Monday 14 May 2012

Bentuk-bentuk Pendidikan Politik Buddhis


Bentuk-bentuk Pendidikan Politik Buddhis

Banyak masyarakat Buddhis yang tidak terlalu perduli dengan politik, terlebih pendidikan politik. Penulis melihat fenomena itu sebagai kekeliruan besar dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Kekeliruan ini akan mempengaruhi sikap masyarakat Buddhis yang aktif atau pasif terhadap politik. Sikap ini bisa dirubah jika ideologi masyarakat Buddhis sudah terdidik dalam interen Buddhis, mengingat dalam Buddhisme juga ada bentuk-bentuk pendidikan politik. Hal itu akan berguna dalam prilaku politik masyarakat Buddhis.
Definisi ilmu politik akan menunjukkan hal yang termasuk kriteria dan hal yang bukan termasuk kriteria pembahasan ilmu politik. Kriteria pembahasan ilmu politik akan mempermudah pengambilan konsep-konsep dari ajaran Buddha tentang politik. Definisi ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan (Budiardjo, 2008: 13).
Dalam buku Pengantar Ilmu politik, Rudy (2003:10) mengelompokkan objek ilmu politik dari beberapa filsuf politik menjadi lima yaitu, negara (the state), pemerintahan (government), kekuasaan dan kewenangan (power and authority), kelembagaan masyarakat (organization of society), serta kegiatan dan tingkah laku politik (political activity and behavior). Pengelompokan tentang lima objek ilmu politik ini berasal  dari beberapa filsuf yang berusaha mendefinisikan ilmu politik. Definisi mengenai objek dalam ilmu politik terdapat beberapa perbedaan, hal itu karena persepsi masing-masing orang yang berbeda. Lebih lanjut Rudy menjelaskan perbedaan itu adalah kekurangan dalam ilmu politik, karena belum ada kesepakatan mengenai suatu definisi ilmu politik.
Dari lima objek kajian dalam ilmu politik yang dikemukakan Rudy penulis akan mengkorelasikannya dengan nilai-nilai ajaran Buddha tentang ilmu politik. Korelasi antara keduanya akan menjelaskan dan menunjukkan bentuk-bentuk pendidikan politik dalam agama Buddha. Berikut objek-objek kajian yang berkenaan dengan ilmu politik Buddhis, yaitu:
1.      Negara (the state)
              Bentuk pendidikan politik yang terkandung dalam nilai-nilai ajaran Buddha salah satunya adalah negara. Soltau menjelaskan, negara adalah agen (agency) atau kewenangan (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (the state is an agency or authority managing or controling these (common) affairs on behalf of and in the name of the comunity) (dalam Budiardjo, 2008: 48). Untuk menjelaskan definisi negara dalam Buddhisme, perlu diketahui proses terbentuknya negara. Awal terbentuknya negara tidak lepas dari proses munculnya masyarakat, dan munculnya masyarakat tidak lepas dari proses munculnya manusia.
              Penjelasan mengenai proses munculnya manusia dalam Buddhisme dapat dilihat dalam Agañña Sutta. Dalam Agañña Sutta penjelasan Buddha tentang awal terbentuknya manusia pada awal pembahasan masih menggunakan istilah “makhluk” (beings). Penggunaan istilah “makhluk” dikarenakan pembahasannya dimulai dari proses terbentuknya planet bumi dan isinya. Dalam terbentuknya bumi dan isinya dijelaskan, makhluk awal yang muncul bukan langsung dalam bentuk manusia.
              Dalam Agañña Sutta penjelasan Buddha tentang awal terbentuknya bumi dan isinya menimbulkan kontroversi. Kontroversi itu diantaranya ada yang beranggapan bahwa sutta itu adalah penjelasan mengenai awal terbentuknya alam semesta ataupun teori penciptaan dalam Buddhis. Kontroversi ini sebenarnya tidak perlu terjadi, seperti penegasan Abeynayake (1995: 2) mengatakan bahwa Buddha menjelaskan awal pertama (pubbãkoti) dari dunia ini (samsara) tidak teramati (na pannayati). Penjelasan ini menunjukkan  tidak pentingnya memperdebatkan asal mula dari segala sesuatu. Buddha (Davids, 2002: 81-82) menjelaskan:
There comes a time, Vāseṭṭha, when, sooner or later, after the lapse of a long, long period, this world passes away. And when this happens, beings have mostly been reborn in the World of Randiance; and there they dwell, made of mind, feeding on rapture, self-luminous, traveling the air, continuing in glory; and thus they remain for a long, long period of time. There comes also a time, Vāseṭṭha, when sooner or later this world begins to re-evolve. When this happens, beings who had deceased from the World of Radiance, usually come to life as humans. And they become made of mind, feeding on rapture, self-luminous, traversing the air, continuing in glory, and remain thus for a long, long period of time.
(Ada suatu masa, Vasettha, ketika, cepat atau lambat, setelah selang waktu  yang lama, dunia ini berlalu. Dan ketika hal ini terjadi, makhluk sebagian besar telah terlahir di alam cahaya, dan di sana mereka menetap, terbentuk dari pikiran, makanannya kegembiraan, tubuhnya bercahaya, melayang-layang di udara, selalu dalam kemuliaan, dan dengan demikian mereka tetap untuk waktu yang lama. Pada masa berikutnya, Vasettha, ketika cepat atau lambat dunia ini mulai berevolusi kembali. Ketika evolusi ini terjadi, makhluk yang telah meninggal dari alam cahaya, biasanya datang untuk hidup sebagai manusia. Dan mereka menjadi terbuat dari pikiran, makanannya kegembiraan, tubuhnya bercahaya, melayang-layang di udara, selalu dalam kemuliaan, dan tetap demikian untuk jangka panjang, waktu yang panjang).

Penjelasan Buddha dalam awal penjelasannya terdapat kata-kata “cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang” menunjukkan Agañña Sutta bukanlah teori penciptaan dari segala sesuatu. Penjelasan mengenai penegasan proses waktu yang harus dilalui dalam setiap proses perubahan alam dan makhluk menunjukkan  Agañña Sutta bukanlah penjelasan teori penciptaan atau awal dari segala sesuatu dalam Buddhisme. Agañña Sutta pada dasarnya tidak bertentangan dengan teori penciptaan apapun, karena isinya merupakan eksposisi dari proses evolusi, bukan awal dari segala sesuatu. Abeynayake (1995: 2) menambahkan penegasan eksposisi dari proses evolusi ini dalam analisisnya “There comes also a time when, sooner or later, this world begins to evolve (vivaṭṭati)”. (Ada datang juga saat, cepat atau lambat, dunia ini mulai berevolusi (vivaṭṭati)).
              Awal terbentuknya negara tidak lepas dari proses evolusi terbentuknya makhluk yang hidup sebagai individu terpisah sampai menjadi sekelompok manusia atau masyarakat. Dalam Agañña Sutta (Davids, 2002: 82-88), Buddha menjelaskan:
And when this happens, beings have mostly been reborn in the World of Randiance ... No female nor male ... so continued for a long long while. And in measures they, thus feeding, went on existing, so did the bodies of those being become even more solid, and the divergence in their comeliness more pronounced. In the female appeared the distinctive features of the female, in the male those of the male. The truly did women contemplate man too closely, and man, woman. In them contemplating over much the one the other, passion arose and burning entered their body. They in consequence thereof followed their lusts. And beings seeing them so doing threw, some, sand, some, ashes, some, cow dung, crying ... Those beings who at that time followed their lusts, were not allowed to enter  village or town either  for a whole month or even for two months ... they set work to make huts, ... we were to select a certain being ... chosen by the whole people, Vasetha, is what is meant by Maha Samata. (Dan ketika hal ini terjadi, makhluk-makhluk sebagian besar telah terlahir di alam cahaya ... Tidak ada perempuan atau laki-laki ... hal itu terus berlangsung dalam waktu yang panjang. Dan demikian makan dalam takaran mereka, melanjutkan yang ada, begitu pula tubuh mereka yang menjadi lebih padat, dan perbedaan dalam kemolekan mereka lebih jelas. Pada wanita muncul ciri khas perempuan, pada pria juga demikian. Wanita sunguh-sungguh merenungkan pria sangat dalam. Di dalam banyak perenungannya muncul satu gairah yang lain dan membakar tubuh mereka. Sebagai akibatnya, mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Dan makhluk-makhlu lain yang melihat mereka demikian melemparkan, beberapa pasir, abu, kotoran sapi, kemudian makhluk itu menangis ... Mereka yang mengikuti hawa nafsu, tidak diizinkan untuk memasuki desa atau kota baik untuk satu bulan atau bahkan untuk dua bulan ... mereka membangun pondok untuk menetap, ... kami memilih makhluk tertentu ... seseorang yang dipilih oleh seluruh rakyat, Vasetha, adalah apa yang dimaksud dengan Maha Samata).

