Bentuk-bentuk Pendidikan Politik Buddhis
Banyak masyarakat Buddhis yang tidak terlalu perduli dengan politik, terlebih pendidikan politik. Penulis melihat fenomena itu sebagai kekeliruan besar dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Kekeliruan ini akan mempengaruhi sikap masyarakat Buddhis yang aktif atau pasif terhadap politik. Sikap ini bisa dirubah jika ideologi masyarakat Buddhis sudah terdidik dalam interen Buddhis, mengingat dalam Buddhisme juga ada bentuk-bentuk pendidikan politik. Hal itu akan berguna dalam prilaku politik masyarakat Buddhis.
Definisi ilmu
politik akan menunjukkan hal yang termasuk kriteria dan hal yang bukan termasuk
kriteria pembahasan ilmu politik. Kriteria pembahasan ilmu politik akan
mempermudah pengambilan konsep-konsep dari ajaran Buddha tentang politik.
Definisi ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan (Budiardjo,
2008: 13).
Dalam buku
Pengantar Ilmu politik, Rudy (2003:10) mengelompokkan objek ilmu politik dari
beberapa filsuf politik menjadi lima yaitu, negara (the state), pemerintahan (government),
kekuasaan dan kewenangan (power and
authority), kelembagaan masyarakat (organization
of society), serta kegiatan dan tingkah laku politik (political activity and behavior). Pengelompokan tentang lima objek
ilmu politik ini berasal dari beberapa
filsuf yang berusaha mendefinisikan ilmu politik. Definisi mengenai objek dalam
ilmu politik terdapat beberapa perbedaan, hal itu karena persepsi masing-masing
orang yang berbeda. Lebih lanjut Rudy menjelaskan perbedaan itu adalah
kekurangan dalam ilmu politik, karena belum ada kesepakatan mengenai suatu
definisi ilmu politik.
Dari lima objek
kajian dalam ilmu politik yang dikemukakan Rudy penulis akan mengkorelasikannya
dengan nilai-nilai ajaran Buddha tentang ilmu politik. Korelasi antara keduanya
akan menjelaskan dan menunjukkan bentuk-bentuk pendidikan politik dalam agama
Buddha. Berikut objek-objek kajian yang berkenaan dengan ilmu politik Buddhis,
yaitu:
1.
Negara (the state)
Bentuk pendidikan politik yang terkandung dalam
nilai-nilai ajaran Buddha salah satunya adalah negara. Soltau menjelaskan,
negara adalah agen (agency) atau
kewenangan (authority) yang mengatur
atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (the state is an agency or authority managing
or controling these (common) affairs on behalf of and in the name of the
comunity) (dalam Budiardjo, 2008: 48). Untuk menjelaskan definisi negara
dalam Buddhisme, perlu diketahui proses terbentuknya negara. Awal terbentuknya
negara tidak lepas dari proses munculnya masyarakat, dan munculnya masyarakat
tidak lepas dari proses munculnya manusia.
Penjelasan mengenai proses munculnya manusia dalam
Buddhisme dapat dilihat dalam Agañña
Sutta. Dalam Agañña Sutta penjelasan
Buddha tentang awal terbentuknya manusia pada awal pembahasan masih menggunakan
istilah “makhluk” (beings).
Penggunaan istilah “makhluk” dikarenakan pembahasannya dimulai dari proses
terbentuknya planet bumi dan isinya. Dalam terbentuknya bumi dan isinya
dijelaskan, makhluk awal yang muncul bukan langsung dalam bentuk manusia.
Dalam Agañña
Sutta penjelasan Buddha tentang awal terbentuknya bumi dan isinya
menimbulkan kontroversi. Kontroversi itu diantaranya ada yang beranggapan bahwa
sutta itu adalah penjelasan mengenai
awal terbentuknya alam semesta ataupun teori penciptaan dalam Buddhis.
Kontroversi ini sebenarnya tidak perlu terjadi, seperti penegasan Abeynayake
(1995: 2) mengatakan bahwa Buddha menjelaskan awal pertama (pubbãkoti)
dari dunia ini (samsara) tidak teramati (na pannayati).
Penjelasan ini menunjukkan tidak
pentingnya memperdebatkan asal mula dari segala sesuatu. Buddha (Davids, 2002:
81-82) menjelaskan:
There
comes a time, Vāseṭṭha, when, sooner or later, after the lapse of a long, long period,
this world passes away. And when this happens, beings have mostly been reborn
in the World of Randiance; and there they dwell, made of mind, feeding on
rapture, self-luminous, traveling the air, continuing in glory; and thus they
remain for a long, long period of time. There comes also a time, Vāseṭṭha, when
sooner or later this world begins to re-evolve. When this happens, beings who
had deceased from the World of Radiance, usually come to life as humans. And
they become made of mind, feeding on rapture, self-luminous, traversing the
air, continuing in glory, and remain thus for a long, long period of time.
(Ada suatu masa, Vasettha, ketika,
cepat atau lambat, setelah selang waktu
yang lama, dunia ini berlalu. Dan ketika hal ini terjadi, makhluk sebagian
besar telah terlahir di alam cahaya, dan di sana mereka menetap, terbentuk dari
pikiran, makanannya kegembiraan, tubuhnya bercahaya, melayang-layang di udara,
selalu dalam kemuliaan, dan dengan demikian mereka tetap untuk waktu yang lama.
Pada masa berikutnya, Vasettha, ketika cepat atau lambat dunia ini mulai
berevolusi kembali. Ketika evolusi ini terjadi, makhluk yang telah meninggal
dari alam cahaya, biasanya datang untuk hidup sebagai manusia. Dan mereka
menjadi terbuat dari pikiran, makanannya kegembiraan, tubuhnya bercahaya,
melayang-layang di udara, selalu dalam kemuliaan, dan tetap demikian untuk
jangka panjang, waktu yang panjang).
Penjelasan Buddha dalam
awal penjelasannya terdapat kata-kata “cepat atau lambat setelah rentang waktu
yang panjang” menunjukkan Agañña Sutta bukanlah
teori penciptaan dari segala sesuatu. Penjelasan mengenai penegasan proses
waktu yang harus dilalui dalam setiap proses perubahan alam dan makhluk
menunjukkan Agañña Sutta bukanlah penjelasan teori penciptaan atau awal dari
segala sesuatu dalam Buddhisme. Agañña
Sutta pada dasarnya tidak bertentangan dengan teori penciptaan apapun,
karena isinya merupakan eksposisi dari proses evolusi, bukan awal dari segala
sesuatu. Abeynayake (1995: 2) menambahkan penegasan eksposisi dari proses
evolusi ini dalam analisisnya “There
comes also a time when, sooner or later, this world begins to evolve (vivaṭṭati)”.
(Ada datang juga saat, cepat atau lambat, dunia ini mulai berevolusi (vivaṭṭati)).
Awal terbentuknya negara tidak lepas dari proses
evolusi terbentuknya makhluk yang hidup sebagai individu terpisah sampai
menjadi sekelompok manusia atau masyarakat. Dalam Agañña Sutta (Davids, 2002: 82-88), Buddha menjelaskan:
And
when this happens, beings have mostly been reborn in the World of Randiance ...
No female nor male ... so continued for a long long while. And in measures
they, thus feeding, went on existing, so did the bodies of those being become
even more solid, and the divergence in their comeliness more pronounced. In the
female appeared the distinctive features of the female, in the male those of
the male. The truly did women contemplate man too closely, and man, woman. In
them contemplating over much the one the other, passion arose and burning
entered their body. They in consequence thereof followed their lusts. And
beings seeing them so doing threw, some, sand, some, ashes, some, cow dung,
crying ... Those beings who at that time followed their lusts, were not allowed
to enter village or town either for a whole month or even for two months ...
they set work to make huts, ... we were to select a certain being ... chosen by
the whole people, Vasetha, is what is meant by Maha Samata. (Dan ketika hal ini
terjadi, makhluk-makhluk sebagian
besar telah terlahir di alam
cahaya ... Tidak ada perempuan atau laki-laki
... hal itu terus berlangsung dalam
waktu yang panjang. Dan demikian makan dalam takaran mereka, melanjutkan yang ada, begitu pula tubuh
mereka yang menjadi lebih padat, dan perbedaan dalam
kemolekan mereka lebih
jelas. Pada wanita muncul ciri khas perempuan,
pada pria juga demikian. Wanita
sunguh-sungguh merenungkan pria sangat
dalam. Di dalam banyak
perenungannya muncul satu gairah yang lain dan membakar tubuh
mereka. Sebagai akibatnya, mereka
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan makhluk-makhlu lain yang melihat mereka
demikian melemparkan, beberapa
pasir, abu, kotoran sapi,
kemudian makhluk itu menangis ...
