatan untuk mempelajari kedermawanan ini, yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya menerima sebuah buku yang dicetak pada ulang tahun Ratu Sirikit dari Thailand. Buku ini menyebutkan banyak karya kebajikan beliau, seperti misalnya menyebarkan Ajaran Sang Buddha, mendukung vihara, memperbaiki standar kehidupan penduduk propinsi dengan mengadakan berbagai proyek untuk mereka. Ketika membacanya, orang dapat secara tulus mengagumi dan ikut bergembira atas karya-karya kebajikan ratu itu. Di Thailand saya sering mendengar orang Thai mengatakan, “anumodana”, yang artinya “terima kasih” dengan menganggukkan kepala dan mengatupkan kedua tangan mereka. Mereka melakukannya untuk menghormati dan menghargai kebajikan orang lain, biasanya pada kesempatan menyajikan makanan pada bhikkhu, atau berdana buku-buku tentang ajaran-ajaran Buddhis. Sungguh merupakan kebiasaan yang baik untuk menyatakan penghargaan pada kesempatan-kesempatan semacam itu.
Jika kita tahu tentang kedermawanan seperti ini, kita bisa mengingatkan diri untuk berbicara tentang orang lain dengan kesadaran yang bajik. Di dalam mengembangkan kebajikan, orang harus berpandangan jauh ke depan. Orang harus menyadari bahwa kebajikan atau ketidak-bajikan apa pun yang ditumpuk sekarang ini akan menghasilkan akibat di masa depan, bahkan di dalam kehidupan yang akan datang. Dia akan menjadi lebih terampil di dalam mengevaluasi keadaan-keadaan di mana dia berada serta teman-teman yang dipunyainya. Maka dia akan bisa menilai apakah lingkungan dan teman-temannya menunjang perkembangan kebajikan atau tidak. Dia akan tahu ucapan seperti apa yang harus dihindari dan ucapan seperti apa yang harus dikembangkan. Sering kali percakapan cenderung mengenai sifat-sifat jelek orang lain atau tentang masalah-masalah tak berguna yang tidak membantu perkembangan kebajikan. Karena kita sering bercakap-cakap dengan orang lain, kita harus mempelajari cara-cara membelokkan percakapan menjadi kesempatan untuk kebajikan.
Bentuk kedermawanan lain adalah ‘berbagi’ tindakan bajik dengan orang lain. Ini tidak berarti bahwa orang lain dapat menerima hasil-hasil yang menyenangkan akibat tindakan bajik kita. Sang Buddha mengajarkan bahwa setiap makhluk adalah ‘pewaris’ perbuatannya sendiri. Kita masing-masing menerima hasil dari perbuatan yang telah kita lakukan sendiri. Berbagi kebajikan dengan orang lain berarti bahwa perbuatan bajik kita dapat menjadi kondisi untuk munculnya kesadaran bajik di dalam diri orang lain ketika mereka bergembira karena tindakan-tindakan bajik kita. Kita dapat berbagi kebajikan bahkan dengan makhluk-makhluk di alam kehidupan lain, asalkan mereka berada di alam-alam di mana mereka dapat menerima manfaatnya.
Kitab komentar untuk Sutta Tanpa Dinding3 menceritakan bahwa Raja Bimbisara mempersembahkan dana makanan kepada Sang Buddha namun tidak mempersembahkan jasa-jasanya pada makhluk-makhluk lain. Para makhluk halus, sanak saudaranya di dalam kehidupan lampau, sia-sia berharap untuk hal ini. Karena kecewa, di dalam keputus-asaan mereka membuat suara-suara lengking yang mengerikan sepanjang malam. Sang Buddha menjelaskan kepada Raja Bimbisara mengapa para makhluk halus itu menjerit-jerit. Kemudian Raja Bimbisara membuat persembahan lain dan mengucapkan tekadnya, “Biarlah ini untuk para sanak saudara itu”. Para makhluk halus langsung mengambil manfaat dari pemberiannya; mereka memiliki keadaan kesadaran yang bajik dan penderitaan mereka pun hilang. Kolam-kolam yang penuh bunga teratai muncul untuk mereka di mana mereka bisa mandi dan minum, dan warna mereka berubah keemasan. Makanan surgawi, pakaian dan istana-istana surgawi terbentuk secara spontan untuk mereka gunakan. Cerita ini melukiskan bahwa orang dapat berbagi tindakan-tindakan bajiknya dengan mereka yang telah meninggal. Jika sanak saudara yang telah meninggal tidak bisa menerima jasa itu, toh masih ada makhluk-makhluk lain yang bisa.