Penjelasan Buddha menunjukkan sebelum membentuk satu sistem kemasyarakatan, makhluk penghuni pertama planet bumi adalah evolusi makhluk dari alam ābhassara (cahaya). Makhluk bercahaya (ābhassara) belum menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin dan bentuk tubuh. Pada tahap evolusi berikutnya, muncul perbedaan jenis kelamin (itthilinga dan purisalinga) dan bentuk tubuh. Dalam sutta tampak ada ketidak-jelasan alur, karena setelah makhluk yang berbeda jenis kelamin itu melakukan hubungan seks (methuna), langsung disebutkan banyak makhluk yang mengintimidasi keduanya dan mengusir dari kelompok. Kemungkinan dalam tahap ini makhluk-makhluk itu sudah hidup berkelompok dalam suatu wilayah tertentu. Penjelasan berikutnya terdapat rujukan bahwa sudah ada tempat yang disebut desa. Pelaku hubungan seks kemudian tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam desa selama periode tertentu. Akhirnya kedua pelaku hubungan seks ini membangun rumah secara terpisah untuk menutupi perilaku hubungan seks. Penjelasan itu menunjukkan  ada kemungkinan bahwa masyarakat tinggal bersama-sama dalam suatu desa, tetapi tidak dalam suatu bangunan yang disebut rumah. Tahap berikutnya disebutkan bahwa ada semacam pemilihan pemimpin kelompok masyarakat yang disebut Māhasammata. Pemilihan pemimpin dimaksudkan untuk memimpin, menjaga keamanan dan mengadili yang bersalah dalam kelompok masyarakat di suatu tempat yang disebut desa. Munculnya Māhasammata yang bertugas menghukum yang bersalah sesuai dengan definisi negara yang dikemukanan Weber: Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (the state is a human society that (succesfully) claims the monopoli of the legitimate use of physical force within a given territory) (dalam Budiardjo, 2008: 49).
              Pemilihan Māhasammata merupakan petunjuk penjelasan Buddha tentang awal terbentuknya negara. Māhasammata dipilih oleh masyarakat, diberi kewenangan untuk menjaga, mengatur dan mengadili yang bersalah. Dalam menjalankan tugas dan wewenang seorang Māhasammata  diberi imbalan dari masyarkat. Imbalan yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama. Abeynayake (1995: 9-10) menyatakan:
But we will give him in return a proportion of rice (sãlînam bhãgam). Then those beings went to the being among them who was the handsomest (abhirûpataro ca), the best favoured (dassanîyataro ca), the most attractive (pãsãdikataro ca), the most capable (mahesakkhataro ca) and said to him: come now, Good Being, be indignant at that one should rightly be indignant, censure that which should rightly be censured, banish him who deserves to be banished. And we will contribute to thee a proportion of our rice. And he consented and did so (evam bhoti kho so satto tesam sttãnam paṭissutvã) and they gave him a proportion of their rice.(Tapi kita akan memberikannya kembali satu bagian beras (sãlînam bhãgam). Kemudian makhluk-makhluk pergi menuju diantara mereka yang tampan (abhirûpataro ca), yang paling disukai (dassanîyataro ca), yang paling menarik (pãsãdikataro ca), yang paling mampu (mahesakkhataro ca) dan berkata kepadanya: datang sekarang, makhluk sempurna, menjadi marahlah pada yang pantas dimarahi, kecamlah pada mereka yang seharusnya dikecam, usirlah orang yang layak untuk dibuang. Dan kita akan memberikan menyumbangkan kepadamu sebagian dari beras milik kita. Dan dia setuju dan melakukannya (evam bhoti kho satto tesam sehingga sttãnam paṭissutvã) dan mereka memberinya sebagian beras mereka).

Penjelasan Abeynayake menunjukkan pemilihan seorang pemimpin dilakukan bersama-sama berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama. Terpilihnya orang yang paling ideal kemudian diberi sebagian penghasilan masyarakat yang berupa beras. Imbalan beras menunjukkan  awal terbentuknya sistem pajak dalam suatu negara atau kerajaan yang dalam tahap ini negara masih setara dengan desa atau kota kecil.
              Analisis Abeynayake tentang evolusi masyarakat dalam tahap ini menunjukkan  istilah “masyarakat” sudah tepat digunakan. Istilah “masyarakat” sudah sesuai dengan pengertian istilah “masyarakat” di zaman sekarang, yaitu sekumpulan orang yang hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu (Kamus Bahasa Indonesia, 2008: 924). Pengertian itu sesuai dengan penjelasan masyarakat dalam Agañña sutta ditahap ini yang sudah mulai tinggal bersama dalam ikatan aturan tertentu oleh seorang Māhasammata, dan yang terpenting ikatan aturan dan pemilihan Māhasammata  ini berdasarkan kesepakatan bersama.
              Dalam Agañña Sutta tidak ada penjelasan yang jelas tentang perubahan pola hidup makhluk yang hidup sebagai individu terpisah sampai membentuk masyarakat dalam suatu desa atau kota. Penjelasan mengenai masyarakat disebutkan dalam berbagai kasus seperti dalam kasus hukuman pada pelaku hubungan seks di depan umum, pembagian lahan pertanian dengan batas, pemilihan Māhasammata, munculnya golongan masyarakat berdasarkan aktivitas kehidupan. Penjelasan masyarakat dalam kasus-kasus itu tiba-tiba saja disebutkan tanpa penjelasan yang melatarbelakangi mereka mulai hidup bersama dalam suatu kelompok.
              Oleh karena ketidakjelasan ini, penulis menganalisis terbentuknya negara dalam Agañña Sutta berdasarkan konsep evolusi, bukan teori awal mula terbentuknya masyarakat. Proses evolusi makhluk individu menjadi hidup bersama dalam suatu kelompok merupakan gambaran awal mengenai terbentuknya negara. Dalam proses evolusi ini terdapat penjelasan yang bisa menjadi dasar kesimpulan terbentuknya negara sederhana yaitu, munculnya komunitas masyarakat yang tinggal di suatu tempat dan masyarakat yang memiliki kesamaan pandangan dalam kesatuan peraturan moral. Pandangan yang sama melahirkan struktur organisasi dari otoritas politis yang dapat didefinisikan sebagai warga negara yang mempersatukan masyarakat dengan seperangkat prinsip moral.
              Dalam evolusi masyarakat sampai terbentuk ikatan peraturan bersama secara garis besar membentuk fase-fase perkembangan yang semua telah dijelaskan dalam Agañña Sutta. Berdasarkan antropolog Abeynayake (1995: 34-35) membagi tiga fase perkembangan masyarakat di India, yaitu:
1).      Adanya berbagai suku; setiap suku memiliki kepala suku dan wilayah; hidup nomaden; terdiri dari sekelompok kecil keluarga; wilayahnya lebih sempit dari sebuah desa.
2).      Suku tertentu memperluas wilayah lain dengan penaklukan untuk penguasaan lahan ternak dan perluasan populasi. Adanya sistim pemerintahan (gaṇa), yaitu administrasi oleh orang banyak; dibawah pengawasan kepala suku paling dominan (gaṇapati).  Administrasi oleh orang banyak maksudnya untuk mengatur perbedaan suku-suku yang telah ditaklukan dibawah satu pemerintahan kepala suku yang berkuasa. Fase kedua ini dapat dipahami sebagai cikal bakal terbentuknya republik.
3).      Keserakahan Gaṇapati yang tidak memiliki batas menyebabkan anggapan bahwa dirinya adalah individu yang paling kuat. Anggapan itu menyebabkan kecenderungan untuk menjadi penguasa tunggal dalam waktu yang lama. Penguasa tunggal menyebabkan aturan yang dibentuk oleh banyak orang menjadi aturan oleh perorangan. Perubahan peraturan menyebabkan republik-republik suku berubah menjadi kerajaan atau negara-negara monarki yang demikian muncul, kadang-kadang menentang sistem baru dan terkadang diganti oleh sistem yang baru, untuk waktu yang lama dalam sejarah India Utara.
Tiga fase perkembangan masyarakat ini menunjukkan  perubahan kehidupan manusia sampai membentuk sekelompok masyarakat seperti penjelasan dalam Agañña sutta. Perlu diketahui pula, Abeynayake mengatakan tiga fase perkembangan itu sama dengan fenomena perkembangan masyarakat pada masa Buddha. Namun jika kita melihat kondisi pemerintahan masa Buddha, yang paling sesuai adalah fase kedua tentang sistem pemerintahan repuplik dan pemerintahan monarki. Fase pertama, lebih tepat disamakan dengan penjelasan Buddha tentang perkembangan masyarakat dalam Agañña Sutta.
2.      Pemerintahan (government)
              Pemerintahan adalah bagian dari bidang kajian ilmu politik. Hal ini selaras dengan hakikat politik itu sendiri, yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan atau menyangkut kekuasaan (Rudy, 2003: 29). Dalam pembahasan ini, termasuk cara-cara memperoleh kekuasaan, keabsahan kekuasaan, cara-cara penyelenggaraan pemerintahan, batasan batasan pemerintahan, bentuk-bentuk pemerintahan dan hubungan-hubungan pemerintahan (baik antar penguasa, maupun antara penguasa dengan rakyatnya). Dasar kajian pemerintahan dalam ilmu politik ini yang akan dijadikan dasar pembahasan pemerintahan dalam Buddhisme. Dasar pembahasan pemerintahan ini agar lebih jelas, akan ditambah pembahasan awal terbentuknya pemerintahan menurut Buddhisme.
              Agañña Sutta menjadi salah satu sumber utama dalam penjelasan awal terbentuknya pemerintahan. Buddha, (Davids, 2002: 88):
Now those being, Vasetha, gathered themselves together, and bewailed these things, saying: From our evil deeds, sirs, becoming manifest, inasmuch as stealing, censure, lying, punishment have become known, what if we were to selected a certain being, who should be wrathful when indignation is right, who should be  censure that which should rightly be censure and should banish him who deserves to be banished?(Sekarang makhluk-makhluk itu, Vasetha, berkumpul bersama-sama, dan meratapi hal-hal ini, mengatakan: Dari perbuatan kita yang jahat, Tuan, menjadi nyata, karena mencuri, kecaman, berbohong, hukuman telah menjadi dikenal, bagaimana jika kita harus memilih makhluk tertentu, yang harus marah pada saat yang tepat, mengecam pada makhluk yang harus dikecaman dan harus mengusir orang yang layak untuk dibuang?)