Mereka yang mengikuti
hawa nafsu, tidak diizinkan untuk
memasuki desa atau kota baik untuk satu bulan atau
bahkan untuk dua bulan ... mereka membangun pondok untuk menetap,
... kami memilih
makhluk tertentu ...
seseorang yang dipilih oleh seluruh
rakyat, Vasetha, adalah apa yang
dimaksud dengan Maha Samata).
Penjelasan Buddha
menunjukkan sebelum membentuk satu sistem kemasyarakatan, makhluk penghuni
pertama planet bumi adalah evolusi makhluk dari alam ābhassara (cahaya). Makhluk bercahaya (ābhassara) belum menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin dan bentuk
tubuh. Pada tahap evolusi berikutnya, muncul perbedaan jenis kelamin (itthilinga
dan purisalinga) dan bentuk tubuh. Dalam sutta tampak ada ketidak-jelasan alur, karena setelah makhluk yang
berbeda jenis kelamin itu melakukan hubungan seks (methuna), langsung
disebutkan banyak makhluk yang mengintimidasi keduanya dan mengusir dari
kelompok. Kemungkinan dalam tahap ini makhluk-makhluk itu sudah hidup
berkelompok dalam suatu wilayah tertentu. Penjelasan berikutnya terdapat
rujukan bahwa sudah ada tempat yang disebut desa. Pelaku hubungan seks kemudian
tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam desa selama periode tertentu. Akhirnya
kedua pelaku hubungan seks ini membangun rumah secara terpisah untuk menutupi
perilaku hubungan seks. Penjelasan itu menunjukkan ada kemungkinan bahwa masyarakat tinggal
bersama-sama dalam suatu desa, tetapi tidak dalam suatu bangunan yang disebut
rumah. Tahap berikutnya disebutkan bahwa ada semacam pemilihan pemimpin
kelompok masyarakat yang disebut Māhasammata.
Pemilihan pemimpin dimaksudkan untuk memimpin, menjaga keamanan dan mengadili
yang bersalah dalam kelompok masyarakat di suatu tempat yang disebut desa.
Munculnya Māhasammata yang bertugas
menghukum yang bersalah sesuai dengan definisi negara yang dikemukanan Weber:
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (the state is a human society that (succesfully) claims the monopoli of
the legitimate use of physical force within a given territory) (dalam Budiardjo,
2008: 49).
Pemilihan Māhasammata
merupakan petunjuk penjelasan Buddha tentang awal terbentuknya negara. Māhasammata dipilih oleh masyarakat,
diberi kewenangan untuk menjaga, mengatur dan mengadili yang bersalah. Dalam
menjalankan tugas dan wewenang seorang Māhasammata
diberi imbalan dari masyarkat.
Imbalan yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama. Abeynayake (1995: 9-10)
menyatakan:
But
we will give him in return a proportion of rice (sãlînam bhãgam). Then those
beings went to the being among them who was the handsomest (abhirûpataro ca),
the best favoured (dassanîyataro ca), the most attractive (pãsãdikataro ca),
the most capable (mahesakkhataro ca) and said to him: come now, Good Being, be
indignant at that one should rightly be indignant, censure that which should
rightly be censured, banish him who deserves to be banished. And we will
contribute to thee a proportion of our rice. And he consented and did so (evam
bhoti kho so satto tesam sttãnam paṭissutvã) and they gave him a proportion of
their rice.(Tapi kita akan memberikannya kembali
satu bagian beras (sãlînam bhãgam).
Kemudian makhluk-makhluk pergi menuju diantara mereka yang tampan (abhirûpataro ca), yang paling disukai (dassanîyataro ca), yang paling menarik (pãsãdikataro ca), yang paling mampu (mahesakkhataro ca) dan berkata
kepadanya: datang sekarang, makhluk sempurna, menjadi marahlah pada yang pantas
dimarahi, kecamlah pada mereka yang seharusnya dikecam, usirlah orang yang
layak untuk dibuang. Dan kita akan memberikan menyumbangkan kepadamu sebagian
dari beras milik kita. Dan dia setuju dan melakukannya (evam bhoti kho satto tesam sehingga sttãnam paṭissutvã) dan mereka
memberinya sebagian beras mereka).
Penjelasan Abeynayake
menunjukkan pemilihan seorang pemimpin dilakukan bersama-sama berdasarkan
kriteria yang telah disepakati bersama. Terpilihnya orang yang paling ideal
kemudian diberi sebagian penghasilan masyarakat yang berupa beras. Imbalan
beras menunjukkan awal terbentuknya sistem
pajak dalam suatu negara atau kerajaan yang dalam tahap ini negara masih setara
dengan desa atau kota kecil.
Analisis Abeynayake tentang evolusi masyarakat dalam
tahap ini menunjukkan istilah
“masyarakat” sudah tepat digunakan. Istilah “masyarakat” sudah sesuai dengan
pengertian istilah “masyarakat” di zaman sekarang, yaitu sekumpulan orang yang
hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu
(Kamus Bahasa Indonesia, 2008: 924). Pengertian itu sesuai dengan penjelasan
masyarakat dalam Agañña sutta ditahap
ini yang sudah mulai tinggal bersama dalam ikatan aturan tertentu oleh seorang Māhasammata, dan yang terpenting ikatan
aturan dan pemilihan Māhasammata ini berdasarkan kesepakatan bersama.
Dalam Agañña
Sutta tidak ada penjelasan yang jelas tentang perubahan pola hidup makhluk
yang hidup sebagai individu terpisah sampai membentuk masyarakat dalam suatu
desa atau kota. Penjelasan mengenai masyarakat disebutkan dalam berbagai kasus
seperti dalam kasus hukuman pada pelaku hubungan seks di depan umum, pembagian
lahan pertanian dengan batas, pemilihan Māhasammata,
munculnya golongan masyarakat berdasarkan aktivitas kehidupan. Penjelasan masyarakat dalam
kasus-kasus itu tiba-tiba saja disebutkan tanpa penjelasan yang melatarbelakangi
mereka mulai hidup bersama dalam suatu kelompok.
Oleh karena ketidakjelasan ini, penulis menganalisis
terbentuknya negara dalam Agañña Sutta
berdasarkan konsep evolusi, bukan teori awal mula terbentuknya masyarakat.
Proses evolusi makhluk individu menjadi hidup bersama dalam suatu kelompok
merupakan gambaran awal mengenai terbentuknya negara. Dalam proses evolusi ini
terdapat penjelasan yang bisa menjadi dasar kesimpulan terbentuknya negara
sederhana yaitu, munculnya komunitas masyarakat yang tinggal di suatu tempat
dan masyarakat yang memiliki kesamaan pandangan dalam kesatuan peraturan moral.
Pandangan yang sama melahirkan struktur organisasi dari otoritas politis yang
dapat didefinisikan sebagai warga negara yang mempersatukan masyarakat dengan
seperangkat prinsip moral.
Dalam evolusi masyarakat sampai terbentuk ikatan
peraturan bersama secara garis besar membentuk fase-fase perkembangan yang
semua telah dijelaskan dalam Agañña Sutta.
Berdasarkan antropolog Abeynayake (1995: 34-35) membagi tiga fase perkembangan
masyarakat di India, yaitu:
1).
Adanya berbagai suku;
setiap suku memiliki kepala suku dan wilayah; hidup nomaden; terdiri dari
sekelompok kecil keluarga; wilayahnya lebih sempit dari sebuah desa.
2).
Suku tertentu
memperluas wilayah lain dengan penaklukan untuk penguasaan lahan ternak dan
perluasan populasi. Adanya sistim pemerintahan (gaṇa), yaitu
administrasi oleh orang banyak; dibawah pengawasan kepala suku paling dominan (gaṇapati). Administrasi oleh orang banyak maksudnya
untuk mengatur perbedaan suku-suku yang telah ditaklukan dibawah satu
pemerintahan kepala suku yang berkuasa. Fase kedua ini dapat dipahami sebagai
cikal bakal terbentuknya republik.
3).
Keserakahan Gaṇapati
yang tidak memiliki batas menyebabkan anggapan bahwa dirinya adalah individu
yang paling kuat. Anggapan itu menyebabkan kecenderungan untuk menjadi penguasa
tunggal dalam waktu yang lama. Penguasa tunggal menyebabkan aturan yang
dibentuk oleh banyak orang menjadi aturan oleh perorangan. Perubahan peraturan
menyebabkan republik-republik suku berubah menjadi kerajaan atau negara-negara
monarki yang demikian muncul, kadang-kadang menentang sistem baru dan terkadang
diganti oleh sistem yang baru, untuk waktu yang lama dalam sejarah India Utara.