Dapat dipahami kita merasa sedih jika kehilangan orang-orang tercinta, tetapi jika kita tahu bagaimana caranya mengembangkan apa yang bajik, kita dapat menemukan penghiburan yang besar. Alih-alih dipenuhi kesedihan dan penolakan, kita dapat mempersembahkan tindakan-tindakan bajik kita kepada siapa saja yang dapat ikut bersuka cita dalam kebajikan-kebajikan itu. Dan dengan demikian kesadaran kita akan menjadi bajik. Berbagi kebajikan dengan yang lain bisa menjadi kebiasaan kita bahkan tidak perlu mengkhususkan kepada siapa kebajikan itu kita persembahkan.
Ada kebiasaan Buddhis pada waktu makanan atau jubah dipersembahkan kepada para bhikkhu menuang air diatas tangan seseorang sementara para bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan. Untuk mengungkapkan niat seseorang untuk mempersembahkan perbuatan ini kepada makhluk lain. Air menyimbolkan sungai yang akan memenuhi samudera. Demikian pula tindakan yang bajik bisa amat melimpah sehingga dapat juga dibagikan dengan yang lain.
Tindakan-tindakan bajik bisa dianggap berunsur tiga sebagai kedermawanan. Moralitas dan pengembangan mental. Pengelompokan berunsur tiga ini jangan dianggap sebagai pengelompokan yang kaku. Moralitas atau menghindari diri dari tindakan-tindakan jahat dapat juga dilihat sebagai aspek kedermawanan, sebagai tindakan kebaikan hati kepada yang lain. Jika kita menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat, kita memberi makhluk lain kesempatan untuk hidup di dalam kedamaian, bebas dari bahaya. Jika kita ingin mengembangkan kedermawanan, kita tidak boleh mengabaikan perkembangan mental –perkembangan keadaan pikiran yang sehat dan baik. Kita harus tahu kapan kesadaran tidak bajik dan kapan kesadaran itu bajik untuk mengembangkan kedermawanan dan sifat-sifat baik lainnya. Mengetahui lebih banyak tentang berbagai jenis kesadaran merupakan pengembangan mental.
‘Pemasuk Arus’ adalah orang suci pada tingkat pencerahan spiritual pertama. Dia telah mengembangkan pemahaman yang benar mengenai fenomena mental dan fisik yang berbeda, yang muncul pada saat ini, dan dia telah melihat realitas sebagaimana adanya. Dengan tercapainya pencerahan spiritual, dia mengalami Nibbana, realitas yang tak berkondisi, untuk pertama kalinya. Pada saat pencerahan spiritual, pandangan salah mengenai diri pun terhapus, dan bersama itu pun kekikiran hancur. Kekikiran tidak pernah dapat muncul lagi, dan dengan demikian dia telah memiliki kedermawanan sempurna. Orang biasa mungkin bisa menekan kekikiran untuk sementara, misalnya, pada saat berdana, tetapi kekikiran pasti muncul lagi selama kecenderungan yang tertumpuk itu masih ada. Pemasuk Arus, melalui pemahaman benar, telah menghapus kecenderungan ke arah kekikiran dan tidak dapat lagi dikalahkan oleh kekikiran.
Belajar dari Ajaran Sang Buddha mengenai cara mengembangkan kebajikan dan menghilangkan kekotoran batin merupakan berkah yang paling besar. Karena itu, ajaran Dhamma, Ajaran Sang Buddha, harus dianggap sebagai dana tertinggi. Di dalam mempelajari apa yang diajarkan oleh Sang Buddha dan di dalam mengembangkan kebajikan, kita membetulkan pandangan-pandangan kita tentang apa yang pantas diperjuangkan dan apa yang tidak, tentang apa yang nyata dan apa yang hanya ilusi. Sebelum mendengar tentang ajaran-ajaran Sang Buddha, mungkin kita menganggap bahwa menikmati objek-objek indera yang menyenangkan merupakan tujuan hidup. Namun setelah mempelajari ajaran-ajaran Sang Buddha, kita mungkin lambat laun paham bahwa kemelekatan yang egois membuat pikiran gelisah dan hal itu merugikan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Kita bisa sampai pada pemahaman bahwa kebajikanlah yang bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain, bahwa kebajikanlah yang menciptakan kedamaian pikiran.
Pandangan kita mengenai apa yang bernilai dalam kehidupan dapat berubah. Kita membetulkan pandangan-pandangan kita mengenai realitas bila kita paham apa karma baik itu dan apa karma buruk itu, bila kita paham bahwa karma membawa hasil yang sesuai. Kita membetulkan pandangan-pandangan kita bila kita paham bahwa yang memotivasi tindakan kita bukanlah suatu ‘diri’, melainkan berbagai jenis kesadaran, yang baik atau yang buruk, bila kita paham bahwa jenis-jenis kesadaran ini muncul karena berbagai faktor yang mengkondisikan. Ada banyak tingkat koreksi bagi pandangan seseorang. Dengan mengembangkan pemahaman akan realitas, pandangan salah tentang diri dapat dihilangkan, sehingga kedermawanan yang sempurna pun muncul. Belajar Dhamma seharusnya membawa hasil berkurangnya keegoisan kita, sehingga kedermawanan kita bertambah. Dengan demikian perhatian kita pada orang lain menjadi lebih tulus.
