Wednesday 27 June 2012

BUDDHISME PRA SEKTARIAN


Identifikasi Ajaran Buddhisme Awal

Pengantar
Sebagaimana agama-agama lain di dunia, agama Buddha mengalami suatu bentuk sektarian. Setelah Sang Buddha Parinibbāna, agama Buddha terpecah kedalam dua kelompok besar yaitu Mahasangika dan Sthaviravada. Kedua aliran ini masing-masing terpecah kembali ke dalam delapan belas aliran, sepuluh aliran dari Sthaviravada dan delapan aliran dari Mahasangika. Sepuluh aliran yang dimaksud dalam Sthaviravada yaitu Haimavata, Sarvastivada, Hetuvada, Vatsiputriya, Dharmottara, Bhadrayanika, Sammitiya, Bahudesaka, Dharmadesaka dan Bhadravarsika. Dari golongan Sthaviravada dan golongan Mahasangika beserta aliranya kemudian sering disebut-sebut menjadi empat mazhab utama yaitu: Sthaviravada dan Mahasangika serta dua mazhab lainnya yaitu Sarvastivada dan Sammitiya yang merupakan pecahan dari aliran Sthaviravada. Aliran Mahasangika dan Sarvastivada merupakan keluarga terdekat yang melahirkan aliran Mahayana, sedangkan aliran Sthaviravada sendiri merupakan keluarga terdekat yang melahirkan aliran Theravada. Dalam perkembangannya masing-masing aliran memiliki Canon yang lengkap yang terdiri dari Sutta Piţaka, Vinaya Piţaka dan Abhidhamma Piţaka.
Penyebab munculnya aliran-aliran itu adalah adanya perbedaan penafsiran dari masing-masing murid Buddha. Tiap aliran memiliki penekanan yang berbeda dalam melaksanakan Buddha Dhamma. Masing-masing agama juga mengklaim kitab suci yang mereka miliki adalah yang paling oetentik diantara kitab suci yang dimiliki oleh aliran lain. Dalam Mazhab Mahayana penekanannya terdapat pada pencapaian Bodhisatta sedangkan pada Theravada menekankan pada pencapian kearahatan. Aliran Sarvastivada memisahkan diri dari aliran Sthaviravada juga karena aliran Sarvastivada menekankan pada ajaran Abhidhamma daripada Sthaviravada yang menekankan ajaran Sutta. Dalam paper ini penulis akan membahas bagaimana cara mengidentifikasi ajaran Buddha pra sektarian dengan ajaran Buddha pasca sektarian.