Tiga fase perkembangan
masyarakat ini menunjukkan perubahan
kehidupan manusia sampai membentuk sekelompok masyarakat seperti penjelasan
dalam Agañña sutta. Perlu diketahui
pula, Abeynayake mengatakan tiga fase perkembangan itu sama dengan fenomena
perkembangan masyarakat pada masa Buddha. Namun jika kita melihat kondisi
pemerintahan masa Buddha, yang paling sesuai adalah fase kedua tentang sistem
pemerintahan repuplik dan pemerintahan monarki. Fase pertama, lebih tepat
disamakan dengan penjelasan Buddha tentang perkembangan masyarakat dalam Agañña Sutta.
2.
Pemerintahan (government)
Pemerintahan adalah bagian dari bidang kajian ilmu
politik. Hal ini selaras dengan hakikat politik itu sendiri, yang secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan
atau menyangkut kekuasaan (Rudy, 2003: 29). Dalam pembahasan ini, termasuk
cara-cara memperoleh kekuasaan, keabsahan kekuasaan, cara-cara penyelenggaraan
pemerintahan, batasan batasan pemerintahan, bentuk-bentuk pemerintahan dan
hubungan-hubungan pemerintahan (baik antar penguasa, maupun antara penguasa dengan
rakyatnya). Dasar kajian pemerintahan dalam ilmu politik ini yang akan
dijadikan dasar pembahasan pemerintahan dalam Buddhisme. Dasar pembahasan
pemerintahan ini agar lebih jelas, akan ditambah pembahasan awal terbentuknya
pemerintahan menurut Buddhisme.
Agañña Sutta
menjadi salah satu sumber utama dalam penjelasan awal terbentuknya
pemerintahan. Buddha, (Davids, 2002: 88):
Now
those being, Vasetha, gathered themselves together, and bewailed these things,
saying: From our evil deeds, sirs, becoming manifest, inasmuch as stealing,
censure, lying, punishment have become known, what if we were to selected a
certain being, who should be wrathful when indignation is right, who should
be censure that which should rightly be
censure and should banish him who deserves to be banished?(Sekarang
makhluk-makhluk itu, Vasetha, berkumpul bersama-sama, dan meratapi hal-hal ini,
mengatakan: Dari perbuatan kita yang jahat, Tuan, menjadi nyata, karena
mencuri, kecaman, berbohong, hukuman telah menjadi dikenal, bagaimana jika kita
harus memilih makhluk tertentu, yang harus marah pada saat yang tepat, mengecam
pada makhluk yang harus dikecaman dan harus mengusir orang yang layak untuk
dibuang?)
Dalam penjelasan ini
tampak tahap terbentuknya kesepakatan bersama dengan musyawarah untuk membentuk
sistem pemerintahan sederhana. Hal itu ditunjukan dengan munculnya pemikiran untuk memilih
seseorang yang dapat diberi kepercayaan untuk
memimpin, menjaga keamanan dan mengadili yang pantas diadili. Dalam pemilihan
pemimpin berdasarkan keputusan bersama atau keputusan mayoritas menunjukkan
sifat alamiah awal manusia yang mengarah pada sistim pemerintahan demokratis.
Walaupun tujuan dari pemilihan pemimpin secara demokratis ini identik dengan
terbentuknya sistem hukuman, namun ini menegaskan tidak ada sistem pemerintahan
yang dapat eksis tanpa institusi hukum atau pemerintahan yang menegakkan
keadilan.
Dalam perkembangan awal terbentuknya pemerintahan dalam
Agañña Sutta disebutkan dua istilah
yang berhubungan dengan pemerintah, yaitu rãjã
dan khattiya. Buddha
menjelaskan rãjã adalah pelaksana
prinsip kebenaran dan khattiya adalah penguasa ladang. Abeynayake (1995:
37-38) menjelaskan:
Two
words are mainly used in the Pali canon to indicate the king. One of them is
Rãjã while the other is khattiya. The
general belief of the Buddha’s day was that only a khattiya, a male from the
warrior caste, could become a king. That was in fact the brahmanical legacy. As
seen above, the world khattiya is defined by the Buddha in the aganna sutta as
the lord of the fields (khetãnam
patîti kho Vãseṭṭha khattiyo) [18]. This definition is given in a discussion in
which the Buddha divulged the origins of the four castes prevalent in the
Indian society. According the Agañña Sutta, the Rãjã is he who delights or charms others by
righteousness (dhammena pare rañjatîti
rãjã) [19]. (Dua kata yang utama digunakan dalam kanon Pali untuk
menunjukkan raja. Salah satunya adalah Rãjã, sementara yang lainnya adalah Khattiya. Pada masa Buddha kata yang
umum digunakan adalah hanya istilah Khattiya,
laki-laki dari kasta ksatria, bisa menjadi raja. Itulah sebenarnya warisan
brahmanisme. Seperti yang terlihat di atas, dunia Khattiya didefinisikan oleh Buddha dalam Agañña Sutta sebagai penguasa bidang (khetãnam patîti kho Vasettha khattiyo) [18]. Definisi ini diberikan
dalam sebuah diskusi di mana Buddha menerangkan asal-usul dari empat kasta umum
di masyarakat India. Menurut Agañña Sutta,
Raja adalah orang yang senang atau orang lain pesona oleh kebenaran (dhammena pare rañjatîti Raja) [19]).
Penjelasan Abeynayake
menunjukkan dalam Buddhisme istilah pertama kali yang digunakan dalam
menjelaskan pemerintah adalah rãjã
dan khattiya. Istilah rãjã dalam penjelasan Buddha dalam Agañña Sutta pertama kali diistilahkan Māhasammata. Istilah Māhasammata sebenarnya mengarah pada
hakim atau orang yang dipercaya untuk menghukum yang seharusnya dihukum. Namun
kepercayaan yang diberikan pada Māhasammata
dijelaskan seorang yang memiliki kualifikasi paling baik atau ideal dibanding
makhluk lain. Kualifikasi ini jika dihubungkan dengan istilah rãjã memiliki kesamaan. Dari definisi rãjã dalam Agañña Sutta, yaitu sebagai pelaksana prinsip kebenaran Māhasammata sangat sinkron karena tujuan dari pemilihan Māhasammata juga untuk menegakan
kebenaran. Istilah kedua yaitu khattiya, dijelaskan sebagai pemilik ladang. Namun Buddha juga menjelaskan kasta
satria atau prajurit dalam tradisi brahmanisme, yaitu khattiya, dijelaskan dalam kisah evolusi sebagai manusia yang
memiliki derajat lebih tinggi dibanding manusia yang lain (Abeynayake, 1995:
38). Oleh karena itu, dalam tradisi brahmanisme manusia yang mewarisi golongan
satria atau prajurit ini dianggap yang paling berhak menjadi kaum kesatria atau
pemerintah. Buddha dalam Agañña Sutta
menjelaskan alasan manusia disebut khattiya
ataupun rãjã sebenarnya berasal dari
kebijaksanaannya sebagai seorang pemimpin, bukan karena dia keturunan seorang
pemimpin.
Dalam Dahara
Sutta dari Samyutta Nikāya, istilah khattiya
digunakan sebagai sinonim untuk istilah rãjã.
Buddha (Bodhi 2003: 164-166) menjelaskan:
There are four things, great king,
that should not be despised and disparaged as ‘young’. What four? A khattiya,
great king, should not be despised and disparaged as ‘young’ ...
One should not despise as ‘young’
A khattiya of noble birth.
A high-born prince of glorious fame:
A man should not disparage him.
For it may
happen that this lord of man,
This khattiya shall gain the throne,
And in his anger.. one harshly
With a royal punishment.
Therefore guarding one’s own life,
This khattiya shall gain the throne,
And in his anger.. one harshly
With a royal punishment.
Therefore guarding one’s own life,
One should
avoid him.
(Ada
empat hal, raja besar, yang tidak seharusnya dibenci dan diremehkan sebagai
'muda'. Apakah yang empat itu? Sebuah Khattiya,
raja besar, tidak seharusnya dibenci dan diremehkan sebagai 'muda' ...
Kita tidak seharusnya membenci sebagai 'muda'
Seorang Khattiya kelahiran mulia.