Catatan Kaki:
  1. Lihat Nyanaponika Thera, The Roots of Good and Evil (Wheel No 251/253)
  2. Lihat Kamma and Its Fruit (Wheel No 221/224)
  3. Di dalam The Illustrator of Ultimate Meaning (Paramatthajotika), Commentary to the Minor Readings(Khuddakapatha), London: Pali Text Society, 1960.
V KESEMPURNAAN BERDANA *

(Acariya Dhammapala)

Kesempurnaan berdana seharusnya dipraktekkan dengan berbagai cara demi manfaat makhluk-makhluk lain –dengan mengorbankan kebahagiaan, harta milik, tubuh dan kehidupan seseorang kepada orang lain, dengan menghilangkan rasa takut mereka, dan dengan mengajarkan Dhamma. Sehubungan dengan objek yang akan diberikan, dana memiliki 3 unsur: dana benda-benda materi (amisadana), dana rasa aman (abhayadana), dan dana Dhamma (dhammadana). Sedangkan objek yang diberikan memiliki 2 unsur: internal dan eksternal. Dana eksternal berunsur 10: makanan, minuman, pakaian, kendaraan, bunga-bungaan, wewangian, minyak, tempat tinggal, tempat tidur, dan lampu. Masing-masing unsur bisa dibagi-bagi lagi menjadi banyak bagian. Makanan, misalnya bisa dibagi menjadi makanan keras, makanan lunak, dsb. Dana eksternal juga bisa menjadi berunsur 6 jika dianalisis berdasarkan objek indria: benda yang tampak, suara, bebauan, cita rasa, benda yang dapat disentuh, dan objek-objek yang non-indera. Objek-objek indera -seperti misalnya benda yang dapat dilihat- menjadi berunsur banyak jika dianalisis menjadi biru, dsb. Demikian juga, dana eksternal bisa berunsur banyak bila dihubungkan dengan berbagai macam harta milik, seperti misalnya permata, emas, perak, mutiara, koral, dsb.; ladang, tanah, taman, dsb.; budak, sapi, kerbau, dsb.
Jika seorang Manusia Agung (Bodhisatta) memberikan suatu objek eksternal, dia memberikan segala yang dibutuhkan kepada siapa pun yang membutuhkannya; juga bila mengetahui sendiri bahwa seseorang membutuhkan sesuatu, tanpa diminta pun dia akan memberi, apalagi bila diminta. Dia memberi dengan dermawan, bukan dengan tidak rela. Bila ada sesuatu yang diberikan, dia memberi dengan cukup, bukan dengan tidak memadai. Dia tidak memberi karena mengharapkan sesuatu sebagai imbalannya. Dan jika tidak ada cukup dana untuk diberikan secara memadai pada semuanya, dia membagi-bagikan segala yang dapat dibagikan. Tetapi dia tidak memberikan benda-benda yang dapat menimbulkan penderitaan bagi yang lain, seperti misalnya senjata, racun dan apa yang menyebabkan lemahnya kesadaran. Tidak juga dia memberikan hiburan-hiburan yang merugikan dan yang menimbulkan keteledoran. Dia tidak memberikan makanan atau minuman yang tidak sesuai kepada orang yang sakit, walaupun orang itu mungkin memintanya, dan dia tidak memberikan apa yang cocok di luar ukuran yang pantas.
Sekali lagi, jika diminta, kepada perumah tangga dia memberikan apa yang cocok bagi perumah tangga, dan kepada bhikkhu apa yang cocok bagi bhikkhu. Dia memberi kepada ibunya dan ayahnya, kepada sanak saudara dan handai taulan, teman dan kolega, anak, istri, budak, dan pekerja, tanpa menyebabkan rasa takut bagi siapa pun. Setelah menjanjikan pemberian yang bagus sekali, dia tidak akan memberikan sesuatu yang jelek. Dia tidak akan memberi karena ingin memperoleh ketenaran, penghormatan atau imbalan, atau karena mengharapkan sesuatu sebagai gantinya, atau karena mengharapkan hasil selain pencerahan spiritual tertinggi. Dia tidak memberi dengan rasa jijik terhadap pemberian itu atau rasa jijik terhadap si peminta. Dia tidak memberikan benda yang ingin dibuangnya, sekalipun kepada para pengemis kurang ajar yang mengejek dan melecehkannya. Tanpa kecuali dia memberikan dengan hati-hati, dengan pikiran yang tenang, yang penuh dengan kasih sayang. Dia tidak memberi karena percaya pada pertanda-pertanda takhyul: dia memberi karena percaya pada karma dan buahnya.