Dalam penjelasan ini tampak tahap terbentuknya kesepakatan bersama dengan musyawarah untuk membentuk sistem pemerintahan sederhana. Hal itu ditunjukan dengan munculnya pemikiran untuk memilih seseorang yang dapat diberi kepercayaan untuk memimpin, menjaga keamanan dan mengadili yang pantas diadili. Dalam pemilihan pemimpin berdasarkan keputusan bersama atau keputusan mayoritas menunjukkan sifat alamiah awal manusia yang mengarah pada sistim pemerintahan demokratis. Walaupun tujuan dari pemilihan pemimpin secara demokratis ini identik dengan terbentuknya sistem hukuman, namun ini menegaskan tidak ada sistem pemerintahan yang dapat eksis tanpa institusi hukum atau pemerintahan yang menegakkan keadilan.
              Dalam perkembangan awal terbentuknya pemerintahan dalam Agañña Sutta disebutkan dua istilah yang berhubungan dengan pemerintah, yaitu rãjã dan khattiya. Buddha menjelaskan rãjã adalah pelaksana prinsip kebenaran dan khattiya adalah penguasa ladang. Abeynayake (1995: 37-38) menjelaskan:
Two words are mainly used in the Pali canon to indicate the king. One of them is Rãjã while the other is khattiya. The general belief of the Buddha’s day was that only a khattiya, a male from the warrior caste, could become a king. That was in fact the brahmanical legacy. As seen above, the world khattiya is defined by the Buddha in the aganna sutta as the lord of the fields (khetãnam patîti kho Vãseṭṭha khattiyo) [18]. This definition is given in a discussion in which the Buddha divulged the origins of the four castes prevalent in the Indian society. According the Agañña Sutta, the Rãjã is he who delights or charms others by righteousness (dhammena pare rañjatîti rãjã) [19]. (Dua kata yang utama digunakan dalam kanon Pali untuk menunjukkan raja. Salah satunya adalah Rãjã, sementara yang lainnya adalah Khattiya. Pada masa Buddha kata yang umum digunakan adalah hanya istilah Khattiya, laki-laki dari kasta ksatria, bisa menjadi raja. Itulah sebenarnya warisan brahmanisme. Seperti yang terlihat di atas, dunia Khattiya didefinisikan oleh Buddha dalam Agañña Sutta sebagai penguasa bidang (khetãnam patîti kho Vasettha khattiyo) [18]. Definisi ini diberikan dalam sebuah diskusi di mana Buddha menerangkan asal-usul dari empat kasta umum di masyarakat India. Menurut Agañña Sutta, Raja adalah orang yang senang atau orang lain pesona oleh kebenaran (dhammena pare rañjatîti Raja) [19]).

Penjelasan Abeynayake menunjukkan dalam Buddhisme istilah pertama kali yang digunakan dalam menjelaskan pemerintah adalah rãjã dan khattiya. Istilah rãjã dalam penjelasan Buddha dalam Agañña Sutta pertama kali diistilahkan Māhasammata. Istilah Māhasammata sebenarnya mengarah pada hakim atau orang yang dipercaya untuk menghukum yang seharusnya dihukum. Namun kepercayaan yang diberikan pada Māhasammata dijelaskan seorang yang memiliki kualifikasi paling baik atau ideal dibanding makhluk lain. Kualifikasi ini jika dihubungkan dengan istilah rãjã memiliki kesamaan. Dari definisi rãjã dalam Agañña Sutta, yaitu sebagai pelaksana prinsip kebenaran Māhasammata  sangat sinkron karena tujuan dari pemilihan Māhasammata juga untuk menegakan kebenaran. Istilah kedua yaitu khattiya, dijelaskan sebagai pemilik ladang. Namun Buddha juga menjelaskan kasta satria atau prajurit dalam tradisi brahmanisme, yaitu khattiya, dijelaskan dalam kisah evolusi sebagai manusia yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding manusia yang lain (Abeynayake, 1995: 38). Oleh karena itu, dalam tradisi brahmanisme manusia yang mewarisi golongan satria atau prajurit ini dianggap yang paling berhak menjadi kaum kesatria atau pemerintah. Buddha dalam Agañña Sutta menjelaskan alasan manusia disebut khattiya ataupun rãjã sebenarnya berasal dari kebijaksanaannya sebagai seorang pemimpin, bukan karena dia keturunan seorang pemimpin.
              Dalam Dahara Sutta dari Samyutta Nikāya, istilah khattiya digunakan sebagai sinonim untuk istilah rãjã. Buddha (Bodhi 2003: 164-166) menjelaskan:
There are four things, great king, that should not be despised and disparaged as ‘young’. What four? A khattiya, great king, should not be despised and disparaged as ‘young’ ...
One should not despise as ‘young’
A khattiya of noble birth.
A high-born prince of glorious fame:
A man should not disparage him.
For it may happen that this lord of man,
This khattiya shall gain the throne,
And in his anger.. one harshly
With a royal punishment.
Therefore guarding one’s own life,
One should avoid him.
(Ada empat hal, raja besar, yang tidak seharusnya dibenci dan diremehkan sebagai 'muda'. Apakah yang empat itu? Sebuah Khattiya, raja besar, tidak seharusnya dibenci dan diremehkan sebagai 'muda' ...
Kita tidak seharusnya membenci sebagai 'muda'
Seorang Khattiya kelahiran mulia.
Seorang pangeran tinggi lahir dari ketenaran yang mulia:
Seorang pria tidak boleh meremehkan dia.
Kemungkinan menjadi orang yang mulia,
Ini Khattiya akan mencapai takhta,
Dan dalam kemarahannya .. dengan kasar
Dengan hukum kerajaan.
Oleh karena itu jagalah kehidupan diri sendiri,
Seseorang seharusnya menghindarinya).