Seorang pangeran tinggi lahir dari ketenaran yang mulia:
Seorang pria tidak boleh meremehkan dia.
Kemungkinan menjadi orang yang mulia,
Ini Khattiya akan mencapai takhta,
Dan dalam kemarahannya .. dengan kasar
Dengan hukum kerajaan.
Oleh karena itu jagalah kehidupan diri sendiri,
Seseorang seharusnya menghindarinya).
Kita tidak seharusnya membenci sebagai 'muda'
Seorang Khattiya kelahiran mulia.
Seorang pangeran tinggi lahir dari ketenaran yang mulia:
Seorang pria tidak boleh meremehkan dia.
Kemungkinan menjadi orang yang mulia,
Ini Khattiya akan mencapai takhta,
Dan dalam kemarahannya .. dengan kasar
Dengan hukum kerajaan.
Oleh karena itu jagalah kehidupan diri sendiri,
Seseorang seharusnya menghindarinya).
Penjelasan ini
menunjukkan istilah khattiya adalah seorang prajurit, pangeran atau rãjã kecil mulia yang tidak boleh dipandang rendah dan diremehkan. Maksud Buddha dalam penjelasan itu tentunya sangat
beralasan, karena dari kriteria seseorang yang dapat menjadi raja dalam Agañña Sutta menunjukkan khattiya atau Rãjã adalah orang yang
paling mulia dan pelaksana prinsip-prinsip kebenaran. Abeynayake (1995: 38)
menganalisis istilah khattiya sebagai
yang terbaik dari semua manusia (khattiyo
dvipadam seṭṭho) dan penerima supremasi kelas penguasa dengan mengatakan
bahwa khattiya adalah yang tertinggi di antara manusia (khattiyo seṭṭho janetasmim).
Berdasarkan penjelasan pemerintahan oleh seorang rãjã, Buddha menyadari posisi agung rãjã dalam masyarakat India.
Keistimewaan yang paling menarik adalah, tidak ada siapapun yang melawan rãjã dalam sistem pemerintahan monarki. Keistimewaan ini dapat dipahami dari penjelasan
Buddha dalam mendefinisikan istilah rãjã atau
khattiya, yaitu dengan mengutamakan
sifat-sifat rohaninya dibandingkan keduniawian. Definisi secara kerohanian
dapat dilihat dari klasifikasi seorang raja
sebagai pelaksana prinsip-prinsip kebenaran. Definisi secara kerohanian
menunjukkan Dhamma adalah yang mengkondisikan gelar rãjã atau khattiya bagi orang yang melaksanakan prinsip-prinsip
kebenaran, bukan strata sosial ataupun kekayaan. Definisi ini mengingatkan
semua raja pada zamannya dari keterbatasan mereka dalam kekuasaan dan
kewajibannya kepada masyarakat.
Kewajiban atau tugas seorang rãjã atau pemerintah telah dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, tetapi penjelasan itu belum menunjukkan
dengan jelas tugas dari pemerintah. Pembahasan selanjutnya, penulis akan
menjelaskan tugas pemerintah. Buddha (David, 2002: 62-63) dalam Cakkavati-sīhanadā
Sutta menjelaskan:
But what, Sir, is this Ariyan duty of a wheel-turning
Monarch? This, dear son, that thou, leaning on the
Norm [the Law of truth and righteousness] honouring, respecting and revering
it, doing homage to it, hallowing it, being thyself a Norm-banner, a Norm-signal,
having the Norm as thy master, should provide the right watch, ward, and
protection for thine own folk, for the army, for the nobles, for vassalas, for
brahmins, and house holders, for town and country dwellers, for the religious
world, and for beasts and birds. Throughout thy kingdom let no wrongdoing
prevail. And whosoever in they kingdom is poor, to him let wealth be given.
And when, dear son, in thy kingdom men of religious
life, renouncing the carelessness arising from the intoxication of the senses,
and devoted to forbearance and sympathy, each mastering self, each calming
self, each perfecting self, shall come to thee from time to time, and question
thee concerning what is good and what is bad, what is criminal and what is not,
what is to be done and what left undone, what line of action will in the long
run work for weal or for woe, thou shouldst hear what they have to say, and
thou shouldst deter them from evil, and bid them take up what is good. This
dear son, is the Ariyan duty of a sovran of the world. (Tapi apakah, Yang Mulia, tugas Raja
Pemutar Roda? demikian, putra yang terkasih, bahwa engkau, berpedoman pada
Norma (Hukum kebenaran dan kebajikan) yang luhur, menghormati dan memujanya,
melakukan penghormatan kepadanya, mensucikannya, menjadikan dirimu sendiri
sebagai suatu panji-panji norma, sebuah lambang norma, yang memiliki norma
paling unggul, yang seharusnya teladan yang baik bagi lingkungan, dan
perlindungan bagi rakyat-Mu sendiri, untuk tentara, untuk para bangsawan, untuk
para vassala, untuk para brahmana, dan perumah-rumah, bagi penduduk kota dan
negara, untuk keagamaan, dan untuk binatang dan burung. Sepanjang Kerajaan-Mu
biarkan kesalahan tidak berlaku. Dan barang siapa di kerajaan mereka yang
miskin, dia memberikan bantuan kekayaan.
Dan ketika, putra terkasih, agamawan dalam kerajaan-Mu,
menyangkal kecerobohan yang timbul dari keracunan dari indra, dan dikhususkan
untuk kesabaran dan simpati, masing-masing menguasai diri, masing-masing
menenangkan diri, masing-masing menyempurnakan diri, akan datang kepadamu dari
waktu ke waktu, dan bertanya kepadamu tentang apa yang baik dan apa yang buruk,
apa yang kriminal dan apa yang tidak, apa yang harus dilakukan dan apa yang
tidak dikerjakan, tindakan apa yang akan dilakukan dalam jangka panjang untuk
kesejahteraan atau untuk sengsara, engkau seharusnya mendengar apa yang mereka
katakan, dan engkau seharusnya mencegah mereka dari kejahatan, dan menganjurkan
mereka untuk berbuat baik. Inilah putra terkasih tugas Ariya dari raja dunia.)
Penjelasan dalam Cakkavati-sīhanadā
Sutta tersebut, seperti dalam Agañña Sutta, bahwa Buddha menjelaskan tentang tugas-tugas seorang
rãjã yang berdasarkan Dhamma atau prinsip-prinsip kebenaran adalah landasan terpenting
bagi seorang rãjã. Prinsip-prinsip kebenaran memberikan penjelasan yang lebih spesifik
mengenai hal yang harus diperhatikan seorang raja. Spesifikasi ini terlihat dalam penjelasan perlindungan sesuai Dhamma pada keluarga, pasukan, penduduk
desa dan kota, para pertapa dan brahmana, binatang liar dan burung-burung.
Selain perlindungan, dijelaskan juga kewajiban belajar dhamma dari mereka yang bijaksana dan memberikan barang-barang
kebutuhan bagi yang membutuhkan.
Kewajiban atau tugas seorang rãjã juga dijelaskan Buddha dalam Nandiyamigga Jātaka. Buddha (Cowell, 2005: 174) menjelaskan sepuluh
kewajiban seorang pemimpin pemerintah atau rãjã,
yaitu:
1). Dana
(kedermawanan)
Seorang
pemimpin patut memperhatikan kesejahteraan, dan kemakmuran hidup rakyat.
Pemerintah yang ideal hendaknya menyediakan kebutuhan hidup yang cukup untuk
kesejahteraan rakyatnya.
2). Sila
(moralitas)
Seorang
pemimpin selalu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan tidak bermoral;
seperti membunuh, mencuri, berzinah, berkata tidak benar, minum-minuman keras.
Hal ini dapat menjaga kredibilitas seorang pemimpin.
3). Paricagga (pengorbanan diri)
Seorang
pemimpin selalu siap mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat banyak,
kepentingkan bangsa lebih penting daripada kepentingan pribadi atau kelompok.
4). Ajjava
(integritas)
Bersikap
tulus dalam menjalankan kewajibannya dengan menjujung tinggi kebenaran. Jika
status hubungan dan jabatan dapat diikat dengan janji resmi dan sumpah, tetapi
pemerintah harus terikat pada hukum kebenaran dalam pikiran, ucapan dan
perbuatannya.
5). Maddava (berani bertanggung jawab)
Mengurus
pemerintahan menuntut pertanggungjawaban terhadap segala tindakan sesuai dengan
harapan rakyat.
6). Tapa
(sederhana)
Seorang
pemimpin siap hidup sederhana, puas dalam hidup sederhana, tidak serakah, tidak
berkeinginan yang berlebihan sementara rakyatnya diabaikan.
