Monday, 30 May 2011

kebenaran dalam buddhisme



Menurut ajaran Buddha, kebenaran itu satu dan tiada duanya. Kebenaran yang satu itu merupakan kebenaran yang tidak diperdebatkan  oleh siapapun. Misalnya, setiap orang tidak ingin hidup menderita adalah sebuah kebenaran yang tidak dipungkiri dan dibantah siapapun. Orang miskin-kaya, pria-wanita, tua-muda, cantik-jelek semua ingin bebas dari derita batin maupun fisik. Ini merupakan contoh kebenaran yang diungkapkan dalam ajaran Buddhis.
Berdasarkan pandangan umum ada tiga jenis kebenaran yang digunakan sebagai landasan berpikir. Pertama, kebenaran korespondensi yaitu sesuatu dikatakan benar jika bersesuaian dengan kenyataan yang ada. Misalnya saya punya satu adik dan pernyataan ini sesuai dengan kenyataan. Kedua, kebenaran koherensi yaitu sesuatu dikatakan benar jika berhubungan dengan pernyataan lain. Misalnya, setiap anak perempuan adalah rajin, A adalah anak perempuan. Jadi a adalah anak yang rajin. Pada dasarnya kebenaran seperti ini tidak selalu ada koherensinya,maksudnya bisa saja hal itu merupakan kesimpulan yang salah. Faktanya A adalah anak yang sangat malas. Ketiga, kebenaran pragmatis yaitu sesuatu dianggap benar jika ada funsi, ber daya guna atau bermanfaat. Misalnya, B mengobatkan anaknya yang sedang sakit kepada paranormal dengan kekuatan gaibnya. Banyak orang yang tidak percaya akan kesembuhan anak  B ditangan si dukun, tetapi  faktanya anak B bisa sembuh dan ini dianggap sebagai benar. ran yang Buddhisme tidak memandang apakah kebenaran itu sesuai dengan kenyataan, ada hubungannya dengan hal lain, berdaya guna atau tidaknya serta tinggi rendahnya kebenaran itu. Tetapi selagi suatu kebenaran itu tidak menimbulkan perdebatan, maka itulah kebenaran.
Dalam Buddhisme belakangan juga ada klasifikasi semacamnya seperti kebenaran relatif (samuthi sacca) dan kebenaran absolut (paramatha sacca). Contoh pernyataan kebenaran relatif adalah aku membaca buku. Menurut  paramatha sacca hal ini tidaklah benar dan berlawanan karena menurut paramatha sacca “aku” itu tidak ada. Sesuatu yang disebut “aku” hanyalah perpaduan unsur-unsur. Jadi tidak ada yang membaca buku. Klasifikasi ini hanyalah merupakan intepretasi para sarjana setelah ajaran Buddha mengalami perkembangan dan muncul pandangan absolutisme. Dalam Buddhisme awal, hal itu tidak dibeda-bedakan antara kebenaran tinggi dan rendah. Masing-masing memiliki peranan dalam mengajarkan kemoralan. Jadi seperti yang penulis sebutkan di pernyataan awal, bahwa kebenaran dalam Buddhis ada satu dan tidak ada yang lain, tanpa ada batasan dan pembedaan. Adanya pembedaan merupakan intepretasi siswa-siswa Buddha saja.

Refleksi Kebenaran Dalam Buddhisme

            Secara umum ada tiga jenis kebenaran yang digunakan sebagai landasan berpikir. Pertama adalah kebenaran korespondensi yaitu sesuatu itu disebut benar sesuai dengan kenyataan. Misalnya pekerjaan  ayah saya adalah buruh,hal ini sesuai dengan kenyataan. Kedua, kebenaran koherensi yaitu sesuatu disebut benar jika berhubungan dengan pernyataan yang lainnya. Misalnya manusia hidup butuh makan, saya adalah manusia, jadi saya butuh makan. Ketiga, kebenaran pragmatis yaitu sesuatu disebut benar jika berdaya guna atau bisa dipraktekkan. Misalnya seorang ibu membawa anaknya yang sedang sakit ke dokter, tetapi anaknya tidak bisa sembuh setelah memperoleh obat dari dokter. Kemudian ibunya membawa dia ke paranormal,dan anak itu bisa sembuh setelah diberi air putih yang sudah diberi mantra. Hal ini disebut benar karena anak itu sembuh walaupun banyak orang tidak percaya. Kemudian kebenaran menurut Buddhisme yang seperti apa?
            Dari pertanyaan diatas,penulis akan merefleksi kebenaran dalam Buddhisme. Menurut  Buddhisme, kebenaran itu  hanya satu tidak ada duanya maksudnya sesuatu itu disebut benar ketika tidak ada perdebatan antara dua orang atau lebih. Walaupun dalam Buddhisme belakangan terdapat klasifikasi mengenai kebenaran relatif (samuthi sacca) dan kebenaran absolut (paramatha sacca). Kebenaran relatif (samuthi sacca) contohnya adalah aku sedang tidur. Namun menurut kebenaran absolut (paramatha sacca) pernyataan tersebut tidak benar karena menurut  paramatha sacca tidak ada “aku”. Tubuh ini hanyalah merupakan perpaduan dari unsur-unsur, jadi menurut paramatha sacca tidak ada yang sedang tidur. Namun dalam early Buddhism tidak membedakan antara kebenaran relatif (samuthi sacca) dan kebenaran absolut (paramatha sacca). Kedua kebenaran ini dilatarbelakangi dua sutta yaitu nitatha dan neyyatha dan tidak ada yang diunggulkan maupun direndahkan karena keduanya mempunyai peran dalam mengajarkan kemoralan.
           

No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”