Penjelasan ini menunjukkan  istilah khattiya adalah seorang prajurit, pangeran atau rãjã kecil mulia yang tidak boleh dipandang rendah dan diremehkan. Maksud Buddha dalam penjelasan itu tentunya sangat beralasan, karena dari kriteria seseorang yang dapat menjadi raja dalam Agañña Sutta menunjukkan  khattiya atau Rãjã adalah orang yang paling mulia dan pelaksana prinsip-prinsip kebenaran. Abeynayake (1995: 38) menganalisis istilah khattiya sebagai yang terbaik dari semua manusia (khattiyo dvipadam seṭṭho) dan penerima supremasi kelas penguasa dengan mengatakan bahwa khattiya  adalah yang tertinggi di antara manusia (khattiyo seṭṭho janetasmim).
              Berdasarkan penjelasan pemerintahan oleh seorang rãjã, Buddha menyadari posisi agung rãjã dalam masyarakat India. Keistimewaan yang paling menarik adalah, tidak ada siapapun yang melawan rãjã dalam sistem pemerintahan monarki. Keistimewaan ini dapat dipahami dari penjelasan Buddha dalam mendefinisikan istilah rãjã atau khattiya, yaitu dengan mengutamakan sifat-sifat rohaninya dibandingkan keduniawian. Definisi secara kerohanian dapat dilihat dari klasifikasi seorang raja sebagai pelaksana prinsip-prinsip kebenaran. Definisi secara kerohanian menunjukkan  Dhamma adalah yang mengkondisikan gelar rãjã atau khattiya bagi orang yang melaksanakan prinsip-prinsip kebenaran, bukan strata sosial ataupun kekayaan. Definisi ini mengingatkan semua raja pada zamannya dari keterbatasan mereka dalam kekuasaan dan kewajibannya kepada masyarakat.
              Kewajiban atau tugas seorang rãjã atau pemerintah telah dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, tetapi penjelasan itu belum menunjukkan dengan jelas tugas dari pemerintah. Pembahasan selanjutnya, penulis akan menjelaskan tugas pemerintah. Buddha (David, 2002: 62-63) dalam Cakkavati-sīhanadā Sutta menjelaskan:
But what, Sir, is this Ariyan duty of a wheel-turning Monarch? This, dear son, that thou, leaning on the Norm [the Law of truth and righteousness] honouring, respecting and revering it, doing homage to it, hallowing it, being thyself a Norm-banner, a Norm-signal, having the Norm as thy master, should provide the right watch, ward, and protection for thine own folk, for the army, for the nobles, for vassalas, for brahmins, and house holders, for town and country dwellers, for the religious world, and for beasts and birds. Throughout thy kingdom let no wrongdoing prevail. And whosoever in they kingdom is poor, to him let wealth be given.
And when, dear son, in thy kingdom men of religious life, renouncing the carelessness arising from the intoxication of the senses, and devoted to forbearance and sympathy, each mastering self, each calming self, each perfecting self, shall come to thee from time to time, and question thee concerning what is good and what is bad, what is criminal and what is not, what is to be done and what left undone, what line of action will in the long run work for weal or for woe, thou shouldst hear what they have to say, and thou shouldst deter them from evil, and bid them take up what is good. This dear son, is the Ariyan duty of a sovran of the world. (Tapi apakah, Yang Mulia, tugas Raja Pemutar Roda? demikian, putra yang terkasih, bahwa engkau, berpedoman pada Norma (Hukum kebenaran dan kebajikan) yang luhur, menghormati dan memujanya, melakukan penghormatan kepadanya, mensucikannya, menjadikan dirimu sendiri sebagai suatu panji-panji norma, sebuah lambang norma, yang memiliki norma paling unggul, yang seharusnya teladan yang baik bagi lingkungan, dan perlindungan bagi rakyat-Mu sendiri, untuk tentara, untuk para bangsawan, untuk para vassala, untuk para brahmana, dan perumah-rumah, bagi penduduk kota dan negara, untuk keagamaan, dan untuk binatang dan burung. Sepanjang Kerajaan-Mu biarkan kesalahan tidak berlaku. Dan barang siapa di kerajaan mereka yang miskin, dia memberikan bantuan kekayaan.
Dan ketika, putra terkasih, agamawan dalam kerajaan-Mu, menyangkal kecerobohan yang timbul dari keracunan dari indra, dan dikhususkan untuk kesabaran dan simpati, masing-masing menguasai diri, masing-masing menenangkan diri, masing-masing menyempurnakan diri, akan datang kepadamu dari waktu ke waktu, dan bertanya kepadamu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang kriminal dan apa yang tidak, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak dikerjakan, tindakan apa yang akan dilakukan dalam jangka panjang untuk kesejahteraan atau untuk sengsara, engkau seharusnya mendengar apa yang mereka katakan, dan engkau seharusnya mencegah mereka dari kejahatan, dan menganjurkan mereka untuk berbuat baik. Inilah putra terkasih tugas Ariya dari raja dunia.)

Penjelasan dalam Cakkavati-sīhanadā Sutta tersebut, seperti dalam Agañña Sutta, bahwa Buddha menjelaskan tentang tugas-tugas seorang rãjã yang berdasarkan Dhamma atau prinsip-prinsip kebenaran adalah landasan terpenting bagi seorang rãjã. Prinsip-prinsip kebenaran memberikan penjelasan yang lebih spesifik mengenai hal yang harus diperhatikan seorang raja. Spesifikasi ini terlihat dalam penjelasan perlindungan sesuai Dhamma pada keluarga, pasukan, penduduk desa dan kota, para pertapa dan brahmana, binatang liar dan burung-burung. Selain perlindungan, dijelaskan juga kewajiban belajar dhamma dari mereka yang bijaksana dan memberikan barang-barang kebutuhan bagi yang membutuhkan.
              Kewajiban atau tugas seorang rãjã juga dijelaskan Buddha dalam Nandiyamigga Jātaka. Buddha (Cowell, 2005: 174) menjelaskan sepuluh kewajiban seorang pemimpin pemerintah atau rãjã, yaitu:
1).     Dana (kedermawanan)
       Seorang pemimpin patut memperhatikan kesejahteraan, dan kemakmuran hidup rakyat. Pemerintah yang ideal hendaknya menyediakan kebutuhan hidup yang cukup untuk kesejahteraan rakyatnya.
2).     Sila (moralitas)
       Seorang pemimpin selalu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan tidak bermoral; seperti membunuh, mencuri, berzinah, berkata tidak benar, minum-minuman keras. Hal ini dapat menjaga kredibilitas seorang pemimpin.


3).     Paricagga (pengorbanan diri)
       Seorang pemimpin selalu siap mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat banyak, kepentingkan bangsa lebih penting daripada kepentingan pribadi atau kelompok.
4).     Ajjava (integritas)
       Bersikap tulus dalam menjalankan kewajibannya dengan menjujung tinggi kebenaran. Jika status hubungan dan jabatan dapat diikat dengan janji resmi dan sumpah, tetapi pemerintah harus terikat pada hukum kebenaran dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya.
5).     Maddava (berani bertanggung jawab)
       Mengurus pemerintahan menuntut pertanggungjawaban terhadap segala tindakan sesuai dengan harapan rakyat.
6).     Tapa (sederhana)
       Seorang pemimpin siap hidup sederhana, puas dalam hidup sederhana, tidak serakah, tidak berkeinginan yang berlebihan sementara rakyatnya diabaikan.
7).     Akkhodha (tanpa kemarahan)
       Seorang pemimpin hendaknya berusaha melepaskan segala permusuhan, niat buruk, sentimen pribadi, maupun kebencian dan dendam.
8).     Avihimsa (tanpa kekerasan)
       Kekerasan bukan penyelesaian masalah, karena kekerasan hanya akan mengakibatkan kebencian dan penderitaan.