7). Akkhodha (tanpa kemarahan)
Seorang
pemimpin hendaknya berusaha melepaskan segala permusuhan, niat buruk, sentimen
pribadi, maupun kebencian dan dendam.
8). Avihimsa (tanpa kekerasan)
Kekerasan
bukan penyelesaian masalah, karena kekerasan hanya akan mengakibatkan kebencian
dan penderitaan.
9). Khanti
(kesabaran)
Seorang
pemimpin hendaknya siap menerima pujian ataupun celaan dengan kesabaran.
Kesabaran akan mengkondisikan pikiran tenang, sehingga akan membuat pangamatan
jernih dalam fenomena politik yang terjadi.
10). Avirodha (tidak menentang kehendak rakyat)
Seorang
pemimpin tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani rakyat.
Hak pemimpin berasal dari rakyat, oleh karena itu jangan sampai terjadi
ketimpangan antara yang dilakukan dengan kehendak rakyat.
Setelah memahami
definisi pemerintahan oleh rãjã beserta tugasnya,
untuk memahami definisi pemerintahan dalam Buddhisme perlu untuk memahami
berbagai sistem pemerintahan di zaman Buddha. Sistem pemerintahan yang
akan dibahas akan disesuaikan dengan definisi sistem pemerintahan dalam ilmu
politik. Dalam ilmu politik sistem pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu
monarki, aristokrasi, dan demokrasi (Rudy, 2003: 32). Pertama, sistem monarki
adalah pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang. Sistem ini dipandang buruk
jika pemerintahan bersifat tiran, yaitu negara yang diperintah oleh seorang
raja atau penguasa yang bertindak sekehendak hatinya. Kedua, sistem aristokrasi
adalah pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok orang. Sistem ini dipandang
buruk jika bersifat oligarki, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa
orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu saja. Ketiga, sistem
demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh banyak orang. Sistem ini
dipandang buruk jika bersifat mobokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang dan
dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan.
Pembahasan sistem pemeritahan diperlukan karena pada zaman
Buddha sistem pemerintahan tidak hanya sistem monarki (kerajaan) tapi juga
terdapat sistem republik. Pada zaman Buddha ada 16
negara beserta
dua sistem pemerintahannya yaitu monarki dan
republik. Pertama, negara dengan sistem pemerintahan monarki, yaitu: Avanti, Kosala, Maghada, Vamsa/Vatsa. Kedua, negara dengan sistem pemerintahan republik,
yaitu: Aṅga, Assaka, Cedi, Gandhara/Yona,
Kāsi, Kuru, Kamboja, Malla, Macca, Pancala, Surasena, Vajji/Licchavi
(Jeffrey, 2003: 496). Sistem pemerintahan monarki dan sistem republik sesuai
dengan definisi sistem pemerintahan seperti yang dijelaskan Rudy. Sistem
pertama sudah jelas karena sistem pemerintahan ini dipimpin oleh seorang
pemimpin atau rãjã, maka sistem ini
adalah monarki. Sitem kedua dipahami
dengan melihat arti dari istilah republik, yaitu bentuk pemerintahan yang
berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang presiden (http://www.artikata.com/arti-347710-republik.html).
Pemerintahan yang berkedaulatan rakyat menunjukkan sistem ini mengarah pada sistem demokrasi.
Hal itu dapat dilihat dari arti demokrasi, yaitu bentuk atau sistem
pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantara
wakil-wakilnya (Kamus Bahasa Indinesia, 2008: 337).
Banyaknya negara dengan sistem pemerintahan republik di
masa Buddha seperti yang dijelaskan Jeffrey, tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan
Buddha lebih setuju sistem republik. Buddha
(Davids, 2002:79-80) menjelaskan:
So long, Ânanda,’ rejoined the Blessed One, ‘as the
Vajjians foregather thus often, and frequent the public meetings of their clan;
so long may they be expected not to decline, but to prosper’... So long,
Ânanda,’ as the Vajjians meet together in concord, and rise in concord, and
carry out their undertakings in concord – so long as they enact nothing not
already established, abrogate nothing that has been already enacted, and act in
accordance with acient institutions of the Vajjians, as established in former
days – so long as they honour and esteem and revere and support the Vajjians
elders, and hold it a point of duty to hearken to their words – so long as no
women or girls belonging to their clans are detained among them by force or
abduction – so long as they honour and esteem and revere and support the
Vajjian shrines in town or country, and allow not the proper offerings and
rites, as formerly given and performed, to fall into desuetude-so long as the
rightful protection, defence and support shall be fully provided for the
Arahants among them, so that Arahants from a distance may enter the realm, and
the Arahants therein may live at ease-so long may the Vanijjans be expected no
to decline, but to prosper. (Begitu lama, Ananda, sebagaimana suku Vajji sering bertemu
dengan Sang Bhagava,' dan suku Vajji karenanya sering mengadakan
pertemuan-pertemuan publik dalam suku mereka; begitu lama semoga mereka
diharapkan tidak menurun, tetapi untuk makmur '... Begitu lama, Ananda,
'sebagaimana suku Vajji berkumpul bersama dalam kerukunan, dan peningkatan
kerukunan, dan melaksanakan usaha mereka dalam harmoni-selama mereka menetapkan
hokum-hukum baru dan merubah tradisi mereka yang lama atau meneruskan
pelaksaaan peraturan-pertauran lama yang sesuai dengan Dhamma, mereka
menghormati dan menunjukkan bakti dan menghargai kepada orang yang lebih tua,–
melarang dengan keras adanya penculikan dan penahaman wanita atau gadis-gadis,
menghargai dan menghormati tempat suci milik suku Vajji di kota atau negara,
dan taat melaksnakan puja bakti baik ditempat suci yang ada di kota maupun
diluar kota, melindingu serta menjadga orang-orang yang belum memiliki
pekerjaan serta diupayakan agar orang memiliki pekerjaan, hidup dengan aman dan
damai. Selama perlindungan yang sah, pertahanan dan dukungan harus sepenuhnya
disediakan untuk Arahat di antara mereka, sehingga Arahat dari jarak jauh dapat
masuk kerajaan, dan Arahat mungkin hidup di dalamnya kemudahan begitu lama
semoga suku Vajji diharapkan tidak menurun, tetapi untuk makmur.)
Dari penjelasan ini,
tidak semua penjelasan Buddha tentang suku Vajji mengarah pada sistem
pemerintahan. Dari tujuh penjelasan tentang suku Vajji, hanya dua yang yang
mengarah pada pemerintahan, yaitu penjelasan pertama tentang sistem
permusawaratannya dan pengembangan peraturan pemerintahan. Penjelasan
berikutnya lebih mengarah pada pengkondisian kesejahteraan dan nilai-nilai
moral suku Vajji. Pengkondisian kesejahteraan dapat dilihat dalam penjelasan
kedamaian dan pemberian sokongan bagi para pertapa atau Arahat. Selanjutnya, nilai-nilai moral dapat dilihat dalam
penjelasan penghormatan pada para sesepuh, tidak melakukan penculikan wanita,
menghormat dan menyembah tempat-tempat suci. Penjelasan ini menunjukkan, pujian Buddha terhadap
suku Vajji tidak semata-mata untuk sistem pemerintahan republiknya, melainkan
karena pengkondisian kesejahteraan, moralitas masyarakatnya dan pencegahan
perang, bukan kecenderungan politik. Abeynayake
(1995: 30-31) berpendapat:
It
is more than obvious that this story does not indicate any favour or prejudice
of the Buddha towards the republican system of government. What it indicates is
that Ajatasattu would not be successful in his ambition of conquering the
Vajjian territory at the time envisaged in the story. (Hal
ini lebih dari jelas bahwa cerita ini tidak menunjukkan suatu permohonan atau
prasangka Buddha terhadap sistem pemerintahan republik. Hal itu menunjukkan
bahwa Ajatasattu tidak akan berhasil dalam ambisinya menaklukkan wilayah
Vajjian pada waktu digambarkan dalam cerita.)
Dari sutta dan pendapat Abeynayake, dapat
dianalisis penjelasan sang Buddha tentang suku Vajji lebih mengarah pada pencegahan perang, dan juga sifat-sifat
pemerintahan yang baik bukan sistem pemerintahannya.