Ketika memberi, dia tidak membebani si peminta dengan menyuruh mereka menghormatinya, dsb.; dia memberi tanpa menimbulkan penderitaan bagi yang lain. Dia tidak mau memberikan dana dengan tujuan menipu atau dengan niat menyakiti; dia memberi dengan pikiran yang bersih. Dia tidak memberikan dana dengan kata-kata kasar atau dengan kerutan di dahi, melainkan dengan kata-kata yang penuh kasih sayang, kata-kata yang cocok, dan dengan tersenyum.
Bilamana keserakahan akan suatu objek menjadi berlebihan, karena amat bernilai dan amat indah, antik, atau ada kemelekatan pribadi, Bodhisatta mengenali keserakahannya. Dengan cepat dia menghalaunya, mencari beberapa penerima, dan memberikannya kepada mereka. Dan jika ada objek bernilai yang dapat diberikan pada pemohon yang mengharapkannya, tanpa ragu sama sekali dia bertindak dan memberikannya kepada orang itu dengan hormat seolah-olah pemohon itu adalah orang suci. Jika anak-anak, istri, budak, pekerja dan pembantunya sendiri diminta, Manusia Agung tidak memberikan jika mereka tidak rela pergi, karena merasa amat sedih. Tetapi jika mereka rela dan gembira, maka dia memberikan mereka. Jika dia tahu bahwa orang-orang yang meminta keluarganya adalah makhluk-makhluk yang jahat -raksasa, setan, atau jembalang- atau manusia yang kejam, maka dia tidak akan memberikannya. Demikian pula dia tidak akan memberikan keluarganya kepada mereka yang berniat merugikan, menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi dunia, tetapi dia akan memberikan mereka kepada orang-orang yang benar, yang melindungi dunia dengan Dhamma.
Demikianlah, pertama-tama, cara untuk mempraktekkan pemberian dana eksternal.
Dana internal harus dipahami dalam 2 cara. Bagaimanakah itu? Seperti halnya seseorang, yang demi makanan dan pakaian, menyerahkan diri kepada yang lain dan bekerja melayani dan menjalani perbudakan, demikian pula Manusia Agung yang menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi bagi semua makhluk. Karena ingin memenuhi kesempurnaan dananya sendiri, dengan pikiran ke arah spiritual, demi pencerahan, Bodhisatta menyerahkan diri kepada yang lain dan memasuki alam melayani, menempatkan diri sebagai penolong bagi yang lain. Kaki tangan atau organ apa pun yang dia miliki, yang mungkin dibutuhkan orang lain -tangan, kaki, mata, dan sebagainya- dia berikan kepada mereka yang membutuhkan tanpa gentar dan tanpa takut. Dia tidak lebih terikat kepada benda-benda itu, tidak lebih menarik diri (dari perbuatan memberikan benda-benda itu), dibandingkan jika itu merupakan objek-objek eksternal. Dengan demikian, Manusia Agung itu memberikan objek internal dengan 2 cara: agar dinikmati orang lain sesuai dengan kesenangan mereka; atau untuk pengendalian dirinya sendiri sementara memenuhi keinginan si peminta. Di dalam hal ini, dia benar-benar dermawan total, dan dia berpikir: “Akan kucapai pencerahan spritual melalui tanpa-kemelekatan.” Demikianlah pemberian dana internal itu harus dipahami.
Di dalam memberikan dana internal, dia memberikan hanya apa yang mengarah pada kesejahteraan si penerima, bukan lainnya. Manusia Agung tidak dengan sengaja memberikan tubuh, kaki tangan dan organ tubuhnya kepada Mara atau dewa-dewa jahat di dalam kelompok Mara, dengan berpikir: “Semoga ini tidak merugikan mereka.” Demikian pula, dia tidak memberi kepada makhluk yang dimiliki oleh Mara atau dewa-dewanya, atau kepada orang gila. Tetapi jika benda-benda internal ini diminta orang, dengan segera dia akan memberikannya, karena jarang sekali ada permintaan seperti itu dan sulit sekali memberikan dana seperti itu.
Memberikan rasa aman merupakan dana perlindungan kepada makhluk yang ketakutan karena raja, pencuri, api, air, musuh, singa, harimau, binatang liar lain, naga, raksasa, setan, jembalang, dll.
Berdana Dhamma merupakan khotbah Dhamma yang tidak diselewengkan dan diberikan dengan pikiran yang bersih. Dhamma merupakan instruksi metodis yang membantu menuju kebaikan di dalam kehidupan sekarang, kebaikan di dalam kehidupan yang akan datang, dan pembebasan tertinggi. Melalui uraian semacam itu, mereka yang belum memasuki Buddha Sasana akan memasukinya, sedangkan yang telah memasukinya akan mencapai kematangan di sana.