9).     Khanti (kesabaran)
       Seorang pemimpin hendaknya siap menerima pujian ataupun celaan dengan kesabaran. Kesabaran akan mengkondisikan pikiran tenang, sehingga akan membuat pangamatan jernih dalam fenomena politik yang terjadi.
10). Avirodha (tidak menentang kehendak rakyat)
       Seorang pemimpin tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani rakyat. Hak pemimpin berasal dari rakyat, oleh karena itu jangan sampai terjadi ketimpangan antara yang dilakukan dengan kehendak rakyat.
              Setelah memahami definisi pemerintahan oleh rãjã beserta tugasnya, untuk memahami definisi pemerintahan dalam Buddhisme perlu untuk memahami berbagai sistem pemerintahan di zaman Buddha. Sistem pemerintahan yang akan dibahas akan disesuaikan dengan definisi sistem pemerintahan dalam ilmu politik. Dalam ilmu politik sistem pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi (Rudy, 2003: 32). Pertama, sistem monarki adalah pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang. Sistem ini dipandang buruk jika pemerintahan bersifat tiran, yaitu negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang bertindak sekehendak hatinya. Kedua, sistem aristokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok orang. Sistem ini dipandang buruk jika bersifat oligarki, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu saja. Ketiga, sistem demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh banyak orang. Sistem ini dipandang buruk jika bersifat mobokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan.
              Pembahasan sistem pemeritahan diperlukan karena pada zaman Buddha sistem pemerintahan tidak hanya sistem monarki (kerajaan) tapi juga terdapat sistem republik. Pada zaman Buddha ada 16 negara beserta dua sistem pemerintahannya yaitu monarki dan republik. Pertama, negara dengan sistem pemerintahan monarki, yaitu: Avanti, Kosala, Maghada, Vamsa/Vatsa. Kedua, negara dengan sistem pemerintahan republik, yaitu: Aṅga, Assaka, Cedi, Gandhara/Yona, Kāsi, Kuru, Kamboja, Malla, Macca, Pancala, Surasena, Vajji/Licchavi (Jeffrey, 2003: 496). Sistem pemerintahan monarki dan sistem republik sesuai dengan definisi sistem pemerintahan seperti yang dijelaskan Rudy. Sistem pertama sudah jelas karena sistem pemerintahan ini dipimpin oleh seorang pemimpin atau rãjã, maka sistem ini adalah monarki. Sitem kedua dipahami dengan melihat arti dari istilah republik, yaitu bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang presiden (http://www.artikata.com/arti-347710-republik.html). Pemerintahan yang berkedaulatan rakyat menunjukkan  sistem ini mengarah pada sistem demokrasi. Hal itu dapat dilihat dari arti demokrasi, yaitu bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantara wakil-wakilnya (Kamus Bahasa Indinesia, 2008: 337).
              Banyaknya negara dengan sistem pemerintahan republik di masa Buddha seperti yang dijelaskan Jeffrey, tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan Buddha lebih setuju sistem republik. Buddha (Davids, 2002:79-80) menjelaskan:
So long, Ânanda,’ rejoined the Blessed One, ‘as the Vajjians foregather thus often, and frequent the public meetings of their clan; so long may they be expected not to decline, but to prosper’... So long, Ânanda,’ as the Vajjians meet together in concord, and rise in concord, and carry out their undertakings in concord – so long as they enact nothing not already established, abrogate nothing that has been already enacted, and act in accordance with acient institutions of the Vajjians, as established in former days – so long as they honour and esteem and revere and support the Vajjians elders, and hold it a point of duty to hearken to their words – so long as no women or girls belonging to their clans are detained among them by force or abduction – so long as they honour and esteem and revere and support the Vajjian shrines in town or country, and allow not the proper offerings and rites, as formerly given and performed, to fall into desuetude-so long as the rightful protection, defence and support shall be fully provided for the Arahants among them, so that Arahants from a distance may enter the realm, and the Arahants therein may live at ease-so long may the Vanijjans be expected no to decline, but to prosper. (Begitu lama, Ananda, sebagaimana suku Vajji sering bertemu dengan Sang Bhagava,' dan suku Vajji karenanya sering mengadakan pertemuan-pertemuan publik dalam suku mereka; begitu lama semoga mereka diharapkan tidak menurun, tetapi untuk makmur '... Begitu lama, Ananda, 'sebagaimana suku Vajji berkumpul bersama dalam kerukunan, dan peningkatan kerukunan, dan melaksanakan usaha mereka dalam harmoni-selama mereka menetapkan hokum-hukum baru dan merubah tradisi mereka yang lama atau meneruskan pelaksaaan peraturan-pertauran lama yang sesuai dengan Dhamma, mereka menghormati dan menunjukkan bakti dan menghargai kepada orang yang lebih tua,– melarang dengan keras adanya penculikan dan penahaman wanita atau gadis-gadis, menghargai dan menghormati tempat suci milik suku Vajji di kota atau negara, dan taat melaksnakan puja bakti baik ditempat suci yang ada di kota maupun diluar kota, melindingu serta menjadga orang-orang yang belum memiliki pekerjaan serta diupayakan agar orang memiliki pekerjaan, hidup dengan aman dan damai. Selama perlindungan yang sah, pertahanan dan dukungan harus sepenuhnya disediakan untuk Arahat di antara mereka, sehingga Arahat dari jarak jauh dapat masuk kerajaan, dan Arahat mungkin hidup di dalamnya kemudahan begitu lama semoga suku Vajji diharapkan tidak menurun, tetapi untuk makmur.)

Dari penjelasan ini, tidak semua penjelasan Buddha tentang suku Vajji mengarah pada sistem pemerintahan. Dari tujuh penjelasan tentang suku Vajji, hanya dua yang yang mengarah pada pemerintahan, yaitu penjelasan pertama tentang sistem permusawaratannya dan pengembangan peraturan pemerintahan. Penjelasan berikutnya lebih mengarah pada pengkondisian kesejahteraan dan nilai-nilai moral suku Vajji. Pengkondisian kesejahteraan dapat dilihat dalam penjelasan kedamaian dan pemberian sokongan bagi para pertapa atau Arahat. Selanjutnya, nilai-nilai moral dapat dilihat dalam penjelasan penghormatan pada para sesepuh, tidak melakukan penculikan wanita, menghormat dan menyembah tempat-tempat suci. Penjelasan ini menunjukkan, pujian Buddha terhadap suku Vajji tidak semata-mata untuk sistem pemerintahan republiknya, melainkan karena pengkondisian kesejahteraan, moralitas masyarakatnya dan pencegahan perang, bukan kecenderungan politik. Abeynayake (1995: 30-31) berpendapat:
It is more than obvious that this story does not indicate any favour or prejudice of the Buddha towards the republican system of government. What it indicates is that Ajatasattu would not be successful in his ambition of conquering the Vajjian territory at the time envisaged in the story. (Hal ini lebih dari jelas bahwa cerita ini tidak menunjukkan suatu permohonan atau prasangka Buddha terhadap sistem pemerintahan republik. Hal itu menunjukkan bahwa Ajatasattu tidak akan berhasil dalam ambisinya menaklukkan wilayah Vajjian pada waktu digambarkan dalam cerita.)