Hal baik atau buruknya
suatu pemerintahan, ditinjau dari cara dan kepentingan dalam menjalankan pemerintahan. Jika pemerintahan dijalankan dengan diabdikan untuk
kepentingan umum atau masyarakat, maka disebut sebagai bentuk baik. Sebaliknya,
jika diabdikan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok saja maka
disebut buruk. Seperti halnya definisi seorang rãjã atau khattiya dalam Buddhisme pemerintahan
ideal dalam sistem pemerintahan apapun tentunya nilai baiknya adalah jika
pemerintahan itu berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan untuk
pengkondisian kesejahteraan bersama.
3.
Kekuasaan dan Kewenangan (power
and authority)
Dasar-dasar ilmu politik masih digunakan sebagai dasar
dalam pembahasan kekuasaan dan kewenangan dalam Buddhisme. Jika melihat
definisi-definisi ilmu politik, yang sampai kini banyak ragamnya, dapat kita
pahami bahwa ilmu politik dalam pembahasannya berkenaan dengan hubungan antar
manusia satu sama lainnya. Hubungan ini dalam bentuk adanya pemahaman,
penghayatan, sampai pengaturan mengenai hal-hal memperoleh, mempertahankan, dan
menyelenggarakan kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu termasuk yang
timbul dari hasrat manusia sendiri dalam kehidupan kelompok (berorganisasi),
maupun yang timbul dari proses interaksi di dalam masyarakat atau kesatuan yang
terorganisasi.
Secara garis besar, politik berkaitan dengan kekuasaan
pengaruh, kewenangan pengaruh, dan ketaatan atau ketertiban (Rudy, 2003: 9).
Penjelasan itu menunjukkan adanya
konsekuensi logis antara kekuasaan dan kewenangan terhadap ketaatan atau
ketertiban. Konsekuensi logis menunjukkan ketaatan atau ketertiban adalah
akibat dan tujuan. Ketiga unsur dari politik ini dapat dijadikan pedoman dalam
menjelaskan kekuasaan dan kewenangan dalam Buddhisme.
Laswel dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2008: 60)
menjelaskan kekuasaan sebagai suatu hubungan
seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau
kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama (Power is a relationship in the in which one person or group is able to
determine the action of another in the direction of the former’s own ends).
Dari pengertian kekuasaan ini, dapat dijadikan pedoman untuk menganalisis
definisi kekuasaan dalam Buddhisme. Tindakan menentukan arah tindakan seseorang
dalam Agañña Sutta dijelaskan dari
konsep paling sederhana.
Penjelasan munculnya konsep hukuman dapat menjelaskan
kekuasaan dan kewenangan pemerintah awal dalam menjaga ketertiban umum
berdasarkan nilai-nilai kebenaran menurut Buddhisme. Penjelasan Buddha dalam Agañña Sutta tentang proses evolusi
makhluk sampai terbentuknya tubuh dan jenis kelamin mulai menimbulkan kasus
yang bisa dikatakan melanggar etika. Dalam tahap ini, makhluk-makhluk setelah
berganti memakan jamur, tumbuhan menjalar dan padi, menyebabkan munculnya
perbedaan jenis kelamin dengan jelas (itthilinga dan purisalinga).
Dari bentuk tubuh dan perbedaan kelamin, bisa dikatakan makhluk-makhluk ini
sudah terbentuk sebagai manusia. Perbedaan kelamin menyebabkan munculnya nafsu
untuk berhubungan kelamin (methuna). Hubungan kelamin mulai dilakukan
oleh beberapa makhluk di depan umum, kemudian makhluk-makhluk itu dilempari
debu, abu dan kotoran sapi karena dianggap amoral oleh makhluk yang lain
(Davids, 2002: 84-85). Tindakan sebagian besar makhluk terhadap makhluk yang
melakukan hubungan kelamin merupakan penjelasan penting dalam menjelaskan
hukuman dalam masyarakat awal. Menurut Abeynayake (1995: 5):
At this very early stage, sexual
intercourse, which was obviously executed in public, was considered to be
immoral. Those who were caught in action were not allowed to live with others.
They were chased out. This is a very important phenomenon in the development of
society, because it indicates that the sense of punishment was felt at a very
early phase of development of the human society. Meting out punishment was a
collective responsibility. (Pada tahap sangat awal, hubungan
seksual, yang jelas dihukum di depan umum, dianggap tidak bermoral. Mereka yang
tertangkap dalam aksi tidak diizinkan untuk hidup dengan orang lain. Mereka
diusir. Ini adalah fenomena yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat,
karena itu menandakan bahwa rasa hukuman dirasakan pada tahap sangat awal
perkembangan masyarakat manusia. Membagikan hal hukuman adalah tanggung jawab
bersama.)
Dari penjelasan ini
dapat disimpulkan kekuasaan dan kewenangan dalam kasus hukuman ini adalah
dipegang oleh masyarakat, sehingga bisa dikatakan masuk sistem pemerintahan
demokrasi. Namun dalam tahap ini belum menjelaskan tentang kewenangan, karena
dari definisi kewenangan seperti penjelasan Robert Bierstedt (dalam Budiardjo,
2008: 64) adalah institutionalized power
(kekuasaan yang dilembagakan). Budiardjo juga menjelaskan wewenang adalah
kekuasaan formal. Penjelasan Buddha tentang kekuasaan yang dilembagakan dapat
dilihat juga di Agañña Sutta. Buddha
(Davids, 2002: 87-88) menjelaskan:
Come
now, let us divide off the rice fields and set boundaries thereto! And so they
divided off the rice and set up boundaries round it ... “Now those being, Vasetha,
gathered themselves together, and bewailed these things, saying: From our evil
deeds, sirs, becoming manifest, inasmuch as stealing, censure, lying,
punishment have become known, what if we were to selected a certain being, who
should be wrathful when indignation is right, who should be censure that which should rightly be censure
and should banish him who deserves to be banished? (Kemari,
mari kita membagi sawah dan menetapkan batas-batasnya! Dan mereka membagi dari
beras dan mengatur batas-batas di sekelilingnya ... "Sekarang
makhluk-makhluk itu, Vasetha, berkumpul, dan meratapi hal-hal ini, mengatakan:
Dari perbuatan kita yang jahat, Yang Mulia, menjadi nyata, karena mencuri,
kecaman, berbohong, hukuman telah menjadi dikenal, bagaimana jika kita memilih
makhluk tertentu, yang harus murka pada orang yang tepat untuk dimurkai, yang
harus mengecam pada orang yang tepat untuk dikecam dan harus mengusir orang
yang layak untuk dibuang?)
Penjelasan ini menunjukkan
terbentuknya pemerintahan sederhana dalam perkembangan sosial awal.
Pemerintahan sederhana diawali dengan dibuatnya kesepakatan bersama untuk
membuat semacam sistem administrasi kepemilikan tanah dengan batas-batas.
Kemudian tahap selanjutnya dipilih pengatur ketertiban atau seorang pemimpin (Māhasammata) untuk menindak orang-orang
yang tidak sesuai dengan etika atau hukum yang berlaku. Kesepakatan bersama
dalam menentukan keputusan untuk membuat sistem kepemilikan tanah dan memilih Māhasammata adalah poin penting untuk
menunjukkan bahwa kekuasaan dari penguasa yang ada adalah kekuasaan yang
dilembagakan atau kekuasaan formal. Oleh
karena kekuasaan yang dilembagakan atau kekuasaan formal ini, maka kekuasaan
yang dimaksud bisa dikatakan sebagai kewenangan seorang pemimpin.
Māhasammata yang bisa didefinisikan sebagai pemimpin dan
penjaga ketertiban memiliki kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) Māhasammata adalah memiliki
hak untuk mengatur seluruh masyarakat, marah terhadap orang yang seharusnya
dimarahi, menghukum orang yang seharusnya dihukum dan berhak mendapatkan
sebagian hasil panen dari masyarakat. Ariyasena (dalam Kalupahana, 1987:104)
menjelaskan:
In
the Buddhist notion of the origin of authority, Māhasammata
was given only judicial power probably in
accordance with the customary laws of the community. Subsequently, in the
course of time, this authority seems to have been expanded so as to include the
administration of landed property by the khanttiyas. (Dalam gagasan Buddhis, asal otoritas Māhasammata hanya diberikan
kekuasaan kehakiman yang seperti halnya hukum adat masyarakat. Selanjutnya,
dalam perjalanan waktu, otoritas ini tampaknya telah diperluas sehingga
mencakup administrasi pemilikan tanah oleh khanttiyas.)
Kekuasaan dan
kewenangan terlihat masih sederhana karena hukum yang ditegakkan Māhasammata hanya seperti hukum adat
masyarakat atau komunitas. Namun kesederhanaan hukuman setidaknya menjelaskan
secara garis besar mengenai kekuasaan dan kewenangan dari Māhasammata.