Pembahasan
Hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi ajaran Buddha pra sektarian dengan ajaran Buddha pasca sektarian adalah dengan cara membandingkan kitab suci yang dimiliki oleh tiap-tiap aliran. Dengan membandingkan maka akan didapatkan suatu persamaan dan suatu perbedaan. Ajaran yang sama dapat dikatakan sebagai ajaran Buddha pra sektarian, sedangkan ajaran yang tidak sama yang tertulis dalam canon dapat dikatakan merupakan buah pikir dari para sarjana setelah Buddha Parinibbāna. Berikut ini adalah sutta-sutta yang ada di dalam Canon versi Pali dan versi Sanskerta:
1.      Dalam Dirghagama Sutra dan Digha Nikāya masing-masing dapat dijumpai Brahmajala Sutta, Samanaphala Sutta, Tevija Sutta,Sigalovada Sutta dan Maha Parinibbāna Sutta.dan sebagainya.
2.      Dalam Madyamagama dan Majjhima Nikāya masing-masing dapat ditemukan Sabbasava Sutta, Satipatthana Sutta, Ariyapariyesana Sutta, achariyabhuttadhamma Sutta, Mahadukkhakandha Sutta, Vittakasanthana Sutta dan sebagainya.
3.      Dalam Samyuktagama dan Samyutta Nikāya dapat dijumpai sutta yang mirip yaitu dalam Sagathavarga sebanyak 244 sutta dalam Canon Pali terdapat juga dalam Canon Sanskerta dan sebagainya.
Sarjana mengungkapkan ciri-ciri ajaran Buddha pra sektarian adalah sebagai berikut:
1.      Bersifat non-otoritas yaitu menganjurkan agar siswa-siswa Buddha tidak tergantung pada otoritas atau wewenang tertentu, seperti dalam Kalama Sutta:
”...Janganlah mempercayai sesuatu dari kabar-kabar angin; janganlah mempercayai sesuatu karena tradisi atau karena sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun; janganlah mempercayai sesuatu dari desas-desus atau semata-mata karena diperlihatkan kepadamu tulisan-tulisan orang-orang suci di zaman kuno; janganlah mempercayai sesuatu karena persangkaan-persangkaan atau kebiasaan bertahun-tahun, mendorongmu untuk menganggapnya benar; janganlah mempercayai sesuatu semata-mata karena gurumu. Akan tetapi, appu juga menurut pengalamanmu sendiri atau setelah diselidiki secara mendalam sesuai dengan akan pikiranmu, dan bermanfaat bagi dirimu serta sesama makhluk hidup yang lain, maka terimalah itu sebagai kebenaran dan jalankanlah dalam hidupmu...”
2.      Bersifat non-spekulatif yaitu agar tidak terjebak pada hal-hal yang tidak berguna dalam membawa kebahagiaan, maka hal-hal yang bersifat metafisika tidak dibahas seperti dalam Culamalunkyaputta Sutta. Diceritakan bahwa Bhikkhu Malunkyaputta menanyakan hal yang bersifat metafisik kepada Sang Buddha dan mengancam akan keluar dari Sangha jika Sang Buddha tidak menjelaskannya. Sang Buddha menjawab sebagai berikut:
”...Kehidupan beragama itu, Malunkyaputta, tidak bergantung pada ajaran bahwa alam itu abadi; sebaliknya kehidupan beragama itu, hai Malunkyaputta, tidak tergantung pada ajaran bahwa alam itu tidak abadi. Sekalipun ajaran serupa itu ada, Malunkyaputta, bahwa alam itu abadiatau alam itu tidak abadi, tetapi disituada kelahiran, usia, maut, duka, ratapan, derita, kemalangan dan kekecewaan, yang peniadaan seluruhnya di dalamkehidupan, sengaja kami uraikan. Karena itu hai Malunkyaputta, tanamkan ke dalam ingatan akan apa yang akan kami jelaskan, dan akan apa yang tidak kami jelaskan. Dan apakah hai Malunkyaputta yang tidak kami jelaskan?
Kami tidak menjelaskan, hai Malunkyaputta, bahwa alam itu kekal, kami tidak menjelaskan bahwa alam itu tidak kekal; kami tidak menjelaskan bahwa alam itu terbatas atau tidak tidak terbatas; jiwa adalah sama dengan tubuh; jiwa adalah satu hal dan tubuh adalah hal lain; setelah kematian, Tathāgata ada atau setelah kematian Tathāgata tidak ada; setelah kematian Tathāgata ada atau tidak ada; setelah kematian Tathāgata bukan ada pun bukan tidak ada. Sebabnya Malunkyaputta, hal itu tidak menguntungkan, bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan hal-hal paling asasi dalam agama, malah tidak mengarah kepada pencegahan dan peniadaan nafsu, penghentian, ketenangan, pembebasan, hikmat tinggi dan Nibbāna...”