Dari sutta dan pendapat Abeynayake, dapat dianalisis penjelasan sang Buddha tentang suku Vajji lebih mengarah pada pencegahan perang, dan juga sifat-sifat pemerintahan yang baik bukan sistem pemerintahannya.
              Hal baik atau buruknya suatu pemerintahan, ditinjau dari cara dan kepentingan dalam menjalankan pemerintahan. Jika pemerintahan dijalankan dengan diabdikan untuk kepentingan umum atau masyarakat, maka disebut sebagai bentuk baik. Sebaliknya, jika diabdikan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok saja maka disebut buruk. Seperti halnya definisi seorang rãjã atau khattiya dalam Buddhisme pemerintahan ideal dalam sistem pemerintahan apapun tentunya nilai baiknya adalah jika pemerintahan itu berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan untuk pengkondisian kesejahteraan bersama.
3.      Kekuasaan dan Kewenangan (power and authority)
              Dasar-dasar ilmu politik masih digunakan sebagai dasar dalam pembahasan kekuasaan dan kewenangan dalam Buddhisme. Jika melihat definisi-definisi ilmu politik, yang sampai kini banyak ragamnya, dapat kita pahami bahwa ilmu politik dalam pembahasannya berkenaan dengan hubungan antar manusia satu sama lainnya. Hubungan ini dalam bentuk adanya pemahaman, penghayatan, sampai pengaturan mengenai hal-hal memperoleh, mempertahankan, dan menyelenggarakan kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu termasuk yang timbul dari hasrat manusia sendiri dalam kehidupan kelompok (berorganisasi), maupun yang timbul dari proses interaksi di dalam masyarakat atau kesatuan yang terorganisasi.
              Secara garis besar, politik berkaitan dengan kekuasaan pengaruh, kewenangan pengaruh, dan ketaatan atau ketertiban (Rudy, 2003: 9). Penjelasan itu menunjukkan  adanya konsekuensi logis antara kekuasaan dan kewenangan terhadap ketaatan atau ketertiban. Konsekuensi logis menunjukkan ketaatan atau ketertiban adalah akibat dan tujuan. Ketiga unsur dari politik ini dapat dijadikan pedoman dalam menjelaskan kekuasaan dan kewenangan dalam Buddhisme.
              Laswel dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2008: 60) menjelaskan kekuasaan sebagai suatu hubungan  seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama (Power is a relationship in the in which one person or group is able to determine the action of another in the direction of the former’s own ends). Dari pengertian kekuasaan ini, dapat dijadikan pedoman untuk menganalisis definisi kekuasaan dalam Buddhisme. Tindakan menentukan arah tindakan seseorang dalam Agañña Sutta dijelaskan dari konsep paling sederhana.
              Penjelasan munculnya konsep hukuman dapat menjelaskan kekuasaan dan kewenangan pemerintah awal dalam menjaga ketertiban umum berdasarkan nilai-nilai kebenaran menurut Buddhisme. Penjelasan Buddha dalam Agañña Sutta tentang proses evolusi makhluk sampai terbentuknya tubuh dan jenis kelamin mulai menimbulkan kasus yang bisa dikatakan melanggar etika. Dalam tahap ini, makhluk-makhluk setelah berganti memakan jamur, tumbuhan menjalar dan padi, menyebabkan munculnya perbedaan jenis kelamin dengan jelas (itthilinga dan purisalinga). Dari bentuk tubuh dan perbedaan kelamin, bisa dikatakan makhluk-makhluk ini sudah terbentuk sebagai manusia. Perbedaan kelamin menyebabkan munculnya nafsu untuk berhubungan kelamin (methuna). Hubungan kelamin mulai dilakukan oleh beberapa makhluk di depan umum, kemudian makhluk-makhluk itu dilempari debu, abu dan kotoran sapi karena dianggap amoral oleh makhluk yang lain (Davids, 2002: 84-85). Tindakan sebagian besar makhluk terhadap makhluk yang melakukan hubungan kelamin merupakan penjelasan penting dalam menjelaskan hukuman dalam masyarakat awal. Menurut Abeynayake (1995: 5):
At this very early stage, sexual intercourse, which was obviously executed in public, was considered to be immoral. Those who were caught in action were not allowed to live with others. They were chased out. This is a very important phenomenon in the development of society, because it indicates that the sense of punishment was felt at a very early phase of development of the human society. Meting out punishment was a collective responsibility. (Pada tahap sangat awal, hubungan seksual, yang jelas dihukum di depan umum, dianggap tidak bermoral. Mereka yang tertangkap dalam aksi tidak diizinkan untuk hidup dengan orang lain. Mereka diusir. Ini adalah fenomena yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat, karena itu menandakan bahwa rasa hukuman dirasakan pada tahap sangat awal perkembangan masyarakat manusia. Membagikan hal hukuman adalah tanggung jawab bersama.)

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan kekuasaan dan kewenangan dalam kasus hukuman ini adalah dipegang oleh masyarakat, sehingga bisa dikatakan masuk sistem pemerintahan demokrasi. Namun dalam tahap ini belum menjelaskan tentang kewenangan, karena dari definisi kewenangan seperti penjelasan Robert Bierstedt (dalam Budiardjo, 2008: 64) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). Budiardjo juga menjelaskan wewenang adalah kekuasaan formal. Penjelasan Buddha tentang kekuasaan yang dilembagakan dapat dilihat juga di Agañña Sutta. Buddha (Davids, 2002: 87-88) menjelaskan:
Come now, let us divide off the rice fields and set boundaries thereto! And so they divided off the rice and set up boundaries round it ... “Now those being, Vasetha, gathered themselves together, and bewailed these things, saying: From our evil deeds, sirs, becoming manifest, inasmuch as stealing, censure, lying, punishment have become known, what if we were to selected a certain being, who should be wrathful when indignation is right, who should be  censure that which should rightly be censure and should banish him who deserves to be banished? (Kemari, mari kita membagi sawah dan menetapkan batas-batasnya! Dan mereka membagi dari beras dan mengatur batas-batas di sekelilingnya ... "Sekarang makhluk-makhluk itu, Vasetha, berkumpul, dan meratapi hal-hal ini, mengatakan: Dari perbuatan kita yang jahat, Yang Mulia, menjadi nyata, karena mencuri, kecaman, berbohong, hukuman telah menjadi dikenal, bagaimana jika kita memilih makhluk tertentu, yang harus murka pada orang yang tepat untuk dimurkai, yang harus mengecam pada orang yang tepat untuk dikecam dan harus mengusir orang yang layak untuk dibuang?)

Penjelasan ini menunjukkan terbentuknya pemerintahan sederhana dalam perkembangan sosial awal. Pemerintahan sederhana diawali dengan dibuatnya kesepakatan bersama untuk membuat semacam sistem administrasi kepemilikan tanah dengan batas-batas. Kemudian tahap selanjutnya dipilih pengatur ketertiban atau seorang pemimpin (Māhasammata) untuk menindak orang-orang yang tidak sesuai dengan etika atau hukum yang berlaku. Kesepakatan bersama dalam menentukan keputusan untuk membuat sistem kepemilikan tanah dan memilih Māhasammata adalah poin penting untuk menunjukkan bahwa kekuasaan dari penguasa yang ada adalah kekuasaan yang dilembagakan  atau kekuasaan formal. Oleh karena kekuasaan yang dilembagakan atau kekuasaan formal ini, maka kekuasaan yang dimaksud bisa dikatakan sebagai kewenangan seorang pemimpin.
              Māhasammata  yang bisa didefinisikan sebagai pemimpin dan penjaga ketertiban memiliki kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) Māhasammata  adalah memiliki hak untuk mengatur seluruh masyarakat, marah terhadap orang yang seharusnya dimarahi, menghukum orang yang seharusnya dihukum dan berhak mendapatkan sebagian hasil panen dari masyarakat. Ariyasena (dalam Kalupahana, 1987:104) menjelaskan:
In the Buddhist notion of the origin of authority, Māhasammata was given only judicial power probably in accordance with the customary laws of the community. Subsequently, in the course of time, this authority seems to have been expanded so as to include the administration of landed property by the khanttiyas. (Dalam gagasan Buddhis, asal otoritas Māhasammata hanya diberikan kekuasaan kehakiman yang seperti halnya hukum adat masyarakat. Selanjutnya, dalam perjalanan waktu, otoritas ini tampaknya telah diperluas sehingga mencakup administrasi pemilikan tanah oleh khanttiyas.)