Beginilah caranya: secara ringkas, dia berbicara mengenai dana, moralitas, dan surga, mengenai sifat tidak memuaskan dan kekotoran yang ada di dalam kenikmatan-kenikmatan indera, dan mengenai manfaat bila meninggalkannya. Secara rinci, kepada mereka yang pikirannya cenderung menuju ke pencerahan spritual para siswa (savakabodhi) dia memberikan uraian untuk memantapkan dan memurnikan kepada mereka (agar maju ke tujuan). Secara rinci dia menjelaskan berbagai sifat agung yang sesuai: pergi berlindung, mengendalikan diri lewat moralitas, menjaga pintu-pintu indria, makan secukupnya, penerapan kesadaran, 7 dhamma yang baik; penerapan ketenangan (samatha) lewat praktek meditasi dengan salah satu dari 38 objek (meditasi ketenangan); penerapan pandangan terang (vipassana) dengan merenungkan objek-objek intepretasi pandangan terang seperti misalnya tubuh materi; tahap-tahap pemurnian yang progesif (visuddhipatipada), pemahaman arah kebenaran (sammattagahana), 3 jenis pengetahuan yang jelas (vijja), 6 jenis pengetahuan langsung (abhiñña), 4 diskriminasi (patisambidha), dan pencerahan spritual seorang siswa.
Demikian pula, bagi para makhluk yang pikirannya cenderung menuju pencerahan spritual Pacceka Buddha dan Buddha Yang Sepenuhnya Tercerahkan, dia memberikan uraian yang membentuk dan memurnikan mereka di dalam 2 wahana (yang membawa pada 2 jenis pencerahan ini) lewat penjelasan rinci tentang keagungan kekuatan spritual para Buddha, dan dengan menjelaskan sifat, ciri, fungsi khusus dsb. dari 10parami di dalam 3 tahapnya. Demikianlah Manusia Agung memberikan dana Dhamma kepada para makhluk.
Ketika memberikan dana materi, Manusia Agung memberikan makanan dengan berpikir: “Semoga lewat pemberian ini aku memungkinkan para makhluk berumur panjang, elok, bahagia, kuat, pandai, dan mencapai buah kebahagiaan tertinggi yang tak ternoda.” Dia memberikan minuman dengan harapan untuk melegakan dahaga dari kekotoran indria; memberikan pakaian untuk mendapatkan keindahan, rasa malu dan rasa takut moral dan paras keemasan (seorang Buddha); kendaraan untuk tercapainya potensi psikis dan kebahagiaan Nibbana; wewangian untuk menghasilkan keharuman moralitas, bunga dan minyak untuk menghasilkan keindahan sifat-sifat Buddha; tempat duduk untuk menghasilkan tempat duduk di teras pencerahan; tempat tidur untuk menghasilkan tempat peristirahatan seorang Tathagata; tempat tinggal agar dia bisa menjadi perlindungan bagi para makhluk; lampu sehingga dia bisa memperoleh 5 mata.1 Dia memberikan benda-benda yang dapat dilihat untuk menghasilkan aura selebar 6 kaki (yang mengelilingi seorang Buddha); suara untuk menghasilkan suara seperti Brahma (yang dimiliki seorang Buddha); cita rasa untuk mendekatkan diri ke semua dunia; dan sentuhan untuk memperoleh keanggunan seorang Buddha.
Dia memberikan obat sehingga nantinya dia bisa memberikan alam Nibbana, di mana tidak ada usia tua dan kematian. Kepada budak dia memberikan kebebasan agar nantinya dia bisa membebaskan para makhluk dari perbudakan kekotoran batin. Dia memberikan hiburan dan kenikmatan yang tak tercela agar dapat menghasilkan kegembiraan di dalam Dhamma sejati. Dia memberikan anaknya sendiri agar semua makhluk dapat dijadikan anaknya dengan cara memberikan mereka kelahiran Ariya. Dia memberikan istri-istrinya agar dia bisa menjadi penguasa seluruh alam. Dia memberikan emas, permata, mutiara, koral dsb. agar dapat memperoleh tanda-tanda utama keindahan fisik (ciri tubuh seorang Buddha), dan berbagai sarana keindahan agar mencapai ciri-ciri minor keindahan fisik.2 Dia mendanakan harta karunnya agar dapat memperoleh harta karun Dhamma sejati; mendanakan kerajaannya agar dapat menjadi raja Dhamma; mendanakan vihara, taman, kolam, dan hutan kecil agar mencapai jhana, dsb.; mendanakan kakinya agar dia ditandai roda-roda keberhasilan; mendanakan tangannya agar dapat memberikan kepada para makhluk tangan Dhamma sejati yang menyelamatkan, untuk membantu mereka menyeberangi 4 banjir3; mendanakan telinga, hidung dsb. agar dapat memperoleh kemampuan spritual seperti keyakinan, dsb.: mendanakan matanya agar memperoleh mata universal; mendanakan daging dan darah dengan pikiran: “Semoga tubuhku ini menjadi sarana kehidupan bagi semua alam! Semoga tubuh ini membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi semua makhluk sepanjang waktu, bahkan ketika hanya melihat, mendengar, mengingat, atau merawatku!” Dan dia mendanakan kepalanya agar mencapai tingkat tertinggi di semua alam.