4.
Kelembagaan Masyarakat (organization
of society)
Ilmu politik adalah mempelajari kelembagaan masyarakat.
Kogekar menjelaskan “a study of the
organization of society in its widest sense, including all organization, the
family the trade union, and state, with special reference to one aspect of
human behaviour; the exercise of control and the randering of obedience”I (Studi tentang organisasi
masyarakat dalam arti luas, termasuk semua organisasi, keluarga serikat buruh,
dan negara, dengan referensi khusus untuk salah satu aspek dari perilaku
manusia, pelaksanaan kontrol dan randering ketaatan) (dalam Rudy, 2003: 14). Penjelasan
Kogekar tentang ilmu politik yang mencakup studi organisasi masyarakat
menunjukkan kajian kelembagaan masyarakat dalam pendidikan politik adalah
penting.
Masyarakat dalam pengertian sederhana merupakan sekumpulan
orang yang mendiami daerah tertentu. Manusia memiliki naluri untuk selalu
bersama dan berkumpul dengan sesamanya. Begitu besarnya kebutuhan itu sehingga
jarang kita temui manusia yang tidak berhubungan dengan sesamanya dalam
masyarakat manapun. Bahkan dalam perkembangannya muncul berbagai kelompok
sosial yang lahir untuk bersenang-senang seiring kepentingan kelompoknya. Dalam
perkembangan kelompok sosial biasanya terbentuk lembaga-lembaga. Lembaga kemasyarakatan
berperan penting dalam proses kehidupan suatu kelompok sosial. Dengan
mengetahui adanya lembaga-lembaga maka setiap orang dapat mengatur perilakunya
menurut etika masyarakat atau kelompoknya. Etika ini sesuai dengan pengertian lembaga masyarakat yang dijelaskan
Koendjaraningrat, yaitu suatu sistem norma khusus yang menata suatu
rangkaian tindakan yang berpola guna memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan
bersama, dimana lembaga kemasyarakatan harus mempunyai sistem norma yang
mengatur tindakan yang terpolakan serta tindakannya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia (http://www.ojimori.com/2011/04/19/pengertian-jenis-dan-fungsi-lembaga-kemasyarakatan/).
Dalam Buddhisme, perkembangan munculnya lembaga
kemasyarakatan dapat dilihat di berbagai penjelasan Buddha tentang perkembangan
masyarakat. Dalam Agañña Sutta Dīgha Nikāya Buddha menjelasan
terbentuknya etika kelompok masyarakat. Penjelasan pertama, ketika hubungan
kelamin mulai dilakukan oleh beberapa makhluk di depan umum, makhluk-makhluk
yang melakukan hubungan kelamin dilempari debu, abu dan kotoran sapi karena
dianggap immoral oleh makhluk yang lain. Tahap selanjutnya pembentukan suatu
kesepakatan bersama untuk membuat semacam sistem administrasi kepemilikan tanah
dengan batas-batas. Tahap selanjutnya pemilihan pengatur ketertiban atau
seorang pemimpin (Māhasammata) untuk
menindak orang-orang yang tidak sesuai dengan etika atau hukum yang berlaku
(Davids, 2002: 84-85). Penjelasan ini menunjukkan masyarakat sudah memiliki kesamaan pandangan
untuk menganggap melakukan hubungan kelamin di depan umum adalah amoral,
mengakui aturan batas-batas kepemilikan tanah dan memilih penegak aturan yang
disepakati dalam kelompok. Kelompok masyarakat yang sudah membuat dan
menjalankan aturan bersama menunjukkan
dalam tahap perkembangan masyarakat dalam tahap ini sudah mulai
terbentuk kelembagaan masyarakat sederhana.
Kelembagaan masyarakat muncul dari persamaan pola pikir
dan kebiasaan hidup. Buddha dalam Agañña
Sutta (Davids, 2002: 89-91) menjelaskan:
They put away (bāhenti) evil, immoral customs,
Vāseṭṭha, is what is meant by Brahmins, and thus was it that Brahmins became
the earliest standing phrase [for those who did so]... Now, Vāseṭṭha, there
were some others of those beings who, adopting the married state, set on foot
various trads. That they, adopting the married state, set on foot various
[vissa] trades is, Vāseṭṭha, the meaning of vessā (tradesfolk)... But those
that live on hunting, and suchlike trifling pursuits, is what is meant by Suddā
(the lowest grade of folk). (Mereka menyingkirkan
kejahatan (bāhenti), kebiasaan tidak
bermoral, Vasettha, apakah yang dimaksud dengan Brahmana, dan dengan demikian
terbentuk istilah Brahmana yang paling awal (bagi mereka yang melakukannya) ...
Sekarang, Vasettha, ada beberapa orang lain dari makhluk-makhluk ada yang
mengurusi pemerintahan, ada yang mengurusi perdagangan (Vissa), Vasettha, makna vessā
(kaum pedagang) ... Tetapi orang yang hidup dengan berburu, dan pekerjaan
sejenisnya, adalah apa yang dimaksud dengan Suddā
(kelas terendah dari rakyat).
Penjelasan Buddha
menunjukkan kelembagaan masyarakat terbentuk dari kesamaan pola pikir seperti
usaha-usaha menyingkirkan hal-hal jahat dan tidak bermanfaat dengan bertapa,
sehingga muncullah golongan Brahmana. Kelembagaan masyarakat yang berasal dari
kebiasaan hidup dijelaskan terbentuk secara alami dari kebiasaan-kebiasaan
berdagang dan berburu, sehingga terbentuk golongan Vessā dan Suddā.
Penjelasan terbentuknya golongan masyarakat ini nampaknya merupakan kritikan
Buddha pada tradisi Brahmana tentang konsep kasta. Hal itu dipertegas dengan
penjelasan yang menunjukkan semua golongan masyarakat sebenarnya berasal dari
status yang sama dan kemudian pada penjelasan selanjutnya juga dijelaskan pada
akhirnya ketiga golongan masyarakat memutuskan untuk mencari pembebasan diri
dari penderitaan hidup dengan bertapa (Davids, 2002: 89-91). Meskipun
penjelasan Buddha adalah kritikan terhadap kasta, namun telah menunjukkan
alasan terbentuknya golongan masyarakat yang mengawali kelembagaan masyarakat.
Dalam penjelasan ini juga menunjukkan diskriminasi lembaga masyarakat satu
dengan yang lain tidak dibenarkan dalam Buddhisme, karena pada hakekatnya asal
dari semua golongan atau kelembagaan masyarakat adalah sama.
Dalam perkembangan terbentuknya lembaga masyarakat
selanjutnya akan dibahas kelembagaan yang lebih jelas formalitasnya serta
norma-norma yang dianut. Kelembagaan masyarakat pada zaman Buddha lebih dari
2555 tahun yang lalu telah terbentuk dua kelembagaan masyarakat yang terbentuk
dari kesepahaman Dhamma, yaitu garavassa (umat
awam) dan pabbajita (pertapa). Garavassa pertama terbentuk setelah
tujuh minggu pencerahan Buddha. Miṅgun (2008: 678) menjelaskan, setelah tujuh
minggu pencerahan Buddha diberi dana makanan oleh dua orang pedagang Tapussa
dan Bhallika. Setelah menerima dana makanan Buddha memberikan kotbah yang
sesuai. Setelah memberikan dana makanan dan mendengarkan kotbah Tapussa dan
Bhallika menyatakan berlindung pada Buddha dan Dhamma. Kedua pedagang laki-laki
ini belum berlindung kepada Sangha karena
belum terbentuk pada masa itu. Dua orang pedagang inilah yang menjadi umat
Buddha pertama sebagai golongan perumah tangga (garavassa) dengan mengucapkan kata perlindungan Devācika-saraṇa (Ete mayaṁ bhante Bhagavāntam saraṇaṁ gacchāma Dhammañ ca).
Perkembangan selanjutnya garavassa bertambah dari kaum perempuan sebagai upasika yaitu istri dan mertua upasaka Yassa (Widyadharma, 1985:45).
Oleh karena itu, golongan ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu, umat awam
laki-laki (upasaka) dan umat awam
perempuan (upasika). Golongan upasaka ataupun upasika sama-sama menyatakan perlindungan pada Buddha, Dhamma dan Saṅgha serta melaksanakan
prinsip-prinsip moralitas (sīla) bagi
umat awam.