Kekuasaan dan kewenangan terlihat masih sederhana karena hukum yang ditegakkan Māhasammata hanya seperti hukum adat masyarakat atau komunitas. Namun kesederhanaan hukuman setidaknya menjelaskan secara garis besar mengenai kekuasaan dan kewenangan dari Māhasammata.
4.      Kelembagaan Masyarakat (organization of society)
             Ilmu politik adalah mempelajari kelembagaan masyarakat. Kogekar menjelaskan “a study of the organization of society in its widest sense, including all organization, the family the trade union, and state, with special reference to one aspect of human behaviour; the exercise of control and the randering of obedience”I (Studi tentang organisasi masyarakat dalam arti luas, termasuk semua organisasi, keluarga serikat buruh, dan negara, dengan referensi khusus untuk salah satu aspek dari perilaku manusia, pelaksanaan kontrol dan randering ketaatan) (dalam Rudy, 2003: 14). Penjelasan Kogekar tentang ilmu politik yang mencakup studi organisasi masyarakat menunjukkan kajian kelembagaan masyarakat dalam pendidikan politik adalah penting.
             Masyarakat dalam pengertian sederhana merupakan sekumpulan orang yang mendiami daerah tertentu. Manusia memiliki naluri untuk selalu bersama dan berkumpul dengan sesamanya. Begitu besarnya kebutuhan itu sehingga jarang kita temui manusia yang tidak berhubungan dengan sesamanya dalam masyarakat manapun. Bahkan dalam perkembangannya muncul berbagai kelompok sosial yang lahir untuk bersenang-senang seiring kepentingan kelompoknya. Dalam perkembangan kelompok sosial biasanya terbentuk lembaga-lembaga. Lembaga kemasyarakatan berperan penting dalam proses kehidupan suatu kelompok sosial. Dengan mengetahui adanya lembaga-lembaga maka setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut etika masyarakat atau kelompoknya. Etika ini sesuai dengan pengertian lembaga masyarakat yang dijelaskan Koendjaraningrat, yaitu suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan yang berpola guna memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan bersama, dimana lembaga kemasyarakatan harus mempunyai sistem norma yang mengatur tindakan yang terpolakan serta tindakannya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia (http://www.ojimori.com/2011/04/19/pengertian-jenis-dan-fungsi-lembaga-kemasyarakatan/).
             Dalam Buddhisme, perkembangan munculnya lembaga kemasyarakatan dapat dilihat di berbagai penjelasan Buddha tentang perkembangan masyarakat. Dalam Agañña Sutta Dīgha Nikāya Buddha menjelasan terbentuknya etika kelompok masyarakat. Penjelasan pertama, ketika hubungan kelamin mulai dilakukan oleh beberapa makhluk di depan umum, makhluk-makhluk yang melakukan hubungan kelamin dilempari debu, abu dan kotoran sapi karena dianggap immoral oleh makhluk yang lain. Tahap selanjutnya pembentukan suatu kesepakatan bersama untuk membuat semacam sistem administrasi kepemilikan tanah dengan batas-batas. Tahap selanjutnya pemilihan pengatur ketertiban atau seorang pemimpin (Māhasammata) untuk menindak orang-orang yang tidak sesuai dengan etika atau hukum yang berlaku (Davids, 2002: 84-85). Penjelasan ini menunjukkan  masyarakat sudah memiliki kesamaan pandangan untuk menganggap melakukan hubungan kelamin di depan umum adalah amoral, mengakui aturan batas-batas kepemilikan tanah dan memilih penegak aturan yang disepakati dalam kelompok. Kelompok masyarakat yang sudah membuat dan menjalankan aturan bersama menunjukkan  dalam tahap perkembangan masyarakat dalam tahap ini sudah mulai terbentuk kelembagaan masyarakat sederhana.
             Kelembagaan masyarakat muncul dari persamaan pola pikir dan kebiasaan hidup. Buddha dalam Agañña Sutta (Davids, 2002: 89-91) menjelaskan:
 They put away (bāhenti) evil, immoral customs, Vāseṭṭha, is what is meant by Brahmins, and thus was it that Brahmins became the earliest standing phrase [for those who did so]... Now, Vāseṭṭha, there were some others of those beings who, adopting the married state, set on foot various trads. That they, adopting the married state, set on foot various [vissa] trades is, Vāseṭṭha, the meaning of vessā (tradesfolk)... But those that live on hunting, and suchlike trifling pursuits, is what is meant by Suddā (the lowest grade of folk). (Mereka menyingkirkan kejahatan (bāhenti), kebiasaan tidak bermoral, Vasettha, apakah yang dimaksud dengan Brahmana, dan dengan demikian terbentuk istilah Brahmana yang paling awal (bagi mereka yang melakukannya) ... Sekarang, Vasettha, ada beberapa orang lain dari makhluk-makhluk ada yang mengurusi pemerintahan, ada yang mengurusi perdagangan (Vissa), Vasettha, makna vessā (kaum pedagang) ... Tetapi orang yang hidup dengan berburu, dan pekerjaan sejenisnya, adalah apa yang dimaksud dengan Suddā (kelas terendah dari rakyat).