Ketika memberi demikian ini, Manusia Agung tidak memberikan dengan tidak rela, tidak dengan membuat orang lain menderita, tidak karena takut, tidak karena malu moral atau karena dicaci mereka yang membutuhkan. Jika ada sesuatu yang bagus, dia tidak memberikan yang jelek. Dia tidak memberi dengan memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang lain. Dia tidak memberi karena nafsu terhadap buahnya, tidak dengan rasa jijik kepada si peminta, tidak dengan kurang pertimbangan. Sebaliknya, dia memberi dengan cermat, dengan tangannya sendiri, pada saat yang tepat, dengan penuh pertimbangan, tanpa diskriminasi, dipenuhi suka cita sepanjang 3 waktu.4 Sesudah memberi, dia tidak menjadi sedih. Dia tidak menjadi sombong atau merasa rendah dalam hubungannya dengan si penerima, melainkan berperilaku secara ramah terhadap mereka. Melimpah dan dermawan, dia memberikan benda-benda diiringi bonus (saparivara). Ketika memberikan makanan, dia berpikir: “Ini akan kuberikan dengan bonus,” sehingga dia juga memberikan pakaian, dsb. Ketika memberikan pakaian, dia berpikir: “Ini akan kuberikan dengan bonus,” sehingga dia juga memberikan makanan, dsb. Demikian pula untuk dana kendaraan dsb. Dan ketika memberikan dana salah satu objek indria, misalnya benda-benda yang tampak, dia memberikan objek indera lain juga sebagai bonus.
Dan benda yang dapat dilihat harus dipahami demikian. Setelah memperoleh sesuatu, misalnya bunga, pakaian, atau relik berwarna biru, kuning, merah, putih, dsb., dia mempertimbangkannya sehubungan dengan bentuknya yang tampak. Lalu, sambil berpikir untuk memberikannya sebagai benda yang tampak, dia mempersembahkannya kepada penerima yang pantas, bersama dengan alasnya.
Dana suara harus dipahami sebagai suara drum, dsb. Tentu saja tidak mungkin berdana suara ketika seorang memberikan seikat teratai, merenggutnya agar lepas dari kuncup dan akarnya, lalu menaruhnya di tangan. Orang memberikan dana suara dengan memberikan landasannya. Jadi dia memberikan dana suara dengan mempersembahkan alat musik misalnya drum atau genta kepada Tiratana; atau dengan memberi kepada pembabar Dhamma obat-obatan untuk suara, seperti minyak dan molasis; atau dengan mengumumkan pelajaran Dhamma, membaca paritta atau kitab suci, mengulang kitab suci, membabarkan Dhamma, mengadakan diskusi, atau mengungkapkan penghargaan atas perbuatan baik orang lain.
Demikian inilah berdana wewangian dilakukan. Setelah memperoleh benda yang berbau harum, misalnya akar wangi, serbuk harum, dsb., dengan mempertimbangkan baunya dan berpikir untuk memberikan dana wewangian, dia mempersembahkannya kepada Tiratana. Dia memberikan objek yang harum seperti misalnya kagu agaru atau cendana, dengan tujuan mempersembahkan wewangian.
Demikian inilah berdana citarasa dilakukan. Setelah memperoleh sesuatu yang lezat, misalnya akar yang lezat, dsb. dengan mempertimbangkannya sehubungan dengan citarasanya dan berpikir untuk memberikan dana citarasa, dia memberikannya kepada penerima yang pantas menerima. Atau dia memberikan objek yang penuh citarasa, misalnya biji-bijian, sapi dsb.5
Dana benda yang bisa disentuh harus dipahami sebagai ranjang, kursi, dsb. dan sprei, mantel, dsb. Setelah memperoleh benda yang lembut menyenangkan, tanpa cela dan dapat disentuh, misalnya ranjang, kursi, bantal kursi, bantal tidur, pakaian dalam, atau pakaian atas, dengan mempertimbangkan sifat-sifatnya yang dapat disentuh dan berpikir untuk memberikan dana benda yang dapat disentuh, dia memberikannya kepada penerima yang pantas menerima. Jadi, setelah memperoleh objek yang dapat disentuh itu, dia kemudian melepaskannya.