3.      Cenderung pragmatis, yaitu ajaran Buddhisme awal menekankan pada praktek moralitas daripada pengembangan intelektualitas. Seperti yang dijelaskan dalam Malunkyaputta Sutta, Sang Buddha menolak untuk menjelaskan mengenai pengetahuan metafisis karena tidak membawa seseorang kepada kemajuan batin. Itu sebabnya semasa hidup Sang Buddha Tipiaka belum dituliskan. Sedangkan ajaran Budhisme paska sektarian lebih menekankan pada pemahaman intelektual. Setelah Sang Buddha Parinibbāna maka timbulah perpecahan diantara para bhikkhu. Aliran-aliran Buddhime masing-masing mengembangkan pemahaman intelektual terhadap ajaran Buddha. Tokoh Buddhis yang terkenal dan mampu menanamkan paham yang dianutnya adalah Nāgarjuna dengan paham Suñata.
4.      Non-absolutisme, yaitu ajaran Buddhisme awal tidak mendorong pemeluknya terjebak kepada hal-hal yang absolut, mencegah pemeluknya terjerumus pada hal-hal yang bersifat hakiki. Seperti yang Buddha Gotama ajarkan bahwa seseorang tidak diajarkan untuk memegang Dhamma sebagai sesuatu yang absolut.
”...Duhai para Bhikkhu kami mengajarkan dhamma untuk dipergunakan sebagai rakit untuk menyeberang dan bukan untuk disimpan atau digantung terus-menerus...”
Seseorang dicegah untuk mengabsolutkan upacara-upacara yang dianggap membawa seeorang pada kesucian (silabataparama). Bukan upacara yang dapat membawa seseorang pada kesucian, akan tetapi latihan kemoralan dengan menghapus lobha, dosa dan moha itulah yang dapat membawa seseorang pada kesucian.
Buddhisme paska sektarian cenderung absolutis. Pada perkembangan selanjutnya ajaran dalam Abhidhamma mendapat status yang meninggi. Inilah awal kecenderungan absolitisme. Sebagai kitab yang memuat Dhamma yang diajarkan Buddha Gotama yang sifatnya analitis, Abhidhamma kemudian menempatkan Nibbāna  kedalam kategori batin yang mana batin dan jasmani kemudia dikenal sebagai realitas terakhir (paramattha).
Hal-hal yang dapat menimbulkan seseorang terjebak ke dalam absolutisme adalah iman (sadha), kesukaan (ruci), tradisi/wahyu (anusava), pandangan sekilas. Ketika seseorang sudah memiliki iman terhadap sesuatu tapi tidak memiliki mata kebijaksanaan maka dapat menimbulkan seseorang terjerumus pada hal-hal yang salah. Seseorang yang telah mengimani pada suatu doktrin Jihad yang salah, maka orang tersebut mudah sekali untuk direkrut menjadi ”pengantin” dalam peledakan bom seperti yang terjadi di Bali pada tahun 2003 dan di Jakarta tahun 2009. Orang yang suda melekat pada kesukaan (ruci) akan buta mata hatinya, tidak dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya, tidak mengetahui kebenaran sejati. Sekejam apapun pemboman yang dilakukan Nordin M Top dan anak buahnya, istri yang mencintai mereka tetap melihatnya sebagi sesosok pahlawan pembela agama, tidak mampu melihat bahwa pembunuhan itu melanggar hak asasi manusia. Ketika orang meyakini pada pandangan sekilas, tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya maka dapat menimbulkan subyektifitas. Sedangkan wahyu (anusava) dapat menjebak seseorang pada miccadithi karena wahyu belum tentu memiliki kebanaran. Ilmu agama dapat pula tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Apalagi jika seseorang sudah memahami sumber utama wahyu adalah ”tuhan” maka apabila dalam wahyu itu sebenarnya merupakan doktrin yang salah, seseorang tidak dapat serta merta mampu melakukan reinterpretasi terhadap doktrin itu.

Kesimpulan
Buddhisme awal itu menekankan pada pencarian kedamaian (santa gavesi) bukan kebenaran (sacca gavesi). Tidak dibahasnya hal-hal yang bersifat metafisika seperti munculnya dunia dan ketuhanan disebabkan oleh pencarian Buddha Gotama berangkat dari dukkha dan bagaimana suatu makhluk dapat terbebas dari tumimbal lahir untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian Buddhisme awal lebih memprioritaskan pada praktik moralitas ke arah pencapaian pencerahan batin.
Referensi:
Cittagutto. 1986. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis Historis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Priastana, Jo. 2004. Pokok-pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yasodhara Puteri.
Tim Penerjemah. 2008. Majjhima Nikāya: Kitab Suci Agama Buddha. Klaten Vihara Bodhivasa.
Wahyono, Mulyadi. 2002. Pokok-pokok Dasar Agama Buddha. Jakarta: Depag RI.
Widiyono M.A dalam presentasi Mata Kuliah Filsafat Buddha tanggal 29 Oktober 2009.

No comments:

Post a Comment

Cerah Sedetik

RA. KARTINI: “SAYA ADALAH ANAK BUDDHA”