Penjelasan Buddha menunjukkan kelembagaan masyarakat terbentuk dari kesamaan pola pikir seperti usaha-usaha menyingkirkan hal-hal jahat dan tidak bermanfaat dengan bertapa, sehingga muncullah golongan Brahmana. Kelembagaan masyarakat yang berasal dari kebiasaan hidup dijelaskan terbentuk secara alami dari kebiasaan-kebiasaan berdagang dan berburu, sehingga terbentuk golongan Vessā dan Suddā. Penjelasan terbentuknya golongan masyarakat ini nampaknya merupakan kritikan Buddha pada tradisi Brahmana tentang konsep kasta. Hal itu dipertegas dengan penjelasan yang menunjukkan semua golongan masyarakat sebenarnya berasal dari status yang sama dan kemudian pada penjelasan selanjutnya juga dijelaskan pada akhirnya ketiga golongan masyarakat memutuskan untuk mencari pembebasan diri dari penderitaan hidup dengan bertapa (Davids, 2002: 89-91). Meskipun penjelasan Buddha adalah kritikan terhadap kasta, namun telah menunjukkan alasan terbentuknya golongan masyarakat yang mengawali kelembagaan masyarakat. Dalam penjelasan ini juga menunjukkan diskriminasi lembaga masyarakat satu dengan yang lain tidak dibenarkan dalam Buddhisme, karena pada hakekatnya asal dari semua golongan atau kelembagaan masyarakat adalah sama.
             Dalam perkembangan terbentuknya lembaga masyarakat selanjutnya akan dibahas kelembagaan yang lebih jelas formalitasnya serta norma-norma yang dianut. Kelembagaan masyarakat pada zaman Buddha lebih dari 2555 tahun yang lalu telah terbentuk dua kelembagaan masyarakat yang terbentuk dari kesepahaman Dhamma, yaitu garavassa (umat awam) dan pabbajita (pertapa). Garavassa pertama terbentuk setelah tujuh minggu pencerahan Buddha. Miṅgun (2008: 678) menjelaskan, setelah tujuh minggu pencerahan Buddha diberi dana makanan oleh dua orang pedagang Tapussa dan Bhallika. Setelah menerima dana makanan Buddha memberikan kotbah yang sesuai. Setelah memberikan dana makanan dan mendengarkan kotbah Tapussa dan Bhallika menyatakan berlindung pada Buddha dan Dhamma. Kedua pedagang laki-laki ini belum berlindung kepada Sangha karena belum terbentuk pada masa itu. Dua orang pedagang inilah yang menjadi umat Buddha pertama sebagai golongan perumah tangga (garavassa) dengan mengucapkan kata perlindungan Devācika-saraṇa (Ete mayaṁ bhante Bhagavāntam saraṇaṁ gacchāma Dhammañ ca).
             Perkembangan selanjutnya garavassa bertambah dari kaum perempuan sebagai upasika yaitu istri dan mertua upasaka Yassa (Widyadharma, 1985:45). Oleh karena itu, golongan ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu, umat awam laki-laki (upasaka) dan umat awam perempuan (upasika). Golongan upasaka ataupun upasika sama-sama menyatakan perlindungan pada Buddha, Dhamma dan Saṅgha serta melaksanakan prinsip-prinsip moralitas (sīla) bagi umat awam.
             Ditambahkannya Saṅgha  dalam perlindungan karena dalam tahap ini telah terbentuk golongan Saṅgha atau pabbajita. Terbentuknya pabbajita dijelaskan dalam kotbah Dhammacakkappavattana Sutta. Miṅgun (2008: 698-704) menjelaskan, pemutaran roda Dhamma pertama kali diberikan pada lima orang pertapa yaitu Aññāsi Kondañña, Vappa, Bhaddiya, Mahānāma dan Assaji. Aññāsi Kondañña menjadi pabbajita pertama dan ditasbis dengan  ucapan Ehi Bhikkhu (Ehi Bhikkhu, Svakkhato Dhammo, Cara brahmacaiyaṁ samma dukkhassa antakiriyaya), sehingga mendapat gelar atau sebutan bhikkhu, yaitu seorang pabbajita laki-laki. Setelah itu empat pertapa yang lain menyusul, sehingga mereka mempunyai gelar bhikkhu. Dalam kotbah Dhammacakkappavattana Sutta inilah awal terbentuknya golongan pertapa (pabbajita) yang berguru pada Buddha dan menggunakan Dhamma (ajaran-Nya) sebagai pedoman hidup. Golongan pabbajita ini selanjutnya diistilahkan Saṅgha (kumpulan para Bhikkhu).
             Dalam perkembangan selanjutnya kelompok masyarakat pabbajita (Saṅgha) berkembang pada kaum perempuan dengan sebutan bhikkhuni. Piyadassi (1991: 290-293) menjelaskan untuk pertama kalinya dalam sejarah agama ditahbiskannya Mahā Pajāpati Gotami sebagai bhikkhuni dalam kehidupan monastik. Oleh karena itu Saṅgha terdiri dari bhikkhu dan bhikkhuni, serta dalam perkembangan selanjutnya terbentuk Pabbajita pemula laki-laki dan perempuan yang disebut samanera dan samaneri. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini menjalani kehidupan tidak berumah tangga, membaktikan diri untuk melaksanakan hidup suci berdasarkan peraturan yang disebut sīla yang sekarang dikenal dengan Vinayā.
             Pada saat Buddha menahbiskan lima orang Bhikkhu, terbentuk organisasi masyarakat golongan pabbajita yang pertama, yang dikenal dengan sebutan Saṅgha. Meskipun Saṅgha dibentuk dan didirikan Buddha, Beliau tidak pernah menunjuk orang tertentu untuk menggantikan kedudukan Beliau. Semua anggota memiliki kedudukan yang sama, walaupun terkadang ada sedikit perbedaan sikap terhadap bhikkhu senior, namun itu hanya sebatas wujud penghormatan. Ini diperlihatkan dalam kelompok Saṅgha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum. Peraturan-peraturan yang dikumpulkan menjadi Vinayā yang sampai saat ini setiap anggota Saṅgha masih mematuhi aturan tersebut dalam menentukan dan menuntun perbuatan mereka.
             Buddha mendorong budaya konsultasi dan proses demokrasi kepada siswa-siswa-Nya. Pada saat timbul permasalahan, maka permasalahan diselesaikan dalam pertemuan bhikkhu-bhikkhu (Saṅghakamma) dan dibahas dalam sikap demokrasi seperti sistem Dewan Perwakilan Rakyat yang digunakan masa kini. Salah satu bhikkhu ditunjuk menjadi pemimpin Saṅghakamma untuk menjaga martabat majelis. Selain itu ada bhikkhu yang ditunjuk untuk menentukan tercapai atau tidaknya kuorum yang berperan serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu pernyataan (mosi) yang terbuka untuk didiskusikan. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali. Dalam penyusunan suatu rancangan peraturan juga dibaca tiga kali sebelum menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara. Pendidikan politik seperti inilah yang dapat disarikan dalam kelembagaan masyarakat Buddhis.
5.      Kegiatan dan Tingkah Laku Politik (political activity and behavior)
              Ilmu politik mempelajari kegiatan dan tingkah laku politik. Anderson, Rodee dan Christol (dalam Rudy, 2003: 14) menjelaskan:
viewed some what more broadly, (political science) also includes “political” (power seeking) behaviour in or by groups, organization, and institutions which are more or less distinct from the state but which seek to influence public polici and the direction of social change. (dilihat beberapa hal yang lebih luas, (ilmu politik) juga mencakup "politik" (pencarian kekuasaan) perilaku atau oleh kelompok, organisasi, dan lembaga yang kurang lebih berbeda dari negara, tetapi berusaha untuk mempengaruhi ketertiban publik dan arah perubahan sosial.)

Penjelasan ini menunjukkan kegiatan tingkah laku politik dalam pembahasan ilmu politik perlu dijelaskan. Hal itu penting karena dalam pendidikan politik dapat dijadikan dasar pembelajaran mengenai sikap yang tepat oleh para politikus.
              Tingkah laku politik ditunjukkan oleh Buddha secara tersirat dalam berbagai sutta. Dalam berbagai sutta hanya ditemukan nasehat dan anjuran-anjuran Buddha kepada tokoh-tokoh pemerintah pada masa itu. Abeynayake (1995: 34-35) telah membagi tiga fase perkembangan masyarakat di India yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam perkembangan masyarakat ketiga dijelaskan, keserakahan raja yang tidak memiliki batas menyebabkan anggapan bahwa dirinya adalah individu yang paling kuat. Anggapan itu menyebabkan kecenderungan untuk menjadi penguasa tunggal dalam waktu yang lama. Penguasa tunggal menyebabkan aturan yang dibentuk oleh banyak orang menjadi aturan oleh perorangan. Perubahan peraturan menyebabkan republik-republik suku berubah menjadi kerajaan atau negara-negara monarki dan penaklukan-penaklukan negara-negara lainpun terus terjadi. Hal itu juga terjadi pada masa Buddha seperti yang dijelaskan dalam Mahāparinibbāna Sutta ketika Raja Ajātasattu akan menyerang negara suku Vajji. Dalam kisah itu, Buddha meminta Raja Ajātasattu supaya jangan menyerang negara suku Vajji. Buddha mengharapkan kemajuan dari suku Vajji, bukan kemundurannya (Davids, 2002: 79-80). Dalam penjelasan tersebut dijelaskan beberapa aktifitas pemerintahan yang ideal, diantaranya adalah permusyawarahan, keamanan dan perdamaian yang terjaga. Demikian pula dalam Vinayā Pitaka, Buddha telah menetapkan suatu aturan dan pedoman bagi bhikkhu untuk mengambil keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah, dilakukan dengan adhikaranasamatha yang terdiri dari tujuh cara (Horner, 2004: 153). Dua cara diantaranya adalah sammukhavinaya dan yebhuyyasikkha. Sammukhavinaya adalah cara menyelesaikan masalah dengan musyawarah yang diambil melalui pertemuan para bhikkhu, sedangkan  yebhuyyasikkha adalah upaya penyelesaian masalah dengan pengambilan opini dari banyak orang (keputusan mayoritas) (Horner, 1999: 33).
              Kegiatan dan tingkah laku politik apapun dalam ajaran Buddha, dianjurkan untuk tujuan perdamaian, kesejahteraan dan pengajaran Dhamma. Dalam Mahāsudassana Sutta dijelaskan seorang Raja Pemutar-Roda adalah raja kehidupannya berlandaskan Dhamma. Dalam perluasan kekuasaan semuanya dilakukan dengan perdamaian dan pengajaran Dhamma pada setiap tempat yang mau diperintah oleh raja. Raja selalu menganjurkan untuk menghindari pembunuhan, pencurian, berzina, berbohong, mabuk-mabukan, makan secukupnya. Kekuasaan dan kesejahteraan rakyatnya terus meluas hingga Raja Pemutar-Roda berpikir, “dari kamma apakah ini berbuah, dari dari kamma apakah ini berakibat, sehingga aku begitu kuat dan berkuasa? Ini adalah buah akibat dari tiga jenis kamma: memberi, pengendalian diri, dan penghindaran” (Davids, 2002: 203-218). Kegiatan dan tingkah laku politik inilah yang seharusnya dilakukan oleh para politikus dan pemimpin negara.

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”