Dana objek mental (dhammadana) harus dipahami sebagai nutrisi, minuman dan kehidupan, karena yang dimaksudkan di sini adalah landasan objek mental.6 Setelah memperoleh objek yang menyenangkan, misalnya nutrisi, dengan mempertimbangkannya sebagai bagian dari landasan objek mental dan berpikir untuk memberikan dana objek non-indera, dia memberikan nutrisi –yaitu ghee, mentega, dsb., atau minuman –yaitu 8 jenis minuman misalnya sari mangga, dsb. Atau dengan mempertimbangkannya sebagai penopang kehidupan, dia memberikan kupon makan atau makanan jatah, dsb, mengundang dokter untuk melayani yang sakit dan yang menderita, membebaskan binatang dari jala, menghancurkan jala ikan atau sangkar burung, melepaskan tawanan dari penjara, menyebabkan adanya perintah yang melarang pembunuhan binatang, atau menjalankan tindakan serupa untuk melindungi kehidupan makhluk.
Seluruh pencapaian dana ini dipersembahkannya bagi kesejahteraan dan kebahagiaan semua alam, dan bagi pembebasan dirinya sendiri yang tak tergoyahkan, melalui pencerahan spiritual tertinggi. Dia mempersembahkannya demi tercapainya keinginan yang tak pernah pudar (untuk kebaikan), konsentrasi yang tak pernah pudar, keterampilan, pengetahuan dan pembebasan. Di dalam mempraktekkan kesempurnaan dana, Makhluk Agung harus menerapkan persepsi tentang ketidak-kekalan dari kehidupan dan harta benda. Dia harus menganggap bahwa benda-benda itu bisa dipakai bersama-sama dengan banyak orang, dan terus menerus serta tanpa henti dia harus membangkitkan kasih sayang yang besar terhadap semua makhluk. Seperti halnya pemilik rumah yang sedang terbakar akan mengeluarkan semua benda yang bernilai tanggi termasuk juga dirinya dan tidak meninggalkan apapun yang penting, demikian pula Manusia Agung tidak pilih-kasih di dalam memberi, tanpa diskriminasi dan tanpa kecemasan.
Ketika Manusia Agung telah membulatkan tekad mental untuk melepaskan total harta apapun yang ada di jalan hidupnya, apakah hidup atau mati, ada 4 belenggu pemberian (yang harus ditanggulanginya), yaitu, tidak terbiasa memberi di masa lampau, rendahnya kualitas objek yang diberikan, nilai tinggi dan keindahan objek, serta kecemasan akan hilangnya objek itu.
  1. Ketika Bodhisatta memiliki objek yang dapat diberikan dan si penerima ada, tetapi tidak ada buah-pikir untuk memberi di dalam pikirannya dan dia tidak ingin memberi, maka dia harus menyimpulkan: “Pasti di masa lampau aku belum terbiasa memberi, sehingga sekarang keinginan memberi tidak muncul di pikiranku. Agar di masa depan ini pikiranku bisa bergembira dalam memberi, aku akan memberikan dana. Dengan memandang ke masa depan biarlah sekarang aku melepas apa yang kumiliki pada mereka yang membutuhkan.” Maka dia pun memberikan dana –dermawan, terbuka, bergembira di dalam melepas, dia memberi ketika diminta, bergembira di dalam memberi dan berbagi. Demikianlah cara Makhluk Agung menghancurkan, meremuk dan menghapus belenggu berdana yang pertama.
  2. Begitu juga, ketika objek yang diberikan itu berkualitas jelek atau cacat, Makhluk Agung merenung: “Karena di masa lampau aku tidak memiliki kecenderungan memberi, sekarang ini persyaratanku pun cacat. Oleh karenanya, walaupun menyakitkan hati, biarlah aku memberikan apapun yang kumiliki meskipun objek itu rendah dan tidak bagus. Dengan cara ini, di masa depan aku akan mencapai puncak kesempurnaan berdana.” Maka dia pun memberikan jenis pemberian apapun yang mungkin –dermawan, terbuka, dan bergembira di dalam melepas, dia memberi ketika diminta, bergembira di dalam memberi dan berbagi. Demikianlah cara Makhluk Agung menghancurkan, meremuk dan menghapus belenggu berdana yang kedua.
  3. Bila muncul keengganan berdana yang disebabkan karena nilai tinggi atau keindahan objek yang akan diberikan, Makhluk Agung menegur dirinya sendiri: “Wahai orang baik, apakah engkau belum bertekad mencapai pencerahan spiritual teragung, yang tertinggi dan terbesar dari semua alam? Nah, demi pencerahan spiritual itu, sudah sepantasnya engkau memberikan objek-objek yang bernilai tinggi dan indah,” Maka dia pun memberikan apa yang bernilai tinggi dan indah –dermawan, terbuka, dan bergembira di dalam melepas, dia memberi ketika diminta, bergembira di dalam berdana dan berbagi. Demikianlah cara Makhluk Agung menghancurkan, meremuk dan menghapus belenggu berdana ketiga.