Ditambahkannya Saṅgha
dalam perlindungan karena dalam
tahap ini telah terbentuk golongan Saṅgha
atau pabbajita. Terbentuknya pabbajita dijelaskan dalam kotbah Dhammacakkappavattana Sutta. Miṅgun
(2008: 698-704) menjelaskan, pemutaran roda Dhamma pertama kali diberikan pada
lima orang pertapa yaitu Aññāsi Kondañña, Vappa, Bhaddiya, Mahānāma dan Assaji.
Aññāsi Kondañña menjadi pabbajita
pertama dan ditasbis dengan ucapan Ehi Bhikkhu (Ehi Bhikkhu, Svakkhato
Dhammo, Cara brahmacaiyaṁ samma dukkhassa antakiriyaya), sehingga mendapat
gelar atau sebutan bhikkhu, yaitu seorang pabbajita
laki-laki. Setelah itu empat pertapa yang lain menyusul, sehingga mereka
mempunyai gelar bhikkhu. Dalam kotbah Dhammacakkappavattana
Sutta inilah awal terbentuknya golongan pertapa (pabbajita) yang berguru pada Buddha dan menggunakan Dhamma
(ajaran-Nya) sebagai pedoman hidup. Golongan pabbajita ini selanjutnya diistilahkan Saṅgha (kumpulan para Bhikkhu).
Dalam perkembangan selanjutnya kelompok masyarakat pabbajita (Saṅgha) berkembang pada kaum perempuan dengan sebutan bhikkhuni.
Piyadassi (1991: 290-293) menjelaskan untuk pertama kalinya dalam sejarah agama
ditahbiskannya Mahā Pajāpati Gotami sebagai bhikkhuni dalam kehidupan monastik.
Oleh karena itu Saṅgha terdiri dari
bhikkhu dan bhikkhuni, serta dalam perkembangan selanjutnya terbentuk Pabbajita pemula laki-laki dan perempuan
yang disebut samanera dan samaneri. Mereka yang termasuk dalam
kelompok ini menjalani kehidupan tidak berumah tangga, membaktikan diri untuk
melaksanakan hidup suci berdasarkan peraturan yang disebut sīla yang sekarang dikenal dengan Vinayā.
Pada saat Buddha menahbiskan lima orang Bhikkhu,
terbentuk organisasi masyarakat golongan pabbajita
yang pertama, yang dikenal dengan sebutan Saṅgha.
Meskipun Saṅgha dibentuk dan
didirikan Buddha, Beliau tidak pernah menunjuk orang tertentu untuk
menggantikan kedudukan Beliau. Semua anggota memiliki kedudukan yang sama,
walaupun terkadang ada sedikit perbedaan sikap terhadap bhikkhu senior, namun
itu hanya sebatas wujud penghormatan. Ini diperlihatkan dalam kelompok Saṅgha yang semua anggotanya mempunyai
hak untuk memutuskan masalah-masalah umum. Peraturan-peraturan yang dikumpulkan
menjadi Vinayā yang sampai saat ini
setiap anggota Saṅgha masih mematuhi
aturan tersebut dalam menentukan dan menuntun perbuatan mereka.
Buddha mendorong budaya konsultasi dan proses demokrasi
kepada siswa-siswa-Nya. Pada saat timbul permasalahan, maka permasalahan diselesaikan
dalam pertemuan bhikkhu-bhikkhu (Saṅghakamma) dan dibahas dalam sikap
demokrasi seperti sistem Dewan Perwakilan Rakyat yang digunakan masa kini.
Salah satu bhikkhu ditunjuk menjadi pemimpin Saṅghakamma untuk menjaga martabat majelis. Selain itu ada bhikkhu
yang ditunjuk untuk menentukan tercapai atau tidaknya kuorum yang berperan
serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat. Masalah-masalah
diajukan dalam bentuk suatu pernyataan (mosi) yang terbuka untuk didiskusikan.
Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali.
Dalam penyusunan suatu rancangan peraturan juga dibaca tiga kali sebelum
menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu
harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara.
Pendidikan politik seperti inilah yang dapat disarikan dalam kelembagaan
masyarakat Buddhis.
5.
Kegiatan dan Tingkah Laku Politik (political activity and behavior)
Ilmu politik mempelajari kegiatan dan tingkah laku
politik. Anderson, Rodee dan Christol (dalam Rudy, 2003: 14) menjelaskan:
viewed
some what more broadly, (political science) also includes “political” (power
seeking) behaviour in or by groups, organization, and institutions which are
more or less distinct from the state but which seek to influence public polici
and the direction of social change. (dilihat beberapa hal
yang lebih luas, (ilmu politik) juga mencakup "politik" (pencarian
kekuasaan) perilaku atau oleh kelompok, organisasi, dan lembaga yang kurang lebih
berbeda dari negara, tetapi berusaha untuk mempengaruhi ketertiban publik dan
arah perubahan sosial.)
Penjelasan ini
menunjukkan kegiatan tingkah laku politik dalam pembahasan ilmu politik perlu
dijelaskan. Hal itu penting karena dalam pendidikan politik dapat dijadikan
dasar pembelajaran mengenai sikap yang tepat oleh para politikus.
Tingkah laku politik ditunjukkan oleh Buddha secara
tersirat dalam berbagai sutta. Dalam
berbagai sutta hanya ditemukan
nasehat dan anjuran-anjuran Buddha kepada tokoh-tokoh pemerintah pada masa itu.
Abeynayake (1995: 34-35) telah membagi tiga fase perkembangan masyarakat di India
yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam perkembangan masyarakat ketiga
dijelaskan, keserakahan raja
yang tidak memiliki batas menyebabkan anggapan bahwa dirinya adalah individu
yang paling kuat. Anggapan itu menyebabkan kecenderungan untuk menjadi penguasa
tunggal dalam waktu yang lama. Penguasa tunggal menyebabkan aturan yang
dibentuk oleh banyak orang menjadi aturan oleh perorangan. Perubahan peraturan
menyebabkan republik-republik suku berubah menjadi kerajaan atau negara-negara
monarki dan penaklukan-penaklukan negara-negara lainpun terus terjadi. Hal itu
juga terjadi pada masa Buddha seperti yang dijelaskan dalam Mahāparinibbāna Sutta ketika Raja Ajātasattu akan menyerang negara suku Vajji.
Dalam kisah itu, Buddha meminta Raja Ajātasattu
supaya jangan menyerang negara suku Vajji. Buddha mengharapkan
kemajuan dari suku Vajji, bukan kemundurannya (Davids, 2002: 79-80). Dalam penjelasan tersebut
dijelaskan beberapa aktifitas pemerintahan yang ideal, diantaranya adalah
permusyawarahan, keamanan dan perdamaian yang terjaga. Demikian pula dalam Vinayā Pitaka, Buddha telah menetapkan
suatu aturan dan pedoman bagi bhikkhu untuk mengambil keputusan untuk
menyelesaikan suatu masalah, dilakukan dengan adhikaranasamatha yang terdiri dari tujuh cara (Horner, 2004: 153).
Dua cara diantaranya adalah sammukhavinaya
dan yebhuyyasikkha. Sammukhavinaya adalah cara menyelesaikan
masalah dengan musyawarah yang diambil melalui pertemuan para bhikkhu,
sedangkan yebhuyyasikkha adalah upaya penyelesaian masalah dengan pengambilan
opini dari banyak orang (keputusan mayoritas) (Horner, 1999: 33).
Kegiatan dan tingkah laku politik apapun dalam ajaran
Buddha, dianjurkan untuk tujuan perdamaian, kesejahteraan dan pengajaran
Dhamma. Dalam Mahāsudassana Sutta dijelaskan
seorang Raja Pemutar-Roda adalah raja kehidupannya berlandaskan Dhamma. Dalam
perluasan kekuasaan semuanya dilakukan dengan perdamaian dan pengajaran Dhamma
pada setiap tempat yang mau diperintah oleh raja. Raja selalu menganjurkan
untuk menghindari pembunuhan, pencurian, berzina, berbohong, mabuk-mabukan,
makan secukupnya. Kekuasaan dan kesejahteraan rakyatnya terus meluas hingga
Raja Pemutar-Roda berpikir, “dari kamma apakah ini berbuah, dari dari kamma
apakah ini berakibat, sehingga aku begitu kuat dan berkuasa? Ini adalah buah
akibat dari tiga jenis kamma: memberi, pengendalian diri, dan penghindaran”
(Davids, 2002: 203-218). Kegiatan dan tingkah laku politik inilah yang
seharusnya dilakukan oleh para politikus dan pemimpin negara.
No comments:
Post a Comment