  4. Ketika Makhluk Agung sedang memberikan dana, dan dia melihat lenyapnya objek yang diberikan itu, demikianlah dia berenung: “Beginilah sifat dari harta materi, bisa hilang dan lenyap. Lagi pula, karena di masa lalu aku tidak memberikan dana-dana semacam inilah maka harta bendaku sekarang berkurang. Maka biarlah aku memberikan apapun yang kumiliki, tak peduli jumlahnya terbatas atau banyak. Dengan demikian, di masa depan aku akan mencapai puncak kesempurnaan berdana.” Maka dia pun memberikan apapun yang dia miliki –dermawan, terbuka, dan bergembira di dalam melepas, dia memberi ketika diminta, bergembira di dalam memberi dan berbagi. Demikianlah cara Makhluk Agung menghancurkan, meremuk dan menghapus belenggu berdana keempat.
Merenungkan hal-hal demikian dengan cara yang cocok merupakan sarana untuk menghapuskan belenggu-belenggu yang merugikan bagi kesempurnaan berdana. Metode yang digunakan untuk kesempurnaan berdana juga berlaku untuk kesempurnaan moralitas dan kesempurnaan-kesempurnaan lainnya.
Catatan Kaki:
* Dari Cariyapitaka Atthakatha, diterjemahkan oleh Bhikkhu Bodhi dalam The Discourse on the All-Embracing Net of Views: The Brahmajala Sutta and the Its Commentaries (BPS, 1978), hal. 289-96, hal. 322-23
  1. Lima mata adalah mata daging (mamsacakkhu); mata surgawi (dibbacakkhu) yang membuatnya mampu melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali sesuai dengan karma mereka; mata kebijaksanaan (pannacakkhu) yang membuatnya mampu melihat ciri umum dan spesifik dari segala benda; mata Buddha (Buddhacakkhu) yang membuatnya mampu melihat watak dan kecenderungan makhluk-makhluk; dan mata universal (samantacakkhu), pengetahuannya tentang kemahatahuan.
  2. Tiga puluh dua ciri utama dan delapan puluh ciri minor dari tubuh seorang Manusia Agung
  3. Empat banjir nafsu sensual, nafsu dumadi, pandangan salah dan kebodohan.
  4. Tiga waktu adalah: sebelum mempersembahkan dana, pada waktu mendanakannya, dan setelah berdana.
  5. Tak diragukan lagi, komentator mengartikan sapi sebagai sumber “lima makanan nikmat” -susu, dadih, mentega, ghee, dan cream dari ghee- bukan sebagai bahan steak sapi.
  6. Sesuai konteks, Dhamma di sini berarti jenis objek ke-6, bukan ajaran Sang Buddha. Jenis objek ini mencakup sari makanan dan penopang kehidupan, demikian penjelasan berikutnya.
TENTANG PENULIS
BHIKKHU BODHI adalah bhikkhu berkebangsaan Amerika, yang berasal dari New York City. Setelah ditahbiskan di Sri Lanka pada tahun 1972, dia menjadi Editor untuk BPS sejak 1984 dan menjadi Presiden-nya sejak 1988.
LILY DE SILVA adalah Profesor Pali and Buddhist Studies di Universitas Peradeniya di Sri Lanka. Sebagai kontributor teratur bagi jurnal-jurnal Buddhis ilmiah dan popular, wanita ini juga menjadi editor untuk Kitab Subkomentar Digha Nikaya, yang diterbitkan oleh Pali Text Society, London.
SUSAN ELBAUM JOOTLA adalah seorang Buddhis berkebangsaan Amerika yang hidup di India Utara. Sudah sejak lama dia mempraktekkan meditasi vipassana dalam tradisi Sayagyi U Ba Khin. Karya-karya sebelumnya yang diterbitkan BPS termasuk Investigation for Insight (Wheel No. 301/302) dan Inspiration from Enlightened Nuns (Wheel No. 349/350).
NINA VAN GORKOM adalah seorang Buddhis berkebangsaan Belanda yang pertama kali mengenal Buddhisme di Thailand. Dia tekun mempelajari Abhidhamma dan pengarang buku Buddhism in Daily Lifedan Abhidhamma in Daily Life.
M.O’C. WALSHE adalah Buddhis yang telah aktif sejak tahun 1951, dan pernah menjabat sebagai ketua English Sangha Trust. Dia telah menulis banyak artikel tentang Buddhisme, dan karyanya yang merupakan terjemahan seluruh Digha Nikaya telah terbit dengan judul Thus Have I Heard: The Long Discourses of the Buddha (London: Wisdom, 1987)